Sosial Budaya
“Kakak Agamanya Apa?”

Ketika menelusuri linimasa TikTok, entah mengapa pertanyaan “kakak agamanya apa?” sedang menjadi topik yang sedang hangat dan paling sering diangkat oleh kreator.
Ada yang merasa tersinggung sampai menyuruh si penanya bertanya ke guru agamanya apakah pertanyaan tersebut sopan, ada yang menanggapinya santai saja dan heran kenapa ada yang tersinggung dengan pertanyaan ini, ada yang hanya diam sambil geleng-geleng kepala, dan lain sebagainya.
Penulis pun menjadi penasaran, mengapa pertanyaan yang terkesan sepele ini menjadi sesuatu yang besar.
Melanggar Privasi, Memicu Diskriminasi
Di negara-negara Eropa yang mayoritas sekuler, menanyakan agama seseorang dianggap melanggar privasi. Agama di sana bukanlah sesuatu yang biasa diumbar-umbar, sehingga wajar mereka tersinggung jika ditanya oleh orang asing.
Indonesia sendiri bukan negara sekuler. Sila pertamanya saja berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa. Walaupun begitu, beberapa warganya merasa kalau agama yang mereka yakini tidak untuk dipublikasikan, apalagi kepada orang yang tidak mereka kenal.
Bagi yang merasa keberatan, mungkin karena merasa privasinya diganggu. Dari beberapa sumber dan kenalan Penulis, mereka yang minoritas juga kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi ketika menyebutkan agamanya, terutama dari kelompok mayoritas.
Kenalan Penulis menceritakan pengalaman kurang menyenangkannya. Suatu hari, ia ditanya oleh seseorang mengenai agamanya. Setelah dijawab, ia dibilang kafir oleh orang tersebut. Siapapun akan terluka mendengar ucapan seperti itu.
Berdasarkan contoh tersebut, Penulis jadi bisa memaklumi kalau orang-orang minoritas merasa keberatan jika ditanya apa agamanya.
Walaupun begitu, terkadang ada perlunya untuk memberitahu apa agama kita. Misal kita ikut sebuah tur ke Jepang. Kalau kita tidak memberitahu kalau kita beragama Islam, bisa saja kita akan diajak minum sake atau makan olahan babi.
Yang Mau Jawab Ya Jawab, Yang Enggak Juga Enggak Apa-Apa
Menurut Penulis sendiri, polemik pertanyaan agama kita apa ini tidak perlu dibesar-besarkan. Mengharapkan orang berhenti menanyakan hal tersebut juga bisa dibilang sangat susah.
Seperti pola hidup stoisme, kita cukup berfokus pada apa yang bisa kita kendalikan. Apa itu? Respon kita terhadap pertanyaan tersebut.
Yang mau jawab pertanyaan itu dengan bangga ya silakan. Yang keberatan ya enggak usah dijawab, atau mengatakan kalau dirinya merasa keberatan dengan pertanyaan tersebut.
Jika semua polemik yang terjadi di tengah masyarakat bisa diselesaikan dengan damai, hidup pun akan menjadi lebih aman dan tenteram tanpa perlu ada drama kurang penting.
Penutup
Menanyakan agama seseorang, termasuk yang tidak dikenal, menjadi bukti betapa kita begitu suka mengusik atau minimal kepo terhadap kehidupan pribadi seseorang.
Mulai dari public figure sampai anak tetangga, kita kerap merasa ingin tahu sisi lain kehidupan lain yang tak tampak mata. Tidak heran jika budaya bergunjing tumbuh subur di sekitar kita.
Kebiasaan yang kurang baik ini memang susah dihilangkan, tapi setidaknya kita bisa mulai dari diri sendiri.
Lawang, 22 Desember 2020, terinspirasi setelah ramainya isu tentang pertanyaan tentang agama yang kita anut oleh orang asing
Foto: Rifky Nur Setyadi
Sosial Budaya
Ketika Berinvestasi dengan Uang Panas

Beberapa waktu lalu, muncul berita mengejutkan di mana ada seorang mahasiswa dari salah satu universitas negeri ternama melakukan pembunuhan kepada adik tingkatnya. Ketika diusut, penyebabnya adalah karena ia terlilit hutang karena berinvestasi di kripto.
Tak tanggung-tanggung, hutang yang dimiliki mencapai 80 juta rupiah. Setelah membunuh adik tingkatnya, ia berencana untuk menjual barang-barang milik orang yang ia bunuh tersebut untuk membayar hutang yang dimilikinya.
Apalagi, kabar beredar kalau adik tingkat tersebut memiliki portofolio investasi yang lebih berhasil, sehingga mungkin menimbulkan rasa iri pada pelaku. Kasus ini pun mengajari kita, kalau jangan berinvestasi menggunakan uang panas seperti hutang.
Investasi Itu Memang Penting, tapi…

Kita semua tentu mendengar tentang pentingnya berinvestasi, tapi rasanya baru belakangan ini fenomenanya menjadi begitu ramai, terutama sejak adanya pandemi. Apalagi, sekarang ada banyak pilihan investasi yang bisa dipilih.
Jika orang dulu akan memilih investasi dengan membeli tanah, emas, atau properti, maka generasi sekarang cenderung memilih aset seperti saham, reksadana, cryptocurrency, hingga NFT yang sempat heboh beberapa waktu lalu walaupun kini telah meredup.
Penulis sendiri juga masih belajar sedikit-sedikit tentang investasi. Sebagian tabungan Penulis sisihkan untuk ditaruh di berbagai instrumen. Ada saham lokal, saham luar negeri, reksadana, hingga emas digital. Ada yang sudah profit, ada yang merah terus dan terasa hopeless.
Kenapa Penulis tidak berinvestasi di kripto? Ada banyak alasannya, mulai dari faktor boleh tidaknya di keyakinan Penulis, sifatnya yang sangat fluktuatif dan spekulatif, tidak ada bentuk riilnya, dan karena minimnya pengetahuan yang dimiliki.
Pada dasarnya, Penulis adalah orang yang mudah skeptis dan tidak mudah tergiur sesuatu yang sifatnya “kaya dengan mudah”. Meskipun kerap mendengar bagaimana orang mendadak kaya karena kripto, Penulis sama sekali tidak tertarik.
Nah, kasus pembunuhan yang sudah Penulis singgung di atas kemungkinan besar adalah contoh bagaimana manusia bisa tergiur dengan iming-iming “kaya dengan mudah” melalui investasi kripto. Padahal, risikonya sangat besar, apalagi jika menggunakan uang panas.
Mengapa Tidak Boleh Menggunakan Uang Panas untuk Berinvestasi?

Menurut pengertian Penulis pribadi, uang panas adalah sebuah istilah untuk merujuk kepada uang yang jika hilang akan menimbulkan masalah berat. Tentu semua uang yang hilang akan menjadi gawat, tapi uang panas ini sifatnya super duper gawat.
Contohnya adalah uang dari gaji yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika uang tersebut kita gunakan untuk investasi dan raib, maka kita tidak bisa memenuhi kebutuhan kita dan berpotensi membahayakan hidup kita.
Hutang adalah contoh lain dari uang panas. Biasanya, ketika orang berinvestasi dengan uang hutang, mereka berharap akan mendapatkan untung yang bisa ia simpan sekaligus mengembalikan hutang yang ia pinjam.
Sayangnya, kenyataan tidak pernah semanis itu. Boro-boro cuan, yang ada investasinya buntung karena kurangnya edukasi. Tergoda dengan easy money, yang ada ia justru tidak bisa mengembalikan hutang tersebut.
Apalagi, sekarang ada banyak sekali pilihan investasi yang terkesan high risk high value. Kalau mau cuan banyak, ya harus berani ambil risiko tinggi. Bahkan, banyak yang sengaja ngompor-ngomporin agar banyak orang terpikat, seperti yang dilakukan para crazy rich palsu itu.
Tidak hanya kripto, aplikasi trading pun sempat ramai karena banyak yang merasa tertipu. Bahkan yang lebih parah, ada yang menggunakan uang panas untuk judi online atau main slot. Sudah dosa, pakai uang hutang pula.
Kita bisa berkaca pada kasus crash-nya kripto Luna hingga menjadi tidak bernilai sama sekali. Seandainya kita menginvestasikan uang kita di sana dengan uang hutang lalu nilainya drop sedemikian rupa, bagaimana kita bisa mengembalikan hutang tersebut?
Penutup
Penulis sepakat bahwa investasi itu sangat penting untuk kehidupan kita. Daripada uangnya dibuat membeli sesuatu yang tidak terlalu penting (seperti board game, uhuk), lebih baik diinvestasikan agar bisa “beranak-pinak” dan menambah aset kita.
Dengan berinvestasi, kita akan memiliki dana darurat jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Selain itu, investasi juga digunakan sebagai dana pensiun (untuk non-PNS tentunya) agar kita tidak memberatkan anak cucu kita kelak.
Namun, jangan sampai juga memaksakan diri untuk berinvestasi, bahkan sampai berhutang. Jika memang belum ada kemampuan untuk berinvestasi, coba untuk belajar mengelola keuangan lebih baik lagi atau belajar skill baru agar value kita bertambah.
Gunakanlah uang dingin untuk berinvestasi, yakni uang yang tidak berputar dan tidak digunakan untuk berbagai keperluan. Contoh, kita memiliki gaji 15 juta dengan kebutuhan bulanan 10 juta, maka 5 jutanya adalah uang dingin yang bisa digunakan untuk berinvestasi.
Semoga saja kasus pembunuhan karena kripto yang terjadi baru-baru ini bisa memberi kita pelajaran yang penting tentang berinvestasi. Selain jangan menggunakan uang panas, jangan suka pamer portofolio ke orang lain yang bisa bikin mereka iri!
Lawang, 25 Agustus 2023, terinspirasi setelah membaca berita tentang mahasiswa UI yang membunuh adik tingkat karena Crypto
Foto Featured Image: IMDb
Sosial Budaya
Threads: The Right Thing at the Right Time

Hari Kamis (6/23) kemarin menjadi hari rilisnya Threads, sebuah media sosial baru dari Meta (induk perusahaan dari Facebook, Instagram, WhatsApp) yang text-oriented. Dalam sekejap aplikasi ini langsung mendapatkan atensi dan berhasil mendapatkan puluhan juga user.
Banyak yang menyebut kalau aplikasi ini pada dasarnya sama dengan Twitter, yang kini dimiliki oleh Elon Musk. Tak heran jika Musk sampai menuliskan surat untuk Mark Zuckerberg (bos Meta) dan mengancam akan menuntut Threads.
Jika dilihat secara sekilas, memang Threads sangat mirip dengan Twitter, bahkan banyak yang menganggap aplikasi ini mirip dengan Twitter di masa-masa awal. Apalagi, Threads memiliki tampilan yang minimalis dan belum akan ada iklan untuk sementara waktu.
Terlepas dari segala permasalahan yang ada, Penulis ingin membahas mengenai bagaimana Threads muncul sebagai hal yang tepat di waktu yang tepat, tentang bagaimana sebuah aplikasi muncul di saat aplikasi sejenis sedang mengalami berbagai problematika.
Threads Hadir di Kala Twitter Bermasalah

Seperti yang kita ketahui bersama, Twitter jadi banyak masalah (dan drama) semenjak Elon Musk mengakuisisi perusahaan pada bulan Oktober 2022. Contoh yang paling mudah adalah banyaknya karyawan yang ia pecat dengan berbagai alasan.
Kebijakan yang ia buat untuk Twitter pun kerap menjadi polemik, seperti centang biru berbayar hingga adanya pembatasan pos yang bisa dilihat oleh user yang tidak membayar paket subscription tertentu.
Di tengah kekacauan yang membuat sebagian pengguna Twitter merasa jengah, Meta tiba-tiba muncul dengan Threads. Mereka menyediakan sebuah aplikasi alternatif untuk mereka yang merasa makin malas menggunakan Twitter.
Penulis sendiri akhir-akhir ini semakin malas membuka Twitter karena isinya berantem mulu. Meskipun tidak mengikuti akun-akun yang berpotensi menimbulkan kericuhan, ada teman-teman di Twitter yang melakukan repost atau muncul sebagai iklan.
Nah, kemunculan Threads menjadi alternatif yang tepat karena sebagai aplikasi baru, mayoritas isi timeline Penulis merupakan tulisan dari teman-temannya yang juga baru mencoba. Namun, bukan tidak mungkin ke depannya Threads akan ikut rusuh.
Selain itu, mungkin orang juga bisa menjadikan Threads sebagai jeda dari konten yang bersifat visual seperti TikTok, Reels, hingga Shorts. Walau konsep infinity short videos menyenangkan bagi sebagian orang, lama-lama pasti juga akan merasa jenuh.
Berdasarkan pengalaman menggunakan aplikasi ini selama dua hari, Penulis memang merasa kalau Threads digunakan oleh orang-orang untuk berceloteh apapun yang ada di pikiran mereka, mirip dengan konsep Twitter dulu yang seolah telah hilang saat ini.
Apakah Threads akan Menjadi Twitter Killer?

