Penulis berkali-kali mengungkapkan kekecewaan terhadap karya-karya terbaru Tere Liye, seperti novel Si Anak Badai, Si Anak Cahaya, Komet Minor, hingga Pergi.
Harusnya jika berkali-kali dikecewakan, Penulis berhenti membeli novel-novelnya. Ternyata, Penulis tetap membeli novel-novel karyanya.
Yang terbaru adalah Selamat Tinggal yang satu ini. Salah satu alasannya adalah buku ini merupakan novel yang berdiri sendiri, bukan serial.
Penulis memilki pengalaman bagus dengan novel Tere Liye yang berdiri sendiri, seperti Tentang Kamu, Rindu, Ayahku (Bukan) Pembohong, dan lainnya.
Setelah menamatkan novel ini, Penulis merasakan amarah yang menggebu-gebu dari Tere Liye terkait pembajakan buku!
SPOILER ALERT!
Apa Isi Buku Ini?
Menggunakan sudut pandang orang ketiga, tokoh utama dari buku ini adalah Sintong, seorang mahasiswa yang tak lulus-lulus sekaligus penjaga toko buku bajakan di dekat kampus negeri.
Sintong berasal dari Sumatera. Ia merantau jauh untuk kuliah di Jawa dan menumpang di rumah saudaranya. Karena kuliahnya dibiayai,
Terlihat berantakan dan tidak punya masa depan, sebenarnya Sintong merupakan salah satu penulis berbakat. Karyanya sudah banyak masuk ke media nasional.
Hidup Sintong mulai berubah sejak ia bertemu dengan Jess, salah satu adik tingkatnya yang berparas menarik. Kehadiran gadis tersebut membuat ia merasa semangat lagi.
Tidak hanya itu, Sintong juga menemukan sebuah draft berisikan tulisan Sutan Pane, seorang penulis besar yang keberadaannya tidak banyak yang tahu.
Sintong berniat untuk membuat skripsi yang membahas Sutan Pane, terutama mencari alasan mengapa Sutan Pane tiba-tiba berhenti menulis pada tahun 1965.
Inilah perjalanan Sintong menelusuri kehidupan penulis hebat di masa lalu, sembari memerangi dirinya sendiri yang sudah muak menjual buku bajakan.
Sindiran untuk Barang Bajakan
Begitu membaca novel ini, Penulis sadar kalau Tere Liye terinspirasi dari maraknya penyebaran file PDF buku-buku secara ilegal melalui WhatsApp dan media lainnya.
Sebagai salah satu penulis terpopuler di Indonesia, karya-karya Tere Liye tentu menjadi mangsa empuk bagi pembajak.
Penulis merasakan sedikit dampaknya karena artikel tentang novel Pulang dan Pergi mendapatkan lonjakan traffic. Padahal, padahal Penulis tidak mendapatkan link file PDF-nya.
Secara sarkas, Tere Liye mengatakan bahwa yang salah adalah penulis yang tidak ikhlas dalam menulis. Harusnya mereka senang-senang saja karya mereka dibagikan secara gratis dan dinikmati oleh banyak orang.
Sindiran yang sangat keras, bahkan Penulis yang hanya sekali membeli buku bajakan karena tidak tahu merasa tertampol.
Tidak hanya meluapkan emosinya tentang buku bajakan, semua hal yang sifatnya bajakan disenggol sama Tere Liye.
Mulai film, lagu, streaming sepakbola, aplikasi, semua kena. Siapapun yang membaca novel ini pasti akan merasa tersindir seandainya pernah membeli atau menggunakan barang bajakan.
Bahkan, marketplace online yang juga kerap menjadi tempat beredarnya buku bajakan kena semprot. Sebuah kekesalan bisa menjadi ide cerita, Tere Liye memang sesuatu.
Setelah Membaca Selamat Tinggal
Jika Tere Liye ingin menyampaikan kekesalannya terhadap pembajakan buku sekaligus edukasi kepada masyarakat, novel ini bisa dibilang berhasil melakukan tugasnya.
Dengan nada sarkas yang hampir muncul di setiap bab, kita akan dibuat berpikir ulang jika ingin membeli atau menggunakan barang-barang bajakan.
Ada banyak penulis buku yang sangat dirugikan dengan pembajakan. Bukan tidak mungkin, di masa depan jumlah penulis akan berkurang karena merasa jerih payahnya tidak dihargai.
Tere Liye sendiri mengakui bahwa segala upaya sudah dilakukan untuk meminimalisir pembajakan, namun hasilnya nihil. Buku bajakan tetap beredar luas, bahkan lebih masif karena bisa dijual daring.
Tokoh Sintong sendiri dibuat memiliki konflik internal di dalam dirinya sendiri. Ia menentang buku bajakan karena tahu itu tidak menghargai upaya penulis, tapi secara munafik ia malah berjualan buku bajakan demi menyelesaikan pendidikannya.
Menurut Penulis, konflik internal seperti ini sangat cocok untuk tema yang diangkat karena akan membuat pembacanya mengalami dilema yang sama.
Alur ceritanya memang mengangkat perjalanan “detektif” Sintong menyelesaikan skripsinya dengan mencari tahu lebih dalam tentang tokoh Sutan Pane, tapi Penulis justru merasa itu side-story-nya. Alur utamanya ya tentang buku bajakan.
Bumbu-bumbu cerita lain seperti perjalanan cinta Sintong hanya muncul sebagai pemanis. Di novel ini juga tidak terlalu banyak bab tidak penting yang tidak berpengaruh pada keseluruhan alur.
Bahasanya juga mudah dicerna sebagaimana karya-karya Tere Liye pada umumnya. Ringan, tapi ada nilai-nilai yang bisa dipetik. Ada saja dialog yang mengundang tawa ringan.
Hanya saja, Penulis merasa novel ini terasa datar. Hampir tidak ada konflik yang membuat Penulis merasa berdebar ataupun dibuat penasaran dengan kelanjutan halamannya.
Tidak ada pertarungan yang berdarah-darah, hanya ada konflik antar tokohnya. Antara Sintong dan dirinya sendiri, antara Sintong dan Jess, antara Sintong dan saudaranya, antara Sintong dan teman masa lalunya, dan lain sebagainya.
Lantas, mengapa novel ini diberi judul Selamat Tinggal? Karena mengandung major spoiler, Penulis tidak akan menjelaskannya di sini. Silakan baca novel yang satu ini, direkomendasikan untuk semua kalangan.
Tapi ingat, beli yang asli, jangan yang bajakan, kasian penulisnya!
Nilai: 4.2/5.0
Lawang, 11 Januari 2020, terinspirasi setelah menamatkan novel Selamat Tinggal karya Tere Liye
You must be logged in to post a comment Login