Connect with us

Sosial Budaya

Twitter dan Tuntutan Kesempurnaannya

Published

on

Sempat lama tak terpakai, penulis kembali gemar bermain Twitter dalam 2 tahun terakhir. Kalau tidak salah, gara-gara banyaknya tweet Rocky Gerung yang bernada sarkas dan sedikit nakal.

Semenjak itu, penulis pun lebih sering menghabiskan waktunya di Twitter dibandingkan Instagram yang membuat penulis sering membandingkan dirinya dengan orang lain.

Akan tetapi, akhir-akhir ini penulis merasa risau ketika bermain Twitter. Entah mengapa banyak pengguna media sosial berlogo burung ini seolah menuntut kita untuk selalu sempurna, sehingga tak ada ruang sedikitpun untuk kesalahan.

Social Justice Warrior

Dulu, penulis mengira istilah Social Justice Warrior atau sering disingkat SJW adalah orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan berusaha mengingatkan ke sebanyak mungkin orang lain tentang pentingnya menjaga lingkungan.

Ternyata, SJW bukan itu. Sesuai namanya, keadilan sosial adalah sesuatu yang mereka perjuangkan dan bela mati-matian melalui media sosial maupun aksi-aksi nyata.

Dari yang penulis perhatikan, banyak “SJW” yang bermain Twitter meskipun mereka tak pernah mendeklarasikan diri. Penulis menyimpulkan sendiri berdasarkan tweet-tweet yang mereka ketik sendiri. Jadi, bisa saja salah.

Biasanya, ketika ada sebuah tweet yang dianggap menyerang atau menyinggung orang atau kelompok tertentu (biasanya minoritas), tweet tersebut akan langsung dikeroyok para “SJW” dengan berbagai argumen.

Masalah Sosial vs Masalah Agama

Ketika ada orang-orang (terutama para selebtweet dengan jumlah pengikut yang tinggi) membuat ciutan yang menyangkut masalah sosial, mereka benar-benar tidak boleh membuat kesalahan.

Walaupun seandainya niat mereka baik, akan ada orang-orang yang melihat celah kesalahan pada cuitan tersebut. Tak jarang tudingan-tudingan seperti “tak peka”, “omdo doang”, atau “kamu tak tahu rasanya” akan muncul di kolom komentar.

Maka dari itu, jangan sampai menjadikan permasalahan sosial sebagai bahan bercanda. Netizen akan siap menghujat siapapun yang menjadikan mental illness, anak broken home, emansipasi wanita, dan lain sebagainya sebagai bahan tweet secara keliru.

Anehnya, setidaknya bagi penulis, ketika banyak yang menjadikan agama (semua jenis agama) sebagai bahan candaan di Twitter, mereka terlihat kalem-kalem saja dan malah ikut menertawakannya.

Penulis pun jadi bingung, ini penulis yang gagal paham atau memang ada sesuatu yang salah dengan kita. Apakah karena kita terbiasa dengan yang namanya standar ganda?

Menurut penulis, baik permasalahan sosial maupun agama tidak bisa dijadikan sebagai bahan bercanda. Karena itu, penulis tidak pernah suka dengan yang namanya dark jokes.

Tuntutan Untuk Sempurna

Kemunculan orang-orang yang terlihat seperti “SJW” tersebut membuat kita merasa dituntut untuk menjadi manusia yang sempurna. Beberapa baris kata yang kita ketik seolah menjadi bukti yang cukup untuk menghakimi kita.

Seorang pengguna Twitter bernama Edward Suhadi (kalau tidak salah, ia pernah menjadi cameo di film Kulari ke Pantai) membuat thread yang mewakili perasaan penulis.

Menurutnya, sekarang ini menulis apapun di Twitter seolah selalu ketemu aja salahnya. Jika apes, sang pembuat tweet bisa dimaki-maki habisan oleh netizen.

Mencoba memberikan motivasi dianggap sebagai toxic positivity. Padahal, bisa jadi sang pembuat tweet sedang terlintas untuk membagikan semangat begitu saja. Mungkin, penggunaan kata atau kalimatnya saja yang kurang tepat.

Yang berbahaya, kita seolah bisa tahu dengan tepat apa maksud dari pembuat tweet. Kita bukan dukun, kita tak akan pernah tahu apa yang ada di pikiran mereka. Jadi, kenapa harus sotil?

Jika balasan komentar mengandung argumen yang membantah sih masih oke. Bagaimana dengan balasan yang hanya bersifat menyerang dan dibumbui dengan caci maki? Inilah yang lebih toxic.

Entah kenapa masyarakat sangat mudah ngegas dan tidak bisa hidup dengan lebih santuy di Twitter seperti dulu. Oh bisa ding, kalau yang dijadikan bahan candaan masalah agama. Kalau ada yang marah, berarti close-minded dan radikal. Kita ini memang lucu, kok.

Penutup

Ada yang bilang, Twitter menjadi seperti ini karena banyak pengguna Instagram yang pindah. Mereka tak paham “kultur” Twitter dan masih membawa “kultur” Instagram. Benarkah demikian? Entahlah, tak ada data yang mendukung.

Karena mulai jengah dengan Twitter, penulis jadi mulai beralih ke Pinterest atau benar-benar berhenti bermain media sosial untuk sementara waktu.

Biarlah penulis ketinggalan informasi, toh kita terkenal karena mudah melupakan suatu isu atau permasalahan. Kalaupun ada thread atau drama yang terjadi, paling dua minggu kemudian sudah lenyap ditelan waktu.

Penulis paham, para “SJW” ini pun mungkin berniat baik. Mereka ingin menjaga perasaan orang, terutama minoritas. Mereka ingin keadilan sosial yang merata untuk semua kalangan.

Hanya saja, rasanya kok semakin ke sini para “SJW” ini semakin berlebihan dalam menanggapi sesuatu. Penulis jadi berpikiran kalau mereka lebih sentimen kepada siapa yang mengucapkannya, bukan apa yang diucapkannya.

Jika masyarakat terus-menerus menjadi hakim sosial yang menuntut kita untuk menjadi sempurna setidaknya di dunia maya, tentu akan menghasilkan lingkungan yang tidak nyaman bagi banyak orang.

Bukan tidak mungkin, orang-orang akan jadi takut beropini karena takut dihakimi oleh para “SJW” ini.

 

 

Kebayoran Lama, 9 November 2019, terinspirasi dari kegelisahan penulis ketika melihat linimasa Twitter.

Foto: freestocks.org

Sosial Budaya

Ketika Pengakuan Sosial Menjadi Kebutuhan Pokok

Published

on

By

Jika menengok ke beberapa peristiwa yang sempat menjadi perbincangan netizen, Penulis menemukan sebuah pola di mana hidup di era sekarang terkesan membutuhkan pengakuan sosial sebanyak mungkin.

Bahkan, banyak hal yang akan dilakukan untuk bisa mendapatkan pengakukan sosial tersebut, termasuk mengeluarkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Kebutuhan untuk diakui dan tidak dipandang sebelah mata oleh orang lain seolah mengalahkan kebutuhan hidup lainnya.

Fenomena ini pun berhasil menarik perhatian Penulis. Berhubung banyak momen yang berhubungan dengan hal ini belum pernah Penulis bahas, Penulis ingin merangkum semuanya di sini.

Berbagai Cara untuk Dapatkan Pengakuan Sosial

Rela Keluar Uang Demi Pengakuan Sosial (ERA.ID)

Hal yang baru saja terjadi beberapa waktu lalu adalah adanya joki Strava. Awalnya, Penulis tidak mengetahui apa itu Strava, hingga akhirnya menemukan fakta kalau itu merupakan sebuah aplikasi yang akan melacak aktivitas olahraga kita seperti lari atau bersepeda.

Tampaknya Strava ini menjadi gaya hidup yang sedang hype, di mana pengguna akan membagikan hasil olahraganya ke media sosial. Masalahnya ada saja orang yang enggan berolahraga, tapi tidak ingin ketinggalan dengan tren ini.

Alhasil, muncullah joki Strava. Mereka akan beraktivitas sesuai permintaan, lantas melakukan screenshot ke aplikasi Strava untuk dikirimkan ke klien. Nanti, klien bisa mengunggahnya ke media sosial seolah ia yang telah melakukannya.

Jika mundur lagi ke belakang, salah satu hal yang ramai dibicarakan ketika bulan puasa adalah adanya jasa sewa lanyard untuk digunakan ketika ikut buka puasa bersama (bukber). Lanyard tersebut seolah menjadi semacam medali yang bisa dibanggakan kepada teman-temannya, walau kenyataannya ia berbohong (di bulan puasa lagi).

Bicara tentang sewa, ada juga jasa sewa iPhone. Ponsel buatan Apple ini memang seolah telah beralih fungsi menjadi penanda status sosial. Bahkan, katanya kalau tidak menggunakan iPhone, maka kita tidak akan bisa masuk ke circle pertemanan!

Masih ada banyak contoh bagaimana kita seolah haus akan pengakuan sosial, termasuk memaksa orang lain memanggil kita haji. Namun, rasanya contoh-contoh di atas sudah cukup untuk menggambarkan fenomena ini.

Mengapa Kita Begitu Haus dengan Pengakuan Sosial?

Gak Punya iPhone Gak Boleh Masuk Circle (Apple)

Rasanya manusiawi jika kita merasa insecure dengan orang lain, apalagi jika kita merasa belum bisa sesukses orang lain. Namun, hal tersebut menjadi masalah apabila kita menggunakan jalan pintas untuk menutupi rasa insecure tersebut.

Dari contoh yang sudah Penulis sebutkan, kita rela mengeluarkan uang (yang Penulis yakin tidak sedikit) untuk membohongi orang lain. Padahal tidak olahraga, update Strava. Tidak kerja di BUMN, pakai lanyard BUMN. Punyanya ponsel Android murah, malah sewa iPhone.

Tidak hanya membohongi orang lain, hal tersebut juga bisa dikatakan sebagai membohongi diri sendiri. Hanya demi pengakuan sosial dan tidak direndahkan oleh orang lain, kita rela untuk melakukan hal-hal semu tersebut.

Penulis pernah mendapatkan cerita dari adik tentang temannya yang dari luar terlihat hidup glamor. Pakaiannya modish, ponselnya iPhone, dan lain sebagainya. Kenyataannya, ia hidup dengan meminjam uang dari teman-temannya demi memenuhi gaya hidupnya tersebut.

Kita menemukan satu alasan untuk mengapa kita rela membohongi dirinya sendiri: demi menuruti gengsi dan gaya hidup. Demi mendapatkan pengakuan dari orang lain, utang ke banyak orang hingga tidak punya teman pun akan dilakukan.

Cerita lain adalah bagaimana adik Penulis, yang ponselnya hanya Samsung biasa, seolah mendapatkan diskriminasi dari teman-temannya yang pada menggunakan iPhone. Ribet karena tidak bisa AirDrop, kata mereka.

Cerita-cerita tersebut menjelaskan alasan lain mengapa orang rela membohongi dirinya sendiri: karena terkadang lingkungan yang menuntut mereka seperti itu. Kondisi ini diperparah dengan media sosial yang kerap menunjukkan gaya hidup konsuntif.

Padahal, sebenarnya orang lain tidak peduli-peduli amat sama kita. Lantas, mengapa kita menjadi begitu bingung agar dipedulikan oleh mereka? Mengapa harus membohongi diri sendiri dan orang lain untuk itu? Penulis masih tidak habis pikir hingga sekarang.

Penutup

Bertahun-tahun yang lalu, ayah Penulis memberikan nasehat kalau kita sebagai manusia tidak membutuhkan pengakuan orang lain. Siapa yang menyangka, nasehat tersebut masih sangat relevan hingga sekarang, bahkan terlalu relevan.

Terkadang kita memang membutuhkan validasi dari orang lain, terutama saat kita sedang down. Namun, validasi yang paling penting datang dari diri sendiri. Mau siapa pun memberi validasi, kalau kita tidak mampu memvalidasi diri sendiri, ya percuma.

Jadi, menggunakan jalan pintas untuk mendapatkan validasi dari orang lain ya percuma, karena di lubuk hati terdalam kita tahu kalau kita sedang membohongi diri kita sendiri. Jalan pintas tersebut cuma menjadi topeng demi menutupi kenyataan hidup yang ada.

Daripada terus membohongi diri sendiri dan orang lain demi pengakuan sosial, lebih baik kita fokuskan diri untuk berbenah. Daripada terus mencari pengakukan sosial, lebih baik kita terus memperbaiki diri agar kita bisa mendapatkan pengakuan dari diri sendiri.

Tingkatkan skill dan value diri agar bisa beneran kerja di kantor yang prestise dan bisa beli ponsel impian. Lawan rasa malas dan mulai berolahraga. Itu memang pilihan yang lebih sulit, tapi itu merupakan jalan benar, bukan jalan pintas yang sesat.


Lawang, 21 Juli 2024, terinspirasi setelah melihat fenomena joki strava dan kejadian-kejadian lainnya

Foto Featured Image: SIROKO

Continue Reading

Sosial Budaya

Korea Selatan dan Reality Show: Sarana Promosi Negara ke Dunia

Published

on

By

Seperti yang pernah Penulis bahas dalam tulisan-tulisan sebelumnya, belakangan ini Penulis kembali mengikuti dunia per-K-Pop-an sejak berkenalan dengan Twice. Bahkan, yang kali ini bisa dibilang lebih intens berkat algoritma yang dimiliki oleh YouTube Music.

Meskipun menikmati musiknya, sebenarnya Penulis tidak terlalu suka menonton video performance atau konser mereka. Penulis justru lebih tertarik menonton berbagai acara reality show maupun talkshow yang melibatkan mereka.

Oleh karena itu, Penulis juga jadi sering menonton acara yang melibatkan para idol girlband yang musiknya Penulis dengarkan, terutama Runningman dan Weekly Idol. Apalagi, banyak dari mereka yang memiliki acaranya sendiri, seperti Time to Twice dan 1, 2, 3 IVE.

Saat menonton acara-acara tersebut, Penulis pun jadi sadar akan sesuatu. Hampir di semua episode reality show tersebut, terselip berbagai hal yang terkesan “mempromosikan” Korea Selatan kepada dunia. Reality show digunakan untuk mempromosikan negaranya.

Bagaimana Reality Show Korea Selatan Menjadi Sarana Promosi

Acara Runningman Memperkenalkan Banyak Wisata dan Makanan Korea Selatan (Life Adventure of Gegina)

Sebelum bersentuhan dengan dunia K-Pop, yang Penulis ketahui tentang Korea Selatan hanya mereka pernah menjadi tuan rumah Piala Dunia 2002. Selain itu, yang Penulis tahu lagi tentu Park Ji-sung, pemain sepak bola top yang pernah berseragam Manchester United.

Setelah berkenalan dengan K-Pop, Penulis jadi mulai mengenal Korea Selatan lebih luas. Selain dari segi musik dan persaingan industri yang keras, Penulis juga jadi banyak mengenal banyak hal mulai dari bahasa, budaya, hingga makanan.

Salah satu yang “berjasa” untuk hal tersebut bagi Penulis adalah Runningman. Acara yang sudah berjalan ratusan episode tersebut kerap diadakan di berbagai tempat di Korea Selatan, yang secara tak langsung menjadi sarana promosi wisata untuk menarik wisatawan.

Meskipun acaranya “kejar-kejaran” (setidaknya di episode-episode awal), selalu ada saja B-roll yang memperlihatkan keindahan lokasi yang digunakan untuk syuting, entah itu di pusat kota Seoul hingga tempat yang jauh seperti Jeju Islands.

Tidak hanya tempat wisata yang ditonjolkan, banyak episode Runningman yang juga menonjolkan kuliner asli Korea Selatan. Selalu ada shot di mana para member dan bintang tamu terlihat sangat menikmati hidangan yang ada.

Pola ini juga Penulis temukan di reality show lainnya yang Penulis tonton seperti Time to Twice dan 1, 2, 3 IVE. Bahkan salah satu member dari IVE, Rei, memiliki kanal YouTube sendiri bernama 따라해볼레이 by섭씨쉽도 (Follow Rei) dan memiliki pola yang serupa.

Contoh di episode 27 ketika acara tersebut mengundang member IVE lainnya, Leeseo. Pada episode tersebut, Rei dan Leeseo melakukan piknik di pinggir sungai Han yang terkenal sembari menikmati berbagai makanan Korea Selatan.

Selain itu, bahasa yang digunakan sudah pasti menggunakan bahasa Korea. Sama seperti penonton anime, penonton reality show Korea Selatan pun jadi termotivasi untuk bisa memahami bahasa Korea Selatan agar tidak perlu menggunakan subtitle lagi untuk menonton.

Bagaimana Indonesia (Harusnya) Bisa Mengadopsi Strategi Reality Show Korea Selatan

Konsep Reality Show Korea Selatan Bisa Kita Adopsi (X)

Tentu Korea Selatan tidak hanya memanfaatkan K-Pop dan reality show untuk menyebarkan berbagai budaya dan mempromosikan pariwisata serta makanannya. Drama dan film Korea Selatan pun sudah sangat mendunia.

Namun, menurut Penulis memanfaatkan reality show sebagai sarana promosi negara adalah ide yang cerdik. Berbeda dengan K-Pop dan drama yang mungkin cukup segmented, reality show cenderung bisa lebih dinikmati oleh orang banyak.

Contoh, Penulis biasanya mengajak ibunya untuk menonton acara-acara reality show Korea Selatan, tentu yang sekiranya bisa masuk dan dipahami oleh beliau. Walau kadang lebih banyak berkomentar mengenai “operasi plastik,” ibu Penulis ternyata bisa menikmati reality show tersebut.

Salah satu alasannya adalah reality show dikemas dalam bentuk hiburan, sehingga terkesan ringan dan mudah untuk dinikmati. Kita tidak perlu mengikuti alur cerita atau memiliki selera musik tertentu, karena reality show memang dibuat agar mudah dipahami.

Karena perannya untuk menghibur, tentu penonton akan sering tertawa ketika menontonnya. Oleh karena itu, penonton pun tak keberatan (dan mungkin tidak sadar) jika di dalam acara tersebut terselip promo-promo terselubung, entah dari segi pariwisata, budaya, maupun makanan.

Konsep inilah yang menurut Penulis perlu Indonesia tiru, bagaimana cara mempromosikan negara kita tercinta ini melalui acara reality show yang bisa diterima oleh banyak orang secara global. Menurut Penulis, peluang ini masih belum sering kita eksplorasi.

Mungkin permasalahan utamanya adalah belum terlalu mendunianya para public figure kita jika dibandingkan dengan public figure Korea Selatan. Penulis sendiri menonton reality show Twice dan IVE karena itu acara mereka. Jika yang melakukan orang lain, mungkin Penulis tidak akan menontonnya, tak peduli mau semenarik apapun acaranya.

Memang sudah banyak sekali public figure kita yang mendunia, entah dari dunia musik, film, dan lainnya. Namun, Penulis cukup ragu kalau nama mereka sampai digila-gilai oleh orang dari negara lain seperti mereka menggilai idol K-Pop.

Kalaupun belum bisa mengglobal karena alasan tersebut, menyasar pasar lokal dulu pun tidak masalah. Kalau menargetkan masyarakat kita sendiri, tentu tujuannya adalah meningkatkan pariwisata domestik sekaligus memberikan edukasi.

Contoh yang baru saja Penulis temukan adalah seri Kisarasa di YouTube. Dipandu oleh Chef Renata dan Chef Juna, acara ini mampu membalut acara kuliner secara unik, di mana sinematografi dan narasinya berbeda dengan kebanyakan kanal kuliner lainnya.

Kisarasa seolah dibuat untuk melestarikan makanan-makanan khas nusantara, dengan menayangkannya kepada penonton. Dengan melihat episode-episodenya, pengetahuan kita akan kuliner menjadi meningkat, sekaligus menimbulkan keinginan untuk membeli makanan tersebut.

Namun, Kisarasa lebih cocok disebut sebagai dokumenter daripada reality show karena tidak memiliki unsur hiburan. Penulis merasa konten-konten berkualitas seperti acara ini kurang bisa diterima oleh mayoritas penonton Indonesia, apalagi jika melihat jumlah view video-videonya yang kebanyakan hanya berkisar di angka ratusan ribu hingga satu jutaan.

Penulis membayangkan ada sebuah konsep acara hiburan dengan kualitas seperti Kisarasa, tapi dibuat lebih ringan, penuh candaan, dan diselipi oleh berbagai promosi budaya, wisata, makanan, hingga bahasa daerah. Bahkan, kalau bisa acara tersebut dinikmati hingga penonton di luar Indonesia.

Semoga saja sebenarnya sudah ada, Penulis saja yang belum mengetahuinya.


Lawang, 19 Juni 2024, terinspirasi setelah menyadari kalau Korea Selatan memanfaatkan variety show sebagai media promosi wisata, budaya, hingga makanannya

Foto Feature Image: YouTube

Continue Reading

Sosial Budaya

Layakkah Pemain Judi Online Dianggap Korban dan Mendapatkan Bansos?

Published

on

By

Belakangan ini masyrakat heboh dengan pernyataan dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy. Pasalnya, ia menyebutkan kalau korban judi online (judol) akan mendapatkan bantuan sosial (bansos)!

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyetujui wacana tersebut. Di sisi lain, Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartanto, mengatakan bahwa para korban judol tidak akan mendapatkan fasilitas bantuan dari pemerintah.

Yang jelas, hal ini memicu emosi dari sebagian masyarakat yang menganggap kalau korban judol tidak layak untuk mendapatkan bansos. Muhadjir sendiri akhirnya merevisi ucapannya dengan mengatakan bansos yang dimaksud diperuntukkan untuk keluarga korban judol.

Pertanyaannya, apakah pantas pemain judol (yang kalah, tentu saja) pantas dianggap sebagai korban?

Pemain Judol yang Tak Sadar sedang Diakali Sistem

Bisa Dimanipulasi dengan Teknik Tertentu (Napoleons Casinos)

Sewaktu kecil, Penulis pernah membaca komik (lupa judulnya) yang bercerita tentang seorang pebisnis besar yang ingin mewariskan perusahaannya secara terbuka. Siapapun yang merasa layak, boleh mencoba mendaftar dan nanti akan mengikuti beberapa ujian.

Menariknya, salah satu ujiannya adalah bermain judi berbagai jenis, mulai poker sampai roulette. Dari komik tersebut, Penulis baru tahu kalau hasil dari judi tersebut sudah diatur sedemikian rupa untuk menguntungkan bandar.

Awalnya logika Penulis menganggap kalau hal tersebut hanya terjadi di komik untuk memberikan kesan dramatis. Ternyata, setelah melihat beberapa konten di media sosial, di dunia asli pun ada banyak manipulasi seperti yang diceritakan di komik tersebut.

Nah, kalau yang offline dan dilihat banyak orang saja manipulasi banyak dilakukan, apalagi judi online yang menggunakan sistem komputer yang tak terlihat? Ada banyak sekali celah untuk memanipulasi pemain agar terus bermain.

Di game Borderlands 3 yang sedang Penulis mainkan, ada fitur permainan slot yang menggunakan uang in-game (bukan uang asli) untuk mendapatkan item-item tertentu seperti senjata. Itu saja lebih sering zonk-nya, sangat jarang ada item bagus yang bisa didapatkan.

Mirip dengan judi di Casino, tentu pemain baru akan dikasih menang dulu agar memberikan efek dopamin dan membuat mereka terus melakukan deposit. Setelah itu, kekalahan demi kekalahan akan mereka terima. Kalaupun menang, tentu hasilnya sedikit.

Karena merasa yakin permainan berikutnya akan menang, maka mereka akan terus melakukan deposit. Tak jarang jika mereka menggunakan uang dari berbagai sumber, termasuk memanfaatkan jasa pinjam online (pinjol) yang tentu akan menimbulkan masalah baru.

Pemain Judol Dikasih Bansos, Layak atau Tidak?

Dapat Bansos, Pemain Judol Full Senyum (Vecteezy)

Mungkin akan ada yang berargumen kalau mereka bermain judol untuk sekadar have fun, bukan untuk meraih kekayaan instan. Nah, dari sini pola pikirnya sudah salah karena judinya sendiri adalah perbuatan yang dilarang oleh agama mana pun.

Mau sedikit, mau banyak, kalau salah ya tetap salah. Apapun alasannya, kalau hal buruk ya jangan dilakukan. Begal yang melakukan pencurian motor (hal buruk) demi menghidupi keluarganya (niat baik) juga tidak akan kita benarkan, bukan?

Apalagi, banyak pemain judol yang sampai habis miliaran. Bayangkan dari Perwira TNI hingga anggota DPR pun ada yang terseret judol. Ini menunjukkan kalau pemainnya bukan dari kalangan miskin saja. Masa iya main judol miliaran layak dapat bansos?

Penulis kerap mendapatkan cerita dari teman-temannya bagaimana para pemain judol ini sudah begitu kecanduan sehingga sama sekali tidak bisa dinasehati, entah itu untuk have fun atapun mau dapat uang instan.

Mereka tidak sadar kalau dirinya sedang diakali dan dibodohi oleh sistem. Logikanya, mana ada bandar judi yang mau rugi? Pasti mereka mau meraup keuntungan sebesar-besarnya dari hasil deposit para pemain. Apalagi, manipulasi di judol lebih mudah dan tak terlihat.

Oleh karena itu, Penulis sama sekali tidak setuju jika para pemain judol dianggap sebagai “korban” dan butuh mendapatkan bansos. Mereka adalah korban dari kelakukan buruk mereka sendiri dan harus menanggung konsekuensinya. Mereka tidak layak mendapatkan bansos.

Penulis justru khawatir kalau bansos yang diberikan, jika berupa uang, akan digunakan untuk deposit. Meskipun diberi ke keluarganya sekalipun, potensi untuk salah digunakan sangat besar mengingat tabiat mayoritas dari pemain judol.

Pemberian bansos juga membuat mereka tidak akan merasa jera bermain judol. Pikir mereka, “Tenang aja, walau boncos tetap dapet bansos.” Tentu hal ini terasa tidak adil bagi masyarakat yang mungkin pas-pasan tapi tidak kebagian jatah bansos karena dianggap kurang miskin.

Jika pemerintah memang mau memberikan bantuan kepada pemain judol, lakukan saja rehabilitasi untuk menghilangkan kecanduan judol. Walau belum tentu berhasil, setidaknya itu lebih baik dibandingkan memberi mereka “insentif.”

Penutup

Judol adalah salah satu permasalahan terbesar yang sedang dihadapi oleh Indonesia. Bayangkan saja, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat trasaksi judol mencapai Rp600 triliun.

Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya tidak diam saja melihat hal ini. Presiden Joko Widodo telah membentuk satuan tugas (satgas) untuk memberantas judol yang dipimpin oleh Menko Polhukam Hadi Tjahjanto.

Selain itu, pemerintah juga mengklaim telah menutup jutaan situs judol, walaupun situs judol ini mati satu tumbuh seribu. Menkominfo juga melakukan SMS Blast yang efeknya sebenarnya sama dengan peringatan kematian di bungkus rokok, alias ga ngefek.

Masyarakat jelas menuntut pemerintah untuk menghadirkan solusi-solusi lain yang lebih konkrit untuk memberantas judol yang kian meresahkan ini, bukan justru memberi bansos kepada para pemainnya. Penulis rasa semua yang masih waras akan menentang ide ini.


Lawang, 17 Juni 2024, setelah muncul wacana mengenai pemain judol yang akan mendapatkan bansos

Foto Featured Image: LinkedIn

Sumber Artikel:

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan