Sosial Budaya
Dilema (Media) Sosial Kita

Pada beberapa kesempatan, Penulis kerap menuliskan keresahannya tentang betapa adiktifnya media sosial sekarang. Semua platform seolah berlomba-lomba untuk menjadi yang paling lama digunakan.
Beberapa jam tak terasa bergulir begitu saja ketika jari kita asyik melakukan scrolling tanpa batas. Ada saja hal baru dan menarik yang bisa kita lihat.
Bermain media sosial tidak ada salahnya. Selain menjadi sumber inspirasi, media sosial juga membuat kita bisa terkoneksi dengan teman maupun keluarga kita.
Media sosial menjadi salah jika sudah berubah menjadi candu yang membuat kita tidak tahu harus melakukan apa ketika ponsel tidak sedang berada di jangkauan kita.
Hipnotis Media Sosial

Seolah Menghipnotis (The Verge)
Ketika menulis artikel Untuk Apa Belajar Sejarah, Penulis jadi memiliki pemikiran kalau salah satu alasan mengapa mayoritas generasi sekarang cenderung apatis dan kurang kritis adalah karena kurang banyak membaca sejarah.
Penulis pun mendiskusikannya dengan seorang kawan (sebut saja Pentol). Ia memiliki pendapat lain. Menurutnya, itu lebih dikarenakan dampak media sosial.
Jika kita perhatikan, sekarang ada banyak sekali hal sepele yang bisa menjadi trending dan viral dengan begitu cepatnya. Kita seolah mudah untuk terbawa apa yang sedang ramai dibicarakan.
Menurutnya lagi, kita ini seolah sedang dihipnotis dan jadi mudah digiring oleh sesuatu. Apa yang dulu tidak kita sukai, bisa jadi kita sukai sekarang.
Contoh mudahnya adalah aplikasi TikTok. Dulu aplikasi ini dihujat dan dianggap sebagai aplikasi goblok. Sekarang? Hampir semua orang mengunduhnya bahkan membuat konten di dalamnya.
Terdengar seperti teori konspirasi? Bisa jadi. Tapi fenomena ini ada dan kita patut waspada.
Algoritma Candu

Algoritma Candu (Evatronix)
Kenapa semua platform seolah tahu apa yang kita sukai berdasarkan apa yang kita like? Karena mereka memiliki algoritma yang dirancang untuk membuat kita betah berlama-lama di depan layar.
Tidak hanya dari rekomendasi yang muncul dari beranda, algoritma ini bisa memunculkan push notification yang membuat kita akan tertarik untuk mengecek ponsel pintar kita.
Algoritma ini dapat mempelajari behaviour dan kebiasaan kita dalam menggunakan media sosial untuk memberikan rekomendasi terbaik untuk kita. Hasilnya? Terdapat gudang data yang bisa saja disalahgunakan.
Tidak percaya? Tengok saja skandal Cambridge Analytica yang menyeret Facebook ke ranah hukum. Mereka dianggap terlibat penjualan data demi pemenangan Donald Trump di pemilihan presiden Amerika Serikat.
Teori kami berdua ini terbukti ketika Penulis menonton sebuah film dokumenter yang berjudul The Social Dilemma. Di sana, ada banyak kesaksian dari orang-orang yang terlibat dalam pembuatan media sosial yang khawatir akan ciptaannya sendiri.
Kita Ini Produk

Kita Ini Dijual! (Priscilla Du Preez)
Ketika menggunakan layanan-layanan seperti Google, Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, ataupun YouTube, apakah kita mengeluarkan uang untuk menggunakannya? Tentu tidak.
Jika kita tidak mengeluarkan uang untuk suatu produk, artinya kitalah produknya!
Kenyataan yang cukup mengerikan ini Penulis ketahui setelah menonton The Social Dilemma. Secara tidak sadar, kita telah dijadikan komoditas oleh layanan-layanan yang kita gunakan setiap hari.
Bagaimana caranya? Penulis telah menyinggung bahwa ada penjualan data kita ke pihak ketiga. Dijual ke siapa? Ke pihak pengiklan yang ingin memasarkan produknya.
Kenapa membutuhkan data kita? Yang namanya pengiklan tentu ingin audience yang tepat sasaran. Melalui algoritma yang dimiliki, layanan-layanan tersebut bisa tahu siapa yang cocok untuk melihat iklan tertentu.
Apakah hal tersebut tidak melanggar privasi? Tidak, semua tercantum di Terms & Condition yang biasanya kita abaikan begitu saja. Kita telah menyetujui kalau aktivitas kita akan direkam demi kebutuhan mereka.
Kita sudah masuk ke dalam bagian dari model bisnis raksasa ini. Semakin lama kita menggunakan media sosial, semakin banyak uang yang akan mengalir ke korporat-korporat besar tersebut.
Mungkin kita tidak terlalu peduli jika dijadikan sebagai produk karena merasa tidak dirugikan apa-apa. Hanya saja, ada permasalahan yang jauh lebih berbahaya, di mana generasi muda yang menjadi sasarannya.
Generasi Rapuh

Generasi Rapuh (PNGio.com)
Dari buku Strawberry Generation karya Rhenald Khasali, generasi muda sekarang adalah generasi yang penuh gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati.
Di film The Social Dilemma, Generasi Z (lahir di atas tahun 1996) dianggap sebagai generasi yang lebih mudah cemas, rapuh, dan tertekan. Bisa dilihat ada persamaan pendapat, generasi sekarang adalah generasi yang rapuh.
Apa penyebabnya? Salah satunya adalah karena kehadiran media sosial. Penulis mungkin baru aktif menggunakan media sosial ketika kuliah. Mereka? Rata-rata mulai SMP, bahkan ada yang SD.
Apa yang mereka lakukan sepulang sekolah? Istirahat sambil cek media sosial. Apa yang mereka lakukan sebelum tidur? Main media sosial. Apa yang mereka cek pertama kali ketika bangun? Media sosial.
Rutinitas ini membuat menjadi bukti kalau media sosial sudah menjadi candu untuk mereka. Algoritma yang dirancang oleh layanan-layanan tersebut ternyata berhasil menjalankan tugasnya dengan baik.
Penulis melihat fenomena ini secara langsung karena dekat dengan adik-adik Karang Tarunanya. Jika ditanya apa yang mereka akan lakukan tanpa ponsel pintarnya, mereka akan kebingungan menjawabnya.
Tak jarang media sosial membuat mereka menjadi mager dan melalaikan aktivitas lainnya. Tak jarang yang menjadikan media sosial sebagai pelampiasan atas apa yang terjadi dalam kehidupan nyatanya.
Jika mau percaya teori konspirasi, ada sebuah grand system yang ingin menjadikan generasi muda sebagai generasi yang apatis, egosentris, dan kurang kritis agar mereka mudah dikendalikan sesuai keinginan pihak tertentu.
Jika mereka telah mudah dikendalikan, maka bisa terjadi sesuatu yang tak kalah seram.
Polarisasi Masyarakat

Berpotensi Konflik (AP News)
Penelitian menunjukkan semenjak media sosial menjamur dan diminati oleh hampir semua orang, polarisasi masyarakat meningkat pesat. Contohnya adalah pemilihan presiden 2019 kemarin, bisa dilihat dua kubu saling adu mulut dan jari, bahkan secara kurang sehat.
Dengan menggunakan algortima candu yang dimiliki, kita akan terus melihat apa yang kita sukai. Jika kita menjadi pendukung Semar, maka berita maupun feed yang muncul akan terus berputar di sekitar Semar.
Tak jarang pula kita akan melihat feed yang mengolok-olok lawan dari Semar, sebut saja Togog. Akhirnya, kita akan menjadi fanatik ke Semar dan menjadi haters-nya Togog.
Contoh lain terkait Corona. Ada polarisasi di sini, antara yang percaya dan yang tidak. Mereka saling merasa paling benar dan menertawakan kubu lain.
Di dalam film The Social Dilemma, salah satu narasumber mengatakan bahwa kekhawatirannya terbesar dari adanya algoritma ini adalah civil war. Perang saudara.
Dramatisasi? Bisa jadi, tapi kemungkinan itu ada. Lihat saja bagaimana seringnya netizen yang beda kubu beradu argumen yang kurang bermanfaat. Bukan tidak mungkin pertikaian tersebut berujung kekerasan.
Penutup
Penulis bukan ingin merasa sok suci seolah tak kecanduan media sosial. Penulis pun masih sering seperti itu. Sudah sering Penulis menceritakan bagaimana dirinya merasa kecanduan ponsel hingga akhirnya memutuskan untuk detox media sosial.
Ada banyak yang bisa kita lakukan untuk mengurangi kecanduan ini. Yang ekstrem, hapus aplikasi. Yang lebih ringan, batasi penggunaan, matikan notifikasi dan sistem rekomendasi, jauhkan ponsel pintar ketika hendak tidur maupun akan melakukan aktivitas lain.
Kalau enggak main media sosial, terus kita ngapain? Memang harus ada aktivitas yang bisa mengalihkan perhatian kita, entah baca buku, kumpul dengan teman, bersih-bersih rumah, dan lain sebagainya.
Kita harus menyadari kalau media sosial hanyalah alat yang membantu kita untuk terhubung dengan orang lain, menampilkan karya kita, ataupun mendapatkan informasi.
Jangan sampai terbalik, kita yang digunakan oleh media sosial sebagai sapi perah di dalam sistem bisnis raksasa mereka.
Lawang, 25 September 2020, terinspirasi setelah berdiskusi dengan seorang kawan dan menonton The Social Dillema
Foto: camilo jimenez on Unsplash
Sumber Artikel: The Social Dilemma, Mojok 1, Mojok 2
Sosial Budaya
Ketika Kebenaran Relatif Dianggap Sebagai Kebenaran Absolut

Sebagai orang yang bekerja secara remote, salah satu keistimewaan yang Penulis rasakan adalah bisa bekerja di mana saja. Nah, kalau sedang bosan bekerja dari rumah, biasanya Penulis memilih untuk bekerja di kafe, entah itu sendirian ataupun bersama teman.
Nah, salah satu teman Penulis yang sering work from cafe (WFC) bersama adalah Dio, teman sejak semester satu kuliah yang sekarang menjadi dosen Binus Malang. Kami berdua sering bertukar pikiran di sela-sela menyelesaikan pekerjaan masing-masing.
Belum lama ini, kami berdua WFC di salah satu kafe Malang yang sudah menjadi langganan. Pada saat itu, Dio share bahwa dirinya baru menonton video dari Rumah Editor di YouTube tentang seorang matematikawan bernama Kurt Gödel.

Gödel terkenal karena berusaha membuktikan keberadaan Tuhan dengan menggunakan logika dan matematika. Namun, bukan pembahasan mengenai keberadaan Tuhan yang akan menjadi inti tulisan kali ini.
Yang ingin Penulis bahas adalah topik lain tentang Necessary Truth vs. Contingent Truth, yang juga dibahas dalam video tersebut. Jika penasaran, pembaca bisa menonton video selengkapnya melalui tautan berikut ini.
Kebenaran Absolut vs Kebenaran Relatif

Secara sederhana (oversimplified), Necessary Truth adalah kebenaran yang bersifat mutlak dan tidak mungkin salah. Contoh mudahnya adalah perhitungan 1 + 1 pasti 2, mau di multiverse mana pun pasti jawabannya 2.
Contoh lain, semua segitiga pasti memiliki tiga sisi. Tidak mungkin sebuah segitiga memiliki empat sisi, karena namanya akan berubah menjadi segiempat. Nah, keberadaan Tuhan menurut Gödel juga termasuk Neccesarry Truth.
Di sisi lain, Contingent Truth adalah kebenaran yang bisa saja berubah. Contoh, untuk saat ini ibu kota Indonesia masih Jakarta. Akan tetapi, bisa saja tahun 2029 nanti akan diresmikan kalau ibu kota Indonesia adalah IKN. Siapa yang tahu, kan?
Contoh lain, kita menganggap kalau tokoh A adalah orang jahat karena kita mengetahui rekam jejaknya di masa llau. Namun, bisa saja besok dia tobat dan benar-benar berubah menjadi lebih baik.
Nah, di tulisan ini, Penulis akan menerjemahkan secara bebas Necessary Truth menjadi Kebenaran Absolut dan Contingent Truth menjadi Kebenaran Relatif untuk memudahkan penulisan. Penulis hanya meminjam istilah di atas untuk membahas topik yang kemarin Penulis singgung: polarisasi.
Alasan Mengapa Kita Mudah Diadu Domba

They’ll conquer us if we divide
Mereka akan menaklukkan kita kalau kita terpecah belah
Delusion:All by ONE OKE ROCK
Ketika kita masih di bangku sekolah, tentu kita familier dengan istilah devide at impera atau yang sering disebut juga sebagai politik adu domba. Intinya adalah bagaimana kita sebagai sebuah bangsa dibuat justru saling memusuhi satu sama lain, bukannya bersatu.
Seperti penggalan lirik lagu “Delusion:All” dari ONE OK ROCK di atas, ketika kita terpecah belah, maka “mereka” akan dengan mudah menakhlukkan kita. Musuh tahu, kita akan sulit untuk dikalahkan apabila bersatu.
Meskipun kita sudah merdeka selama 80 tahun, rasanya strategi politik zaman kolonial ini masih terasa hingga sekarang. Bukan oleh bangsa Belanda maupun bangsa lain, tapi oleh bangsa kita sendiri dan membuat kita terpolarisasi dengan mudahnya.
Contoh yang masih hangat tentu saja polemik Brave Pink Green Hero yang diributkan oleh netizen. Bukannya mempersatukan, simbol tersebut justru semakin memperparah polarisasi masyarakat yang semakin parah selama 10 tahun terakhir ini.
Nah, menurut Penuis, salah satu alasan mengapa kita begitu mudah terpolarisasi yang berujung mudah diadu domba adalah karena kita menganggap Kebenaran Relatif sebagai Kebenaran Absolut.

Contohnya begini. Anggaplah Pihak A menganggap kinerja Presiden Prabowo Subianto sangat buruk dan banyak catatan negatif tentangnya. Ditambah dengan algoritma media sosial yang cenderung hanya menampilkan apa yang kita suka, kita semakin menganggap hal tersebut sebagai Kebenaran Absolut.
Karena menganggap apa yang ia yakini sebagai Kebenaran Absolut, maka ia tidak peduli jika ada data yang membantah kalau kinerja Prabowo 100% buruk. Mau ada data penangkapan para koruptor, mau ada data terbongkarnya kasus oplosan, Prabowo tetap jelek.
Sebaliknya juga begitu, ada Pihak B yang menganggap kalau presiden pilihannya 100% baik, tidak mungkin salah. Mau dikasih bukti beberapa hal buruk tentangnya pun, Prabowo tetap yang terbaik, titik.
Mau Prabowo memilih wakil presiden yang mengacak-acak konstitusi, mau Prabowo mengeluarkan pernyataan yang tone deaf, mau Prabowo mengeluarkan kebijakan yang dirasa banyak ahli kurang tepat, Prabowo tetap baik. Keyakinannya telah berubah menjadi Kebenaran Absolut.
Padahal, Prabowo itu baik maupun Prabowo itu buruk sama-sama merupakan Kebenaran Relatif. Prabowo bisa baik dan buruk secara bersamaan, mong namanya juga manusia, bukan nabi. Kebenaran tentang Prabowo bisa berubah, tergantung konteksnya.
Namun, kebencian dan fanatisme berlebih memang bisa membutakan manusia. Kalau sudah benci, benci sekali. Kalau sudah suka, suka sekali. Alhasil, kita pun jadi mudah terpolarisasi dan sering berdebat tak penting di media sosial tanpa ada yang mau merasa kalah.
***
Kalau kita sudah bersikeras menganggap Kebenaran Relatif sebagai Kebenaran Absolut, ya susah. Semua yang bertentangan dengan apa yang kita yakini sebagai kebenaran dianggap salah. Alhasil, diskusi yang sehat pun mustahil tercipta karena kita jadi menutup persepsi lain.
Manusia memang cenderung hanya ingin melihat apa yang ingin dilihat, mendengar apa yang ingin didengar. Jika terus begini, maka kita akan terus mudah terpolarisasi dan diadu domba. Pertanyaannya, mau sampai kapan seperti ini?
Lawang, 10 September 2025, terinspirasi setelah teringat dengan pembicaraan bersama seorang teman tentang teori yang dikemukakan oleh Kurt Gödel
Sumber Featured Image: Andrea Piacquadio
Sosial Budaya
Polemik Brave Pink Hero Green: Mengapa Kita Mudah Terpolarisasi

Salah satu “buah” yang dihasilkan dari panasnya akhir bulan Agustus hingga awal September adalah munculnya gerakan 17+8, yang intinya adalah tuntutan-tuntutan untuk Presiden, DPR, Kepolisian, dan pihak-pihak lainnya.
Sebanyak 17 tuntutan diberi deadline hingga tanggal 5 September kemarin, yang tentu saja pada akhirnya mayoritas yang belum dipenuhi. 8 sisanya diberi deadline satu tahun atau “dikumpulkan” pada bulan September 2026.
Gerakan tersebut diprakarsai oleh banyak tokoh anak muda seperti Jerome Polin, Andovi da Lopez, Fathia Izzati, Andhyta ‘Afu’ Utami, Salsa Erwina, dan Abigail Limuria. Isi tuntutannya pun macam-macam, yang intinya merangkum apa yang selama ini menjadi keresahan masyrakat.

Bersamaan dengan adanya tuntutan tersebut, muncul gerakan Brave Pink Green Hero sebagai bentuk dukungan dan solidaritas atas tuntutan tersebut. Banyak netizen berlomba-lomba untuk ikut mengubah foto profilnya menjadi duo-tone kombinasi kedua warna tersebut, termasuk Penulis.
Munculnya Gerakan Brave Pink Green Hero

Brave Pink dipilih karena keberanian yang ditunjukkan oleh Ibu Ana, yang sempat terpotret berani menghadapi barisan kepolisian sendirian hanya dengan membawa bendera. Sementara itu, Green Hero dipilih untuk mengenang almarhum Affan Kurniawan.
Masalahnya, pemilihan warna tersebut ternyata justru diributkan oleh netizen. Pasalnya, beredar video Ibu Ana yang berteriak secara kasar “Prabowo Anjing, Prabowo Turun, Ganti Anies,” yang diteriakkan di tengah-tengah aksi.
Gara-gara hal tersebut, banyak yang menolak untuk ikut mengganti foto profilnya. Ada yang karena tidak ingin orang bermulut kasar menjadi simbol, ada yang menilai pemilihan warna tersebut bersifat politis, dan lain sebagainya.
Yang membela Ibu Ana pun tak sedikit. Ada yang bilang pemilihan warna pink tersebut karena keberanian yang ditunjukkan Ibu Ana, bukan mewakili pendapat pribadinya. Ada yang bilang pemilihan warna tersebut melambangkan woman empowerment secara keseluruhan.
Penulis menemukan analogi yang menarik di X, di mana ada yang mengomparasi Brave Pink ini dengan slogan “Just Do It” dari Nike dan V Sign sebagai tanda damai. Inspirasi dari keduanya juga berasal dari hal yang tidak 100% baik, bahkan cenderung kontroversi.
Selain itu, ada yang membuat analisis kalau video yang beredar tersebut sebenarnya buatan AI. Banyak kejanggalan yang ditemukan pada foto tersebut, yang sering menjadi ciri video buatan AI. Penulis tidak akan mendebat hal tersebut, karena tidak punya kapabilitas juga untuk menilai.
Terlepas dari pro kontra pemilihan Brave Pink Green Hero ini, Penulis justru merasa ini menjadi bukti lain betapa kita mudah terpolarisasi, yang ujungnya membuat kita mudah diadu domba dan melupakan hal yang substansial.
Mengapa Kita Mudah Terpolarisasi dan Melupakan Hal yang Substansi?

Secara umum, orang mengganti foto profilnya dengan duo-tone tersebut adalah bentuk dukungan dan solidaritas terhadap gerakan 17+8, yang bisa dianggap sebagai aksi nyata dari kita sebagai masyarakat kepada para pemangku kekuasaan yang mengatur negara ini.
Akan tetapi, sebenarnya yang mendukung 17+8 tapi menolak mengganti foto profil juga ada. Yang cuma FOMO ikut mengganti foto padahal tidak mendukung 17+8 juga ada. Yang tidak mendukung 17+8 dan tidak FOMO pun juga ada.
Menariknya, Anies Baswedan yang namanya terseret karena disebut Ibu Ana pun tidak ikut-ikutan mengganti foto profilnya. Mantan capres lainnya, Ganjar Pranowo, juga mengambil langkah yang sama. Tampaknya mereka tidak ingin disangkutpautkan dengan isu ini.
Sebenarnya silakan saja mau memilih yang mana, toh itu hak masing-masing individu. Yang membuat Penulis geram adalah ketika ada pihak yang merasa lebih baik dari pihak lain karena pilihannya. Mereka menyalahkan pihak yang berseberangan dengan berbagai alasan.
Kalau memang tidak srek dengan pemilihan Brave Pink karena sosok Ibu Ana, ya enggak perlu ikut ganti foto profil. Masalahnya, ada saja pihak-pihak ini yang menggiring opini kalau orang-orang yang mengganti foto profilnya adalah A B C D blablabla.
Yang memilih untuk mengganti foto profil juga begitu. Jangan mentang-mentang ganti foto profil, terus jadi merasa yang paling nasionalis dan menghakimi yang tidak melakukannya. Jangan-jangan yang ganti foto profil tidak pernah ikut aksi secara langsung, cuma koar-koar di media sosial (seperti Penulis misalnya).
Salah satu alasan utama mengapa kita begitu mudah terpolarisasi adalah karena terkadang kita menganggap Kebenaran Relatif sebagai Kebenaran Absolut. Penulis akan menjabarkan hal ini lebih detail di tulisan besok.
Lebih parahnya lagi, polarisasi yang terjadi ini justru membuat kita melupakan substansinya, yakni tuntutan masyarakat kepada pemerintah. Harusnya kita sebagai sesama rakyat harus bekerja sama untuk memantau agar tuntutan yang telah diajukan telah terlaksana.
Terserah mau pakai warna pink, hijau, biru, cokelat, merah, nggak pakai warna karena buta warna, bebas. Yang penting, di momen-momen penting seperti saat ini kita harus saling jaga agar suara kita didengar oleh mereka.
***
Jujur, Penulis geram karena ada saja yang meributkan Brave Pink Green Hero ini. Kenapa justru menyorot Ibu Ana-nya, bukan inti dari gerakannya. Ibarat meributkan klub sepak bola bukan karena performa atau permainannya, tapi dari logo klubnya.
Selain itu, Penulis juga merasa heran karena ketika pemimpin negara yang berkata kasar, hal tersebut justru berusaha dinormalisasi. Ketika pemimpin negara mengacak-acak konstitusi agar bisa ikut pemilu, eh malah dipilih. Double standard-nya kok agak kebangetan.
Terlepas dari itu semua, Penulis berharap kejadian yang berlangsung sejak akhir Agustus bisa menjadi momentum kita sebagai bangsa menuju ke arah yang lebih baik lagi. Kita lihat saja tahun depan, apakah tuntutan yang ada di dalam 17+8 ada yang berhasil dikerjakan atau tidak.
Lawang, 9 September 2025, terinspirasi dari netizen yang meributkan masalah brave pink hero green
Foto Featured Image: Tribun
Sosial Budaya
Beda Artis Korea Selatan dan Indonesia Ketika Pemilu

Beberapa waktu lalu, ada fenomena yang menarik perhatian Penulis dari dunia per-K-Pop-an. Karina, salah satu member dari aespo aespa mengunggah sebuah foto di Instagram di mana dia berpose peace.
Sebagaimana simbol peace pada umumnya, tentu Karina membentuk tanda V dengan kedua jarinya. Masalahnya, banyak yang menganggap kalau pos tersebut merupakan bentuk dukungan Karina terhadap salah satu calon presiden di Korea Selatan, yang memang sedang menjalani masa pemilu setelah presidennya dimakzulkan akhir tahun lalu.
Hal ini makin diperparah karena Karina menggunakan jaket dengan tulisan angka 2 dan berwarna merah, warna yang identik dengan partai pengusung calon kandidat nomor 2. Netizen pun langsung heboh dengan pos tersebut.

Tak lama setelah itu, Karina menghapus pos tersebut dan merilis permintaan maaf. SM Entertainment selaku agensi yang menaungi Karina juga merilis klarifikasi. Sejak itu, banyak sekali public figure di Korea yang berhati-hati dalam menunjukkan gestur angka.
Salah satu yang sempat Penulis lihat adalah Hearts2Hearts, yang merupakan adik dari aespo aespa. Dalam salah satu live-nya, beberapa member-nya tanpa sengaja menunjukkan gestur angka yang langsung menimbulkan kepanikan dan segera meralat gesturnya.
Lantas, apakah memang ada aturan public figure yang memiliki basis penggemar besar dilarang menunjukkan dukungan politiknya? Sebenarnya tidak ada peraturan resmi yang melarang, hanya saja hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Istilahnya, “No Color, No Gesture“.
Kok, yang jelas-jelas mendukung. Yang dianggap “tersirat” seperti Karina saja langsung mendapatkan kecaman dari masyarakat Korea Selatan. Bahkan, sampai ada yang mengatakan “mereka sudah tamat.” Mungkin ini yang komentar memang hater-nya aespo aespa saja.
Membandingkan Fenomena Ini dengan Negara Sendiri
Nah, melihat fenomena seperti ini, tentu Penulis jadi membandingkan dengan negaranya sendiri. Kalau di sini, mengapa para artis justru menjadi daya tarik utama untuk mendulang suara? Para artis bisa dengan bebas menunjukkan dukungannya kepada salah satu calon.
Menariknya, para artis pendukung ini bisa mendapatkan posisi-posisi di pemerintahan apabila calon yang didukung berhasil menang. Bayangkan saja Karina tiba-tiba menjadi staf khusus Presiden Korea Selatan. Sulit dibayangkan, bukan? Itulah bedanya.
Ada dua perspektif berbeda yang bisa dikulik dari sini. Pertama, masyarakat Korea Selatan memiliki standar tinggi dalam hal netralitas dan menghindari polarisasi. Siapa yang tidak memiliki keterkaitan dengan kelompok politik tertentu lebih baik diam.
Seperti yang sudah Penulis singgung di atas, public figure di Korea Selatan (terlebih idol K-Pop) memiliki basis penggemar yang sangat besar. Jika mereka sudah menunjukkan dukungan kepada salah satu calon, besar kemungkinan penggemar akan ikut pilihan mereka.
Jika hal tersebut benar-benar terjadi, akibatnya adalah pemilihan berdasarkan apa kata idola mereka, bukan karena murni pilihan pribadi atau preferensi politik mereka. Yang terpilih pun bisa dibilang karena populer, bukan visi misi yang dimiliki (salah satu penyakit tulen demokrasi).
Dari perspektif lain, masyarakat Korea Selatan saja yang terlalu kaku dan tidak menerapkan demokrasi secara utuh. Toh, di negara yang katanya paling demokrasi (baca: Amerika Serikat), para artisnya juga gencar mengampanyekan jagoannya secara blak-blakan.
Artis atau public figure juga memiliki hak suara dan punya hak untuk ikut mengampanyekan calon yang mereka dukung, apa pun alasannya. Bisa karena satu ideologi, bisa karena dibayar. Yang jelas, mereka siap dicap netizen sebagai buzzer.
Lantas, bagaimana dengan penggemar mereka yang memilih karena pilihan para public figure ini? Ya, salah mereka sendiri, kenapa tidak punya pendirian. Mereka harusnya menyadari bahwa sosok idola dan pilihan politik seharusnya dipisahkan.
Kalau yang ekstrem, mungkin mereka akan berhenti mengidolakan seseorang apabila pilihan politiknya berbeda. Dari yang dulu memuja-muja dan like semua pos di media sosial, berbalik menjadi penghujat nomor satu.
Terlepas dari kedua perspektif di atas, ini adalah kali kedua Penulis secara pribadi membandingkan artis Korea Selatan dan Indonesia. Sebelumnya, Penulis sering membandingkan perbedaan gaya hidup mereka, tapi rasanya itu bisa dibahas di tulisan lain.
***
Pertanyaannya sekarang, mana yang benar? Apakah Korea Selatan yang kaku atau Indonesia yang selow? Menurut Penulis, tidak ada yang salah atau benar. Toh, masing-masing negara memiliki budaya yang berbeda, sehingga masing-masing tahu mana yang terbaik untuknya.
Mungkin artis Korea Selatan memang harus ekstra hati-hati karena masyarakatnya cukup sensitif dengan masalah politik. Bayangkan saja, Rei dari IVE saja sampai takut ketika disuruh melakukan aegyo dengan menunjuk pipinya menggunakan telunjuk. Padahal ia dari Jepang, yang artinya tidak punya hak pilih.
Sebaliknya, masyarakat Indonesia tampaknya cukup selow ketika melihat para artisnya menjadi tim kampanye calon presiden tertentu. Tentu ada saling hujat di sana-sini, tapi rasanya tidak seekstrem masyarakat Korea Selatan. Paling dicap buzzer aja, apalagi yang sampai dapat jabatan di pemerintahan terpilih.
Lawang, 8 Juni 2025, terinspirasi setelah melihat bagaimana takutnya para idol K-Pop menunjukkan gestur angka ketika masa jelang pemilu presiden Korea Selatan
Sumber Artikel:
-
Fiksi12 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Anak-Anak Semar
-
Anime & Komik11 bulan ago
Ai Haibara adalah Karakter Favorit Saya di Detective Conan
-
Non-Fiksi11 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan
-
Renungan11 bulan ago
Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri
-
Non-Fiksi11 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca The Book of Everyday Things
-
Musik11 bulan ago
Tier List Lagu-Lagu di Album “From Zero” Versi Saya
-
Permainan11 bulan ago
Koleksi Board Game #27: Here to Slay
-
Olahraga11 bulan ago
Kok Bisa, ya, Ada Klub Enggak Pernah Menang Sampai 7 Kali
You must be logged in to post a comment Login