Begitu Threads muncul, Musk langsung mengancam akan menuntut Meta. Alasannya, aplikasi tersebut dianggap sebagai tiruan dari Twitter, terlebih banyak mantan karyawan Twitter direkrut oleh Meta, sehingga “kebocoran informasi internal” sangat mungkin terjadi.
Melalui tweet-nya (tentu saja di Twitter, bukan di Threads), Musk mengatakan bahwa sebuah kompetisi untuk Twitter sah-saja saja. Namun, ia tidak bisa menolerir kecurangan. Nah, apa yang Meta lakukan dengan Threads ia anggap sebagai kecurangan.
Apakah Musk takut dengan kemunculan Threads? Bisa saja, mengingat konsep dari kedua platform memang benar-benar sama. Hingga saat ini, Penulis belum bisa menemukan perbedaan antara keduanya.
Threads memiliki keunggulan karena ia terintegrasi dengan Instagram. Begitu mendaftar, kita bisa login dengan akun Instagram kita untuk mendapatkan profil dan daftar teman atau akun yang ikuti di Instagram, bahkan jika mereka belum join ke Threads.
Dengan meledaknya jumlah pengguna hanya dalam waktu dua hari, wajar jika Musk ketar-ketir kalau pengguna Twitter akan berpindah haluan ke Threads. Namun, jika dipikir-pikir lagi, sebenarnya kemunculan Threads bisa jadi karena ulahnya sendiri.
Sebagaimana yang telah diulas di atas, Musk banyak memecat karyawan Twitter, sehingga mereka bergabung dengan kompetitor. Selain itu, ia juga kerap membuat kebijakan yang membuat user tidak nyaman dengan Twitter, sehingga wajar mereka pindah ke Threads.
Jika Musk tidak berbenah dengan Twitter-nya (terlepas ia telah mengatakan telah menunjuk CEO pengganti dirinya), bukan tidak mungkin kalau Threads benar-benar akan menjadi Twitter-killer di masa depan.
Monopoli Meta di Dunia Media Sosial?

Dari sisi Meta, kita pun harus waspada karena mereka terlihat sedang ingin memonopoli dunia media sosial. Ketika dunia ramai oleh TikTok, mereka membuat fitur Reels untuk Instagram. Kini, mereka seolah ingin mengambil alih pasar yang dimiliki oleh Twitter.
Sama seperti Microsoft yang sedang dikejar oleh Free Trade Commission (FTC) karena berusaha mengakuisisi Activision Blizzard, bisa jadi Meta juga akan diincar karena dianggap melanggar undang-undang antimonopoli.
Apalagi, sebelumnya sudah banyak media sosial lain yang tumbang karena tidak mampu bersaing dengan mereka. Sebut saja Google+, Path, Vine, hingga MySpace. Jika Twitter sampai bernasib seperti aplikasi-aplikasi tersebut, tentu itu akan mempertegas monopoli Meta.
Threads pun mendapatkan tantangan untuk membuktikan kalau mereka berbeda dari Twitter. Jika ternyata ini hanya fenomena sesaat dari orang-orang yang rindu akan Twitter lama, maka Threads pun berpotensi untuk kehilangan pengguna yang merasa bosan.
Saat ini, masih banyak fitur yang belum dimiliki oleh Threads, seperti hashtag, mengirim pesan ke pengguna lain, trending topic, dan sebagainya. Masalahnya, semua fitur tersebut sudah ada di Twitter, sehingga jika ada pun akan membuat Threads semakin mirip Twitter.
Kalau kasus Twitter vs Threads benar-benar dibawa ke persidangan dan terbukti kalau Threads hanya copycat dan sebuah upaya untuk memonopoli dunia media sosial, maka bisa jadi Threads tidak akan berumur panjang.
Penutup
Sejauh ini, Penulis menikmati penggunaan Threads yang terasa segar berkat banyaknya teman-teman Penulis yang menggunakannya untuk berbagi berbagai macam hal dan tampilannya yang minimalis.
Mungkin yang pusing adalah mereka yang kerjanya di bidang media sosial, karena pekerjaan mereka otomatis akan bertambah (yang kemungkinan tidak diiringi dengan bertambahnya gaji). Semangat untuk mereka semua!
Memang ada perasaan pesimis kalau Threads akan menjadi fenomena sesaat saja, terutama jika kalah sidang melawan Twitter. Belajar dari tutupnya Helo yang dimiliki Bytedance, bukan tidak mungkin hal yang sama bisa terjadi terhadap Threads.
Namun, Meta sebagai perusahaan induk pasti telah menyiapkan berbagai strategi untuk membuat Threads bisa survive. Yang jelas, mereka sangat cerdik karena bisa memberikan hal yang tepat di waktu yang tepat, ketika Twitter dilanda banyak permasalahan.
Lawang, 7 Juli 2023, terinspirasi dari kemunculan aplikasi Threads
Foto Featured Image: The Telegraph
Sumber Artikel:
- Zuckerberg claims tens of millions of Threads signups within hours of launch – CBS News
- What is Threads – and can it beat Twitter? – The Telegraph
- Zuckerberg says Threads, Instagram’s new Twitter-like app, has 30 million users; Elon Musk responds – Fox Business
- Elon Musk’s Twitter Threatens to Sue Meta Over Threads, Alleging Meta Hired ‘Dozens’ of Twitter Employees to Launch Copycat App; Meta Disputes Claim – Variety
Sosial Budaya
Mario Savio dan Pidatonya akan Bahaya Mesin (AI)

“Ketika pengoperasian mesin menjadi sangat menjijikkan, membuat Anda sangat sakit hati, sehingga Anda tidak dapat mengambil bagian. Anda bahkan tidak dapat berpartisipasi secara pasif, dan Anda harus meletakkan tubuh Anda di atas persneling dan di atas roda, di tuas, di semua peralatan, dan Anda harus menghentikannya!”
Kutipan di atas merupakan kutipan dari Mario Savio, seorang aktivis yang menjadi bagian dari Berkerley Free Speech Moment. Penulis mengetahuinya karena Linkin Park menggunakan pidato tersebut untuk lagunya yang berjudul “Wretches and Kings” di album A Thousand Suns.
Yang Penulis tangkap dari pidato Savio tersebut adalah kekhawatirannya Savio mengenai keberadaan mesin yang semakin mengkhawatirkan dan bisa menggantikan peran manusia. Menariknya, pidato tersebut dilakukan pada tanggal 2 Desember 1964.
Penulis melihat ini menjadi hal yang sangat menarik, karena bagaimana bisa pidato yang diucapkan 60 tahun lalu masih relevan hingga saat ini, ketika keberadaan Artificial Intelegence (AI) di dunia untuk menggantikan manusia semakin mengerikan dan mengkhawatirkan.
AI yang Semakin Merajarela

Seperti yang kita ketahui, belakangan ini isu AI semakin ramai. Dimulai dari ChatGPT yang bisa membuat tulisan hingga AI yang bisa membuat desain sendiri hanya dengan memasukkan kata-kata, kekhawatiran publik langsung mencuat.
Bahkan, beberapa tokoh terkenal di bidang teknologi pun ikut menyuarakan ketakutannya, seperti Elon Musk (CEO Tesla dan SpaceX), Steve Wozniak (salah satu pendiri Apple), hingga Evan Sharp (pendiri Pinterest).
Bagaimana tidak, pekerjaan-pekerjaan yang dulu dianggap “aman” dan tidak akan digantikan mesin ternyata bisa digantikan. Contoh yang paling nyata dan dekat dengan kehidupan Penulis adalah pekerjaan sebagai penulis dan desainer.
Hampir semua pekerjaan-pekerjaan “di balik meja” bisa digantikan, bahkan pembawa berita acara dan bintang iklan pun bisa dilakukan oleh AI. Rasanya, saat ini hanya pekerjaan fisik seperti pemain sepak bola, supir, hingga kuli bangunan yang benar-benar aman.
Di tengah susahnya bagi sebagian orang untuk menemukan pekerjaan, tentu kabar ini semakin membuat ketar-ketir. Jika dulu hanya bersaing dengan sesama manusia saja sudah sulit, sekarang harus sudah ditambah dengan bersaing melawan AI.
Perang Lawan AI, Kita Harus Apa?

Kalau dari sisi perusahaan atau korporat, tentu penggunaan AI sangat membantu dalam menghemat anggaran. Apalagi, AI terbukti mampu bekerja lebih cepat, walau terkadang hasilnya masih belum benar-benar sempurna.
Hal ini semakin diperparah karena AI disokong oleh perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti Microsoft dan Google. Semua seolah berlomba untuk menghadirkan AI terbaik, dengan dalih ingin membantu pekerjaan manusia menjadi lebih ringan.
Lantas, di tengah “perang” antara manusia dan AI ini, apa yang harus kita lakukan? Menurut Penulis, satu langkah konkrit yang bisa diambil adalah berusaha untuk memiliki skill yang tidak akan bisa digantikan oleh AI.
Tentu tidak mudah untuk menemukannya. Seperti yang sudah Penulis singgung di atas, banyak pekerjaan yang awalnya dianggap aman ternyata bisa-bisa saja digantikan Ai. Beberapa tahun ke depan, Penulis tidak bisa membayangkan akan secanggaih apa AI nanti.
Kondisi ini tentu membuat kita teringat akan film-film bertema sci-fi di mana manusia tak berdaya berkat ciptaannya sendiri. Keberadaan AI yang semakin canggih tentu membuat masa-masa distopia seperti itu sangat mungkin untuk terjadi.
Apakah Pekerjaan Penulis Juga Terancam?

Penulis telah berkarir di bidang media selama kurang lebih 8 tahun, dimulai dari seorang penulis hingga sekarang sebagai editor. Dengan kehadiran AI terutama ChatGPT, apakah pekerjaan di bidang ini akan terancam?
Seperti yang kita ketahui, ChatGPT (dan AI lainnya) belum benar-benar sempurna. Meskipun mampu merangkai kalimat dengan sangat baik, Penulis masih merasakan kalau tulisan tersebut dibuat oleh mesin, bukan tangan manusia.
Tidak percaya? Beberapa waktu lalu, salah satu kontributor di tempat kerja Penulis menyetorkan artikel yang terasa “terlalu sempurna”. Apalagi, dia mampu membuatnya dalam waktu yang begitu cepat. Hal ini ganjil, mengingat yang bersangkutan kurang berpengalaman.
Benar saja, kecurigaan Penulis terbukti benar. Di salah satu artikel yang ia buat, ada informasi yang benar-benar kacau dan ia tidak menyadarinya. Setelah Penulis desak, ternyata terbukti kalau ia menggunakan ChatGPT untuk menyelesaikan artikel.
Belajar dari kasus ini, Penulis menyimpulkan kalau AI belum bisa menggantikan peran penulis betulan, setidaknya untuk saat ini. Manusia jelas masih lebih hebat dalam menyusun kalimat yang menarik. Terasa kok, mana tulisan buatan manusia mana buatan mesin.
Penutup
Siapa yang menyangka kekhawatiran Mario Savio berpuluh-puluh tahun yang lalu masih relevan hingga hari ini, bahkan dalam skala yang lebih mengerikan. Jika dulu mesin yang menggantikan manusia bisa terlihat secara fisik, maka AI seolah tak terlihat.
Mau berharap pengembangan AI dihentikan juga susah, karena para korporat raksasa justru berlomba menciptakan yang terbaik. Tampaknya percuma saja kita mengajukan protes, pengembangan AI tidak menunjukkan tanda-tanda akan melambat.
Namun, daripada memusingkan kemunculan AI, lebih kita fokus dengan apa yang bisa dilakukan. Anggap saja kemunculan AI mendorong dan memaksa kita keluar dari zona nyaman. Kehadiran AI menjadi pengingat, kita harus selalu mengembangkan diri.
Lawang, 2 Juli 2023, terinspirasi setelah ada banyak sekali AI yang semakin mengkhawatirkan
Foto Featured Image: The Nation
Sumber Artikel:
- Musik4 bulan ago
Maskulinitas pada Musik Dewa
- Buku4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Funiculi Funicula: Kisah-Kisah yang Baru Terungkap
- Anime & Komik4 bulan ago
Alasan Saya Tidak Suka One Piece
- Musik5 bulan ago
9 Personel Twice dan Impresi Saya ke Mereka
- Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #6 King of New York
- Pengembangan Diri5 bulan ago
Pada Akhirnya, Kebaikan yang Kita Lakukan akan Kembali ke Diri Sendiri
- Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Funiculi Funicula: Before the Coffee Gets Cold (Spoiler Version)
- Sosial Budaya4 bulan ago
Hype Konser Coldplay di Indonesia: Beneran Nge-fans atau Sekadar FOMO?
You must be logged in to post a comment Login