Connect with us

Pengembangan Diri

Menikmati Kebosanan

Published

on

Ketika sedang merasa bosan karena tidak ada aktivitas, apa yang akan Pembaca lakukan? Mungkin jawabannya akan berkisar antara mengecek gawai, berselancar di media sosial, bermain gim, dan aktivitas di depan ponsel lainnya.

Di antara semua probabilitas tersebut, kemungkinan besar pelarian kita adalah media sosial, entah Instagram, Twitter, TikTok, dan lainnya. Apalagi, sekarang ada banyak konten infinity scroll yang kerap membuat kita lupa waktu.

Penulis bisa mengatakan hal tersebut karena dirinya sendiri pun juga seperti itu. Ketika memperhatikan orang-orang di sekitar Penulis, mereka juga seperti itu. Ketika sedang berada di transportasi umum, kebanyakan terpaku di depan layar ponselnya.

Pada tulisan kali ini, Penulis ingin mengajak para Pembaca sekalian untuk mencoba menikmati ketika rasa bosan datang melanda. Tidak perlu melakukan apa-apa, rasakan saja kebosanan tersebut.

Kenapa Setiap Merasa Bosan Langsung Otomatis Cek Ponsel?

Bosan Dikit Cek HP (Photo by Andrea Piacquadio)

Dalam keseharian, pasti ada saja kesibukan yang kita lakukan. Yang kerja ya kerja, yang sekolah ya belajar, dan lain sebagainya. Ketika sedang fokus melakukan aktivitas tersebut, pikiran kita tercurahkan di sana.

Namun, ketika pekerjaan atau tugas sekolah telah selesai, apa yang akan kita lakukan? Kemungkinan besar akan istirahat sambil cek media sosial, main gim, atau nonton YouTube. Refreshing untuk melepaskan penat.

Hal ini tentu sangat wajar dan mungkin memang dibutuhkan oleh diri selama dosisnya normal. Kalau refreshing dengan scroll TikTok sampai tiga jam, ya menurut Penulis sudah agak kebablasan.

Penulis sendiri adalah tipe yang sering “terbuai” dengan media sosial. Niatnya hanya lima menit, malah keterusan sampai satu jam. Ini sering Penulis lakukan ketika merasa bosan dan belum ada aktivitas lain yang harus diselesaikan (atau ada, tapi ditunda).

Menyadari kekurangan ini, Penulis pun berusaha untuk membatasi penggunaan media sosial dan ponselnya. Fitur pembatas waktu yang ada Penulis manfaatkan betul, bahkan sesekali menggunakan aplikasi yang akan memblokir total pemakaian.

Hidup Itu Butuh Jeda

Merasa Bosan Itu Memang Tidak Enak (Photo by cottonbro)

Pertanyaannya, kenapa tubuh ini seolah otomatis mengecek ponsel ketika merasa suwung? Berdasarkan pengalaman pribadi, hal tersebut terjadi karena kita telah membiasakan “menggantungkan diri” ke ponsel ketika merasa bosan.

Ketergantungan pada ponsel ketika merasa bosan ini menurut Penulis agak bahaya. Kita seolah “diperbudak” dan tidak ada hal lain yang bisa dilakukan. Dari yang awalnya karena merasa bosan, kemungkinan kita akan lanjut berkutat di depan layar hingga berjam-jam.

Tubuh dan pikiran kita seolah tidak dibiarkan memiliki jeda untuk menikmati kebosanan yang sedang terjadi. Seolah ada tuntutan dari dalam diri kalau harus ada sesuatu yang dilihat, jangan sampai merasa bingung harus ngapain.

Padahal, merasakan dan menyadari kebosanan itu ada manfaatnya. Ketika dalam melakukan rutinitas seolah kita mampu bergerak secara otomatis, jeda sebentar ketika merasa bosan akan membantu kita menyadari hadirnya diri kita sendiri.

Abaikan saja saran dari otak atau tangan yang bergerak otomatis mengambil ponsel. Cukup duduk dan biarkan kebosanan tersebut datang. Nikmati kebosanan tersebut, karena mungkin ada saatnya kita begitu disibukkan oleh banyak hal hingga tak sempat merasa bosan.

Apa yang akan Datang Ketika Menikmati Kebosanan

Mungkin Bisa Sekalian Sambil Meditasi (Photo by Andrea Piacquadio)

Ketika berusaha menikmati kebosanan dan tidak membiarkan pikirannya diambil alih oleh ponsel, pikiran Penulis awaknya pasti akan random dan memikirkan apapun yang terlintas. Rasanya memang tidak nyaman, sehingga godaan untuk mengecek ponsel menjadi besar.

Namun, selang beberapa menit, kita sudah mulai bisa memusatkan pikiran kita. Dengan berhenti sejenak, terkadang kita menemukan inspirasi, menyadari tentang mindfulness atau hadir untuk saat ini, dan lainnya.

Tak jarang kita jadi menyadari sesuatu yang kemungkinan besar selama ini terabaikan karena terlalu bergantung pada ponsel untuk mengusir kebosanan. Penulis kadang merenung tentang hidupnya, tentang kesalahannya, bahkan memikirkan apa yang perlu diperbaiki.

Ketika sedang ada di tempat umum, misal sedang menunggu pesawat lepas landas, Penulis kerap duduk dan mengamati sekitar. Ada saja hal unik dan menarik yang tidak akan Penulis sadari jika menggunakan waktu menunggu tersebut untuk bermain ponsel.

Cobalah sesekali ketika merasa bosan, jangan mengecek ponsel. Diam saja, nikmati kebosanan tersebut merasuki tubuh. Coba atur napas yang biasanya selalu bersikulasi secara otomatis tanpa perlu diatur. Coba sadari kalau kita hadir saat ini, di sini, tanpa perlu melakukan hal lain.

Penutup

Tulisan ini tentunya bukan mengajak para Pembaca untuk sering-sering merasa bosan dan melamun. Inti dari tulisan ini adalah ajakan untuk menghilangkan ketergantungan terhadap ponsel saat merasa bosan.

Alih-alih mendistraksi pikiran dengan sesuatu yang belum tentu bermanfaat, ada baiknya kita menggunakannya untuk me time. Coba rasakan kehadiran kita saat ini, bahwa kita sebagai manusia tengah berada di suatu ruang tanpa ada sesuatu yang harus dikerjakan.

Menikmati kebosanan itu sesekali menyenangkan kok, bahkan mungkin memang dibutuhkan. Berikan pikiran dan tubuh kita jeda sejenak tanpa ada distraksi dari mana pun. Sekali lagi, nikmati saja rasa bosan itu.


Lawang, 25 Oktober 2022, terinspirasi setelah menyadari bahwa menikmati kebosanan tidak ada salahnya

Foto: Sepp Rutz

Pengembangan Diri

Memahami Sumber Ketidakbahagiaan untuk Menemukan Kebahagiaan

Published

on

By

Siapa yang tidak ingin bahagia? Penulis rasa sudah fitrahnya manusia untuk merasa bahagia selama dia hidup. Walaupun definisi bahagia orang bisa berbeda-beda, sudah sewajarnya manusia mengejar kebahagiaan.

Jika disuruh mendeskripsikan apa itu bahagia, jujur Penulis sedikit kebingungan mendefinisikan versi Penulis. Mungkin karena tidak memahami apa makna dari kebahagiaan inilah Penulis jadi jarang merasa bahagia.

Karena merasa kesulitan mendefinisikan kebahagiaan, Penulis mencoba untuk berpikir sebaliknya. Bagaimana jika kita mencari apa yang membuat kita tidak bahagia, karena lebih mudah untuk diidentifikasi?

Memahami Apa Penyebab Ketidakbahagiaan

Kita Lebih Mudah Tidak Bahagia daripada Bahagia (Engin Akyurt)

Tentu banyak hal yang bisa membuat kita tidak bahagia. Namun, jika dirumuskan dalam satu kalimat, Penulis meyakini kalau ketidakbahagiaan muncul ketika gambaran ideal yang ada di kepala tidak menjadi kenyataan.

Misalnya begini. Bagi Penulis, secara ideal Penulis harus bisa bangun pagi yang dilanjutkan dengan lari pagi. Setelah itu, mandi pagi, menulis artikel blog, baru mulai bekerja. Jika semua rangkaian tersebut tidak terlaksana, Penulis merasa gagal, dan akhirnya tidak bahagia

Contoh lain, bagi Penulis penghasilan yang ideal adalah 20 juta rupiah per bulan. Namun, hingga saat ini Penulis belum bisa mencapai nominal tersebut. Karena tidak sesuai dengan gambaran idealnya, Penulis pun jadi merasa tidak bahagia.

Sekarang Penulis mengambil contoh gambaran ideal ke orang lain. Misal kita punya gambaran ideal tentang pasangan di kepala: perhatian, peka, pendengar yang baik, loyal. Nah, ketika mendapatkan pasangan yang tidak sesuai dengan gambaran ideal tersebut, kita tidak bahagia.

Dengan kata lain, kita harus pandai-pandai mengelola ekspektasi yang ada di kepala kita, entah itu ekspektasi ke diri sendiri maupun ke orang lain. Tentu bukan berarti kita jadi punya target yang rendah dalam hidup, tapi lebih bisa menerima jika target tersebut belum bisa dicapai.

Sejujurnya karena tulisan ini lama ditunda, Penulis lupa di mana menemukan konsep di atas. Kemungkinan besar dari buku Filsafat Kebahagiaan, tapi Penulis tak bisa memastikan. Jadi, anggap saja benar.

Bersyukur Setiap Kali Mengeluh

Selalu Cari Apa yang Bisa Disyukuri (Kaboompics.com)

Dalam buku Effortless karya Greg McKeown yang sedang dibaca, Penulis menemukan satu konsep yang menarik. Dalam salah satu babnya, kita diajak membiasakan diri untuk mensyukuri sesuatu setiap kali kita mengeluh.

Kalau Penulis tarik, ini bisa Penulis kaitkan dengan bahasan kebahagiaan dan ketidakbahagiaan di tulisan ini. Keluhan identik dengan ketidakbahagiaan, sedangkan rasa syukur identik dengan kebahagiaan.

Misal begini, kita mengeluhkan betapa banyaknya kerjaan yang terasa tidak masuk akal untuk kita kerjakan sendiri. Alhasil kita jadi merasa tidak bahagia, karena menurut gambaran ideal kita, seharusnya kita tidak mengerjakan tugas sebanyak itu.

Nah, begitu terbesit keluhan tersebut, coba kita cari satu hal saja yang bisa disyukuri tentang pekerjaan tersebut. Setidaknya, kita masih punya pekerjaan di tengah badai PHK di banyak tempat dan kondisi ekonomi seperti ini.

Contoh lain, kita merasa sebal karena pasangan kita kurang pengertian dan kurang peka. Dari keluhan tersebut, coba cari hal yang bisa disyukuri darinya. Oh, walau dia gitu, tapi dia setia banget dan selalu mau membantu di kala kita kesusahan.

Kalau mengingat hal-hal yang bisa disyukuri, gambaran ideal di kepala pun akan menyesuaikan diri. Dengan demikian, kita akan mencocokkan realita dengan bayangan ideal kita, sehingga kita bisa merasa bahagia.

Jadi, jika disimpulkan, maka kebahagiaan adalah ketika kita bisa mengelola gambaran ideal yang ada di kepala kita. Kebahagiaan adalah ketika kita bisa mengelola ekspektasi kita dengan baik. Jangan lupa bahagia!


Lawang, 17 September 2025, terinspirasi karena merasa dirinya perlu mendefinisikan ulang mengenai apa itu kebahagiaan

Foto Featured Image: Jorge Fakhouri Filho

Continue Reading

Pengembangan Diri

Jangan Menunggu Sempurna, Mulai Aja Dulu

Published

on

By

Sejak dulu, Penulis merasa dirinya adalah seorang perfeksionis parah. Segala sesuatu harus sesuai dengan standarnya. Bahkan, tak jarang kalau Penulis baru akan memulai sesuatu jika merasa itu sudah sempurna.

Tak hanya itu, Penulis kerap menanti waktu terbaik untuk memulainya agar sempurna seperti yang ada di bayangannya. Alhasil, karena menunggu kesempurnaan itu, Penulis justru tidak memulai-mulainya.

Nah, saat ini Penulis sedang membaca buku Effortless karya Greg McKeown. Salah satu poin yang tertera di buku tersebut adalah Dimulai. Intinya kita harus melakukan satu aksi pertama yang nyata, yang benar-benar kita lakukan. Itulah yang ingin Penulis bahas kali ini.

Menengok Ketidaksempurnaan Mangaka Populer

Dibandingkan menonton anime, Penulis lebih suka membaca komik karena membutuhkan durasi yang lebih singkat. Menariknya, dari sekian banyak komik yang pernah dibaca, Penulis menemukan satu kesamaan: tidak semua mangaka langsung bisa menggambar dengan bagus.

Contoh yang paling terkenal kasus ini adalah Hajime Isayama, mangaka Attack on Titan. Banyak orang yang membandingkan bagaimana “mentahnya” gambar di awal-awal jika dibandingkan dengan chapter-chapter yang paling baru.

Evolusi Gambar Attack on Titan (Reddit)

Tak hanya Isayama, Penulis juga merasa ada evolusi dari gambar Masashi Kishimoto (Naruto), Akira Toriyama (Dragon Ball), Eiichiro Oda (One Piece), dan masih banyak lagi. Biasanya, chapter-chapter awal para mangaka tersebut masih mencari formula terbaik untuk komiknya.

Tentu ada standar minimum agar karya mereka bisa lolos dari editor. Namun, tetap saja jika dibandingkan dengan chapter-chapter terbaru dari komik tersebut, kita bisa melihat perubahan ke arah yang lebih baik.

Tak hanya komik, Webtoon pun memiliki pola yang sama. Dari beberapa judul favorit Penulis seperti Ngopi Yuk!, Kosan 95, Si Ocong, sampai Tahilalat pun juga tak langsung sempurna. Mereka tak menanti sempurna, yang penting mulai dulu aja.

Bahkan blog ini pun bisa dibilang juga memiliki pola yang sama. Ketika Penulis membaca tulisan-tulisan awal yang terbit di tahun 2018, Penulis merasa malu sendiri karena kualitasnya jelek dan banyak kesalahan penulisan yang mendasar.

Mulai Dulu Aja

Mulai Aja Dulu (JÉSHOOTS)

Penulis menyadari bahwa perfeksionisme justru bisa menjadi benalu yang menghambat perkembangan diri. Menanti sesuatu yang tak akan pernah datang, seperti kesempurnaan, hanya akan berakhir dengan buruk.

Dari buku Atomic Habits karya James Clear, Penulis belajar bahwa untuk memulai sesuatu, mulailah dari yang kecil terlebih dahulu. Bangun lima menit lebih awal, menulis satu paragraf, membaca satu halaman, mengubah satu baris CV, adalah beberapa contohnya. Jangan dibuat ribet, buat sesederhana mungkin.

Misal Penulis ingin mengejar lagi cita-citanya untuk bekerja di luar negeri. Tidak perlu muluk-muluk harus apply 10 perusahaan dalam sehari. Penulis bisa memulai dengan memeriksa CV lamanya untuk mengecek apakah sudah layak atau belum.

Contoh lain adalah ketika Penulis ingin memiliki keseharian yang lebih sehat dan teratur. Maklum, bekerja dari rumah (WFH) selama hampir lima tahun membuat Penulis cukup kesulitan untuk mendisiplinkan diri.

Jadi, harus ada langkah-langkah kecil yang nyatan dan harus diambil untuk memperbaiki hal tersebut. Penulis memutuskan untuk merutinkan jalan kaki ke masjid setiap waktu sholat tiba, yang membuat Penulis jadi lebih disiplin waktu dibandingkan sebelumnya.

Kembalinya blog ini juga buah dari mulai aja dulu. Penulis dulu merasa perfeksionis dengan merasa nulis blog itu harus ada time block-nya sendiri, di pagi hari sebelum jam bekerja. Alhasil, blog pun jadi terbengkalai selama berbulan-bulan.

Penulis pun coba mengubah mindset-nya, yang penting nulis hari ini. Tidak sampai tayang pun tidak apa, yang penting mulai nulis dulu aja. Menariknya, setiap memulai menulis, pada akhirnya tulisan tersebut bisa tuntas hingga tayang.

Lantas, gimana kalau ketika kita misalnya ingin membangun rutinitas harian, tapi sering miss-nya? Ya, tidak apa-apa. Jangan mengejar kesempurnaan harus melakukan rutinitas tersebut selama 7 hari dalam seminggu.

Dibandingkan mengejar streak, yang penting ada berusaha agar setiap harinya bisa melakukan rutinitas tersebut. Kalau masih bolong-bolong pun tidak apa-apa. Akan tetapi, kalau bisa memang jangan bolong terlalu panjang, nanti malah berhenti total.

Untuk memudahkan, setiap kepikiran ingin melakukan sesuatu, langsung pikirkan apa yang harus dilakukan pertama kali. Nantinya, langkah-langkah selanjutnya akan mengikuti dengan sendirinya. Sekadar mencatat pun sudah cukup, yang penting ada aksi nyata yang dilakukan.

Hal lain yang tak kalah penting adalah jangan suka menunda-nunda. Ini adalah kebiasaan buruk Penulis yang sering dilakukan. Akibatnya, banyak hal jadi terlupakan begitu saja tanpa pernah direalisasikan. Ide-ide tulisan blog misalnya, yang keburu usang karena sudah lupa apa yang ingin ditulis.

Satu hal lain yang cukup fatal adalah Penulis merupakan tipe yang kalau satu tidak dilakukan, maka semua tidak dilakukan. Ini adalah puncak dari masalah yang ditimbulkan oleh sifat perfeksionisme, yang sering all or nothing.

Padahal, jika ada satu hal yang tidak sesuai rencana, masih ada banyak hal lain yang bisa diperjuangkan untuk diselesaikan. Jangan hanya karena satu hal membuat berantakan semuanya. Lebih baik kita fokus dengan apa yang masih bisa diselesaikan.

Sebagai orang yang sangat perfeksionis, belakangan ini Penulis berusaha berdamai dengan ketidaksempurnaan. Tidak semuanya harus sempurna sesuai dengan keinginan kita. Jika bisa melakukannya, mungkin kita akan bisa melakukan apa yang dulu kita anggap mustahil.


16 September 2025, terinspirasi setelah menyadari bahwa kita tak perlu menunggu sempurna untuk memulai sesuatu

Foto Featured Image: Mikhail Nilov

Continue Reading

Produktivitas

Selama Bangun, Mata Kita Terus Terpapar Layar

Published

on

By

Coba ingat-ingat aktivitas kita dalam sehari-hari mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi di malam hari. Seberapa banyak aktivitas yang melibatkan layar di perangkat elektronik, baik dari ponsel, laptop, hingga televisi?

Penulis sendiri baru-baru ini menyadari bahwa dirinya hampir terpapar layar selama dirinya beraktivitas, mengingat pekerjaan dan hobi menulis Penulis sama-sama menuntut dirinya untuk selalu berada di hadapan layar.

Pada tulisan kali ini, Penulis ini melakukan interopeksi diri mengenai betapa panjangnya durasi dalam satu hari yang dihabiskan untuk menatap layar elektronik yang sejatinya memancarkan blue light.

Bagaimana Penulis Menghabiskan Sebagian Besar Waktunya di Depan Layar

Hari-Hari Lihat Layar (St. Luke’s)

Penulis akan berbagai dari pengalamannya sendiri (di hari kerja) untuk menjelaskan bagaimana kita sangat sering terpapar layar sejak dari bangun tidur. Penulis tidak akan menggunakan contoh “rutinitas yang ideal,” melainkan menggunakan contoh keseharian yang sering dilakukan.

Pagi hari di saat waktu Shubuh, Penulis akan terbangun karena alarm ponsel dan tablet. Setelah menunaikan ibadah sholat, Penulis akan kembali rebahan dan mengecek ponsel. Terkadang Penulis membaca buku dulu, tapi lebih sering mengecek ponsel.

Seringnya, Penulis akan tertidur lagi sekitar 1-2 jam setelah bangun pagi. Penulis baru akan terbangun lagi menjelang morning concall dan brainstorm yang dilakukan setiap pagi jam 9. Kalau lagi malas, Penulis akan rapat di atas kasur, bisa menggunakan tablet maupun laptop.

Biasanya rapat pagi ini berlangsung sekitar 1 jam. Setelah itu, Penulis akan sarapan yang sering dilakukan sambil menonton YouTube. Selesai sarapan (Penulis sarapan cukup siang), Penulis akan kembali bekerja dan berhenti menjelang Dhuhur untuk mandi, rawat diri, dan sholat Dhuhur.

Antara waktu Dhuhur dan Maghrib adalah waktu utama Penulis untuk bekerja di depan PC. Karena memasang larangan untuk mengecek media sosial atau bermain game di jam kerja, Penulis biasanya beristirahat sambil membaca buku, tidur sejenak, atau sekadar bermain dengan kucing.

Masuk jam istirahat di malam hari, biasanya Penulis habiskan dengan cek media sosial ataupun menonton YouTube di televisi ruang keluarga bersama ibu. Makan malam pun seringnya dilakukan sambil menonton televisi.

Jam 9 ke atas, biasanya Penulis kembali masuk ke kamar dan mulai menulis artikel blog di depan laptop. Setelah selesai, Penulis bisa kembali cek media sosial atau bermain game di tablet. Tak jarang juga Penulis menonton YouTube di televisi kamar sebelum akhirnya tidur.

Cara Mengurangi Durasi Melihat Layar

Buku Menjadi “Pelarian” yang Baik (Rahul Shah)

Dari cerita di atas, bisa dilihat kalau hampir seluruh kegiatan Penulis di hari kerja dilakukan dengan melihat layar, entah itu ponsel, tablet, laptop, maupun PC. Mau serius, mau santai, semua berkaitan dengan layar.

Bisa dibilang, hanya ada lima aktivitas yang tidak melibatkan layar sama sekali, yakni ketika sholat, membaca buku, bermain kucing, mandi, dan tidur. Ini menunjukkan bahwa betapa tergantungnya Penulis terhadap perangkat-perangkat elektronik untuk menjalani kesehariannya.

Penulis merasa kalau ini bukan gaya hidup yang sehat. Meskipun pekerjaannya menuntut untuk sering melihat layar, Penulis harusnya bisa mengimbanginya dengan aktivitas-aktivitas lain yang tidak membutuhkan layar.

Membaca buku jelas menjadi opsi yang paling menyenangkan bagi Penulis. Buku bisa menjadi jeda sejenak dari layar sekaligus sebagai penambah wawasan bagi dirinya. Namun, “daya” baca Penulis sudah tidak seperti dulu. Mentok-mentok satu jam sudah lelah, kecuali sedang membaca novel yang seru.

Selain itu, olahraga outdoor seperti lari pagi juga bisa menjadi aktivitas yang sehat. Dulu Penulis cukup rutin melakukannya, bahkan bisa menyebuhkan insomnia yang dideritanya. Namun, belakangan ini entah mengapa rasanya sangat berat untuk melakukannya.

Mencari hobi offline yang tidak membutuhkan layar juga bisa menjadi alternatif. Contoh yang paling gampang tentu saja bermain board game seperti yang sering Penulis lakukan di akhir pekan bersama circle-nya. Tidak hanya bermain, Penulis juga bisa mengobrol dengan teman-temannya.

Hobi offline lain yang bisa menyita waktu kita adalah merakit model kit seperti Gundam, LEGO, dan sejenisnya. Masih ada banyak hobi offline lainnya yang bisa dilakukan, seperti berkebun, futsal, memancing, memasak, menggambar, main musik, dan lainnya.

Penulis juga ingin mengurangi kebiasaan makan sambil nonton YouTube. Walau kesannya multitasking, aktivitas makan sebenarnya bisa menjadi jeda yang baik. Apalagi, sudah seharusnya kita fokus dengan makanan yang ada di hadapan kita dan bersyukur masih bisa menikmatinya.

Kegiatan lain yang perlu dikurangi adalah bermain media sosial. Aktivitas yang satu ini telah terbukti sebagai penyedot waktu terbesar. Walau sudah membatasi diri sekitar 1-2 jam per hari, Penulis merasa itu masih terlalu banyak dan bisa dikurangi lagi agar lebih produktif.

***

Mungkin karena kebetulan saja pekerjaan Penulis menuntut dirinya untuk melihat layar seharian. Apalagi, Penulis masih work from home sampai sekarang. Jadi, tulisan ini bisa jadi tidak related kepada orang-orang yang pekerjaannya tidak selalu mengharuskan mereka untuk melihat layar.

Namun, bagi para Pembaca yang juga menjalani rutinitas seperti Penulis, semoga saja tulisan ini bisa membantu menyadarkan betapa seringnya mata kita terpapar layar elektronik dan mulai mencari alternatif aktivitas lain yang lebih sehat.


Lawang, 1 Oktober 2024, terinspirasi setelah menyadari bahwa dirinya hampir selalu menatap layar monitor dalam banyak bentuk

Sumber Featured Image: Ron Lach

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan