Connect with us

Pengembangan Diri

Menyalahkan Kondisi Terus hingga Lupa Interopeksi Diri

Published

on

Ketika sedang bermain Instagram, muncul sebuah pos dari akun @doraemon_hari_ini yang menampilkan panel komik di mana Nobita sedang ditanya oleh Pak Guru kenapa Nobita bisa mendapatkan nilai 0. Nobita pun menjawab dengan enteng, “Kan diberi oleh bapak.”

Penulis lupa panel tersebut berasal dari cerita atau volume berapa, tapi yang jelas panel tersebut berhasil menggelitik Penulis. Dalam sudut pandang Nobita, nilai 0-nya adalah karena pemberian orang lain, bukan karena ketidakmampuannya dalam mengerjakan soal.

Nah, hal ini membuat Penulis bertanya-tanya, jangan-jangan selama ini kita juga seperti Nobita yang menyalahkan faktor ekternal (Pak Guru) dan tidak menyadari kesalahan dari faktor internal (ketidakbecusannya mengerjakan soal). Kita menyalahkan kondisi, hingga lupa interopeksi diri.

10 Juta Gen Z Menganggur di Usia Produktif

Banyak Gen Z yang Menganggur (Parenting Teens and Tweens)

Melansir dari berbagai sumber, disebutkan bahwa jumlah Gen Z (generasi kelahiran 1997 – 2012) di Indonesia yang menganggur hampir mencapai 10 juta orang. Jika diperinci berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas pengangguran di Indonesia berusia 18 hingga 24 tahun.

Padahal, usia tersebut harusnya menjadi usia-usia produktif untuk bekerja dan berkarya. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah, menyebutkan bahwa salah satu faktornya adalah ketidaksesuai keterampilan mereka dengan kebutuhan tenaga kerja.

“Pengangguran kita ini terbanyak disumbangkan dari lulusan SMK, anak-anak lulusan SMA, ini terjadi karena adanya miss-match,” ungkap Ida sebagaimana dilansir dari CNBC.

Masih dari sumber yang sama, alasan-alasan lain yang menjadi pendukung tingginya pengangguran dari kalangan Gen Z adalah putus asa, disabilitas, kurangnya akses transportasi dan pendidikan, keterbatasan finansial, hingga kewajiban rumah tangga.

Penulis sempat mengira bahwa tingginya jumlah tersebut karena menghitung jumlah Gen Z yang masih menempuh studi. Faktanya, jumlah 10 juta tersebut benar-benar Gen Z yang tidak sedang menjalani studi maupun pelatihan apapun. Benar-benar full menganggur.

Mungkin ini juga ada kaitannya dengan kebanyakan lowongan pekerjaan yang mensyaratkan memiliki gelar sarjana, bahkan untuk pekerjaan yang sebenarnya tidak membutuhkan tingkat pendidikan setinggi itu. Alhasil, lulusan SMA/SMK pun jadi kesulitan mencari pekerjaan dengan ijazah yang mereka miliki.

Di sisi lain, Penulis sendiri sering menemukan konten dari pihak perusahaan. Seperti yang kita tahu, banyak juga yang mensyaratkan maksimal umur 30 tahun. Artinya, mereka pun sebenarnya juga mencari pekerja dari kalangan Gen Z, bukan Milenial seperti Penulis.

Tidak hanya itu, pihak perusahaan pun banyak yang “curhat” mengenai susahnya mencari kandidat yang sesuai dengan keinginan mereka. Lowongan ada, calon pekerja ada, tapi tidak ketemu karena banyak hal. Tak heran jika jumlah pengangguran pun menjadi tinggi sekali.

Kondisi Memang Susah, tapi Tidak Boleh Menyalahkan Kondisi Terus

Yuk, Terus Kembangkan Value Diri (PPIC)

Pak Guru yang memberikan soal ujian adalah analogi untuk kondisi yang kita hadapi. Nobita adalah analogi dari diri kita sendiri. Ketika mendapatkan nilai 0, mana yang akan kita salahkan: soal sulit dari Pak Guru atau ketidakmampuan kita dalam mengerjakan soal?

Jika mampu untuk interopeksi diri, tentu kita akan menyadari kalau kesalahan terdapat pada diri kita yang mungkin kurang rajin belajar, tidak memperhatikan guru ketika menerangkan, dan lain sebagainya.

Dalam filsafat stoik, salah satu kunci utamanya adalah memahami apa yang bisa kita kendalikan dan mana yang tidak. Soal dan penilaian Pak Guru ada di luar kendali kita. Yang ada di kendali kita adalah usaha kita agar bisa mengerjakan soal dari Pak Guru.

Itu pun berlaku dalam konteks mencari pekerjaan yang sedang Penulis bahas. Saat kesulitan mencari pekerjaan, tentu lebih mudah untuk menyalahkan kondisi, entah karena persyaratan perusahaan yang tak masuk akal, janji pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang tak terealisasi, kalah dengan orang dalam, dan lain sebagainya.

Namun, terkadang kita lupa untuk menengok ke dalam diri sendiri. Jangan-jangan, kesulitan yang kita alami itu karena kitanya sendiri yang kurang mengembangkan value diri, baik hard skill maupun soft skill.

Jangan-jangan selama ini kita mendambakan pekerjaan dengan gaji yang layak, tapi dalam keseharian lebih banyak menghabiskan waktunya untuk rebahan dan scrolling media sosial atau push rank game HP. Waktu yang ada tidak digunakan untuk mengasah kemampuan diri.

Apalagi, saat ini sebenarnya sarana untuk mengembangkan diri banyak tersedia dan bisa diakses secara gratis di media sosial, YouTube, bahkan AI sekalipun. Coba pilih bidang yang diminati agar tidak malas dan merasa bersemangat ketika mempelajarinya.

Sebagai contoh, Penulis yang lulusan IT pun jadi harus mengembangkan dirinya sebagai Editor dan SEO Specialist secara otodidak. Akhir-akhir ini Penulis juga banyak melakukan eksplorasi terhadap dunia AI yang tampaknya akan menjadi masa depan dunia kerja.

Yang tidak kalah penting dari hard skill adalah soft skill. Percuma saja jika memiliki hard skill, tapi attitude-nya minus, tak mampu berbicara di depan orang banyak dengan lancar, tidak disiplin, kesulitan bersosialiasi dengan orang, dan lain sebagainya.

Sebagai contoh, mungkin kita sering lolos hingga sesi wawancara ketika melamar pekerjaan, tapi tak pernah mendapatkan panggilan selanjutnya. Kalau seperti itu, bisa jadi ada yang salah dari performa kita selama wawancara, sehingga harus ada yang perlu diperbaiki.

Mengembangkan relasi juga tak kalah penting. Jangan hanya ngomel karena kalah dari orang dalam, kita juga harus berusaha menjalin relasi dengan banyak orang. Yakinkan kalau kita memiliki skill yang mereka butuhkan, sehingga mereka bisa menjadi “orang dalam” untuk kita.

Penutup

Memang ada banyak sekali faktor yang memengaruhi mengapa kita kesulitan mendapatkan pekerjaan. Namun, menurut Penulis alangkah baiknya jika kita fokuskan diri kepada apa yang bisa kita kendalikan, yakni diri kita sendiri.

Menyalahkan kondisi terus-menerus tidak akan membantu apa-apa. Yang ada malah membuat hati jengkel dan gelisah terus. Tentu sayang tenaga dan pikiran dibuang untuk melakukan hal tersebut, sampai tak lagi tersisa untuk mengembangkan diri sendiri.

Apalagi di era teknologi seperti ini, sarana untuk mengembangkan skill sangat tersedia di berbagai platform. Mumpung masih muda, coba saja eksplorasi semuanya hingga menemukan mana yang paling membuat kita bersemangat. Asah terus skill untuk meningkatkan value diri sehingga kita punya nilai lebih di dunia kerja.


Lawang, 11 Juni 2024, terinspirasi setelah menyadari bahwa kita sebagai manusia kerap menyalahkan kondisi di luar, tapi lupa untuk melihat ke dalam

Foto Featured Image: Doraemon Hari Ini

Sumber Artikel:

Produktivitas

Productivity Hack #4: Kalau Cuma Butuh 5 Menit, Lakukan Sekarang

Published

on

By

Jika ada satu kekurangan pada dirinya sendiri yang begitu ingin dihilangkan, mungkin salah satunya adalah kebiasaan untuk menunda segala sesuatu. Mulai dari hal-hal remeh sampai pekerjaan penting, Penulis punya kecenderungan untuk menundanya (prokrastinasi).

Untuk pekerjaan yang ada deadline-nya, Penulis bisa bilang bisa menyelesaikannya, walau kadang juga harus mepet deadline. Namun, untuk pekerjaan yang tidak memiliki deadline, ada peluang besar dari later menjadi never.

Menyadari hal ini, Penulis pun mencoba melakukan metode sederhana yang sedang berusaha diterapkan di kesehariannya. Metode tersebut adalah “Aturan 5 Menit”, di mana jika sebuah pekerjaan bisa diselesaikan dalam waktu kurang dari 5 menit, kerjakan sekarang juga.

Contoh Aplikasi Aturan 5 Menit

Jangan Tunda Kalau Cuma Butuh Sebentar Melakukannya (Photo by cottonbro studio)

Sebelum menulis artikel ini, Penulis mencoba menerapkan metode ini agar tulisan ini terasa lebih nyata. Ada beberapa aktivitas yang Penulis lakukan di mana beberapa di antaranya sudah diniati sejak lama, tapi belum dikerjakan. Berikut daftarnya:

  • Mengisi ulang botol Cleo di ruang tamu
  • Merapikan tas-tas yang menumpuk dan berserakan dekat kasur
  • Menggantung sweater dan celana training di atas kasur
  • Mengubah posisi lampu LED di kamar (karena terbalik)
  • Membersihkan sarang laba-laba dekat meja kerja (suprisingly ada laba-laba betina beserta anak-anaknya)
  • Membersihkan sarang laba-laba dekat televisi (ada banyak bangkai semut yang mati)

Semua aktivitas tersebut jika waktu mengerjakannya digabung, tidak sampai 15 menit untuk selesai. Akan tetapi, waktu menundanya sudah berminggu-minggu atau lebih parahnya lagi berbulan-bulan. Padahal, tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya.

Bagi orang yang suka menunda seperti Penulis, di pikirannya selalu ada kata nanti. Ah, nanti aja dikerjakan. Ah, nanti aja diselesaikan. Ah, nanti aja dipikir. Pada akhirnya, “nanti” ini pun menjadi sesuatu yang tidak pernah dikerjakan dan akhirnya dilupakan.

“Tidak ada nanti”

Mengutip perkataan Shikamaru Nara di atas (manga Naruto Chapter 325) ketika ia berhadapan dengan Hidan, Penulis juga berusaha menghilangkan kata “nanti” dalam kesehariannya. Jika bisa dikerjakan sekarang, kerjakan sekarang.

Ketika sudah berkomitmen untuk menerapkannya, Penulis jadi lebih jarang untuk menunda-nunda pekerjaan terutama yang remeh (tentu terkadang masih ndableg). Alhasil, jadi lebih banyak pekerjaan yang terselesaikan.

Ada banyak hal sehari-hari yang hanya butuh kurang dari 5 menit untuk menyelesaikannya. Membersihkan tempat tidur, merapikan kabel charger setelah digunakan, cuci piring selesai makan, mengembalikan buku setelah selesai membaca, masih banyak lagi lainnya. Bisa dilihat kalau metode ini juga bisa digunakan untuk melatih disiplin diri.

Ketika bekerja pun, metode ini sangat membantu. Penulis terbiasa melakukan time block secara bulat, sehingga selalu ingin mengakhiri jam kerja di waktu bulan seperti jam 12 siang atau setidaknya 12:30. Rasanya sangