Kehadiran Google sebagai mesin pencari yang akurat memang membawa banyak berkah untuk kita. Hanya saja, ada sisi lain yang juga muncul.
Salah satunya adalah diagonosis psikologi untuk diri sendiri hanya berdasarkan hasil pencarian tanpa pergi ke psikiater profesional. Hanya karena memenuhi beberapa gejala, kita menganggap diri mengidap suatu kondisi tertentu.
Diagnosis ke Diri Sendiri
Penulis pernah mencari di internet apakah ada fobia ketika merasa sendirian (bukan sendirian secara fisik). Akhirnya, penulis menemukan suatu istilah bernama Emotional Dependency Disorder.
Ciri-cirinya antara lain:
- Memiliki keinginan berlebihan untuk mendapatkan perhatian dari orang lain
- Terobsesi untuk memelihara “kesempurnaan” dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.
- Memiliki tendensi untuk memberikan perhatian dan kasih sayang (kadang berlebihan) kepada orang lain dan berharap orang lain melakukan hal yang sama
- Tidak bisa tegas, cenderung egois, mudah cemas, susah beradaptasi dengan lingkungan baru, dan suasana hatinya sering berubah-ubah.
Penulis menyadari bahwa dirinya memenuhi semua kriteria tersebut sehingga menggangap dirinya memang mengidap disorder tersebut. Akibatnya, penulis jadi semakin mudah merasa down. Padahal, hal tersebut juga harus dikonsultasikan ke psikiater.
Contoh lainnya adalah istilah Hyper Sensitive Person yang penulis temukan pada buku Loving the Wounded Soul. Secara sederhana, istilah tersebut merujuk kepada kondisi diri kita yang terlalu sensitif, baik indera ataupun perasaannya.
Ketika melakukan tes online, dikatakan bahwa orang yang memiliki kondisi ini akan mendapatkan nilai 14. Berapa nilai yang penulis dapatkan setelah mengerjakan tes? 24!
Penulis juga sering disebut oleh teman-teman mengidap Obsessive-Compilsive Disorder alias OCD hanya karena tidak bisa melihat benda miring dan berantakan!
Melakukan diagnosis mandiri seperti ini sebenarnya juga kurang baik karena bisa memicu depresi dan rasa insecure.
Hanya Agar Terlihat Keren?
Lebih Baik Cek ke Psikiater (South China Morning Post)
Penulis berpendapat diagonis psikologi secara mandiri lebih membawa dampak buruk kepada kita. Kalau kita jadi bersemangat agar bisa mengendalikan hal tersebut tidak masalah. Bagaimana jika sebaliknya?
Hanya karena sesuatu yang belum tentu benar, kita bisa merasa depresi dan meningkatkan rasa insecure. Padahal, bisa jadi permasalahan yang memicu pikiran tersebut sebenarnya sepele saja. Kita saja yang terlalu membesar-besarkannya.
Yang lebih bahaya adalah jika hasil diagnosis tersebut hanya digunakan agar kita ingin terlihat keren di mata orang dan mendapatkan perhatiannya. (Mungkin, penulis juga termasuk salah satunya)
Terkadang, kita juga terpengaruh dengan perkataan orang lain. Menurut mereka, kita memiliki disorder A atau kelainan B. Kecuali teman kita lulusan psikologi, sebaiknya jangan langsung percaya begitu saja karena belum tentu benar.
Penulis sendiri sedang berusaha menata diri agar tidak mudah merasa depresi dan insecure. Salah satunya adalah mulai mengurangi pikiran-pikiran berlebihan dan berusaha menikmati hari ini.
Mengurangi kekhawatiran juga menjadi salah satu metode yang bisa dilakukan. Penulis sudah menulis berkali-kali kalau kekhawatiran lebih sering berakhir di pikiran saja, namun kenyataannya masih sering penulis lakukan.
Penulis juga berusaha mengusir rasa memiliki kondisi ini dan itu. Selama belum memeriksakannya ke psikiater, penulis akan berusaha tidak memikirnya terlalu dalam dan menghalaunya dari pikiran.
Apalagi, bisa jadi segala pikiran-pikiran tersebut hanya muncul ketika kita sedang ada masalah atau mood-nya sedang buruk. Kita jadi lebay dengan segala sesuatu. Kalau sudah normal, ya sebenarnya biasa saja.
Selain itu, kita juga harus mulai berhenti membandingkan hidup kita dengan orang lain.
Membandingkan Diri dengan Orang Lain
Hidup di era sekarang memang membuat kita sering merasa tertekan karena tak henti-hentinya membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Generasi baby boomer mungkin tak merasakan hal ini.
Kemunculan media sosial dan teknologi-teknologi lainnya membuat kita bisa mengintip kehidupan orang lain dengan mudah. Sering kali, hanya momen bahagia lah yang dibagi kepada publik.
Jika sudah pada tingkat merasa insecure yang ekstrem, penulis akan berhenti sejenak dari media sosial, termasuk tidak melihat story orang lain yang biasanya ada saja yang membuat kita merasa tertekan.
Tidak takut kehilangan momen penting teman atau keluarga kita? Jika memang benar-benar penting dan kita juga dianggap penting, mereka pasti akan membaginya secara langsung kepada kita.
Daripada berfokus dengan kehidupan orang lain, nikmati saja hidup yang kita miliki. Semua orang pasti memiliki ceritanya masing-masing, sehingga perbandingan yang kita lakukan tidak akan pernah apple to apple.
Membandingkan diri dengan orang lain bisa menjadi salah satu penyebab utama mengapa kita sampai melakukan diagnosis psikologi kita dengan bantuan Google.
Penutup
Dari yang penulis amati, memang banyak orang di Indonesia yang melakukan diagnosis masalah mentalnya secara mandiri. Penulis sering menemukan contohnya baik dari diri sendiri, lingkungan, ataupun Twitter.
Jika diagnosis mandiri hanya akan membuat kita merasa stress dan tertekan, lebih baik jangan pernah dilakukan. Apalagi jika enggan pergi ke psikiater untuk memeriksakan kesehatan mental kita.
Apa yang muncul dari penelusuran Google memang lumayan terpercaya, akan tetapi jangan mengandalkannya. Kalau memang merasa kesehatan mental terganggu, lebih baik segera diperiksakan secara benar.
Kita tidak boleh membandingkan hasil pencarian di internet dengan psikiater yang sudah menempuh pendidikan selama bertahun-tahun.
Hal ini juga berlaku untuk penyakit fisik yang kita derita. Daripada menduga-duga hal yang belum pasti, lebih baik periksakan ke dokter terdekat.
Penulis memang pernah melakukannya, dan rasanya tidak akan pernah penulis lakukan lagi. Alasannya, hal tersebut dapat memicu depresi dan rasa insecure yang ujung-ujungnya hanya merugikan diri sendiri.
Jika ada pembaca yang merasa mengalami permasalahan serupa, semoga tulisan ini dapat membantu.
Kebayoran Lama, 3 November 2019, terinspirasi dari minggu-minggu kelamnya
Foto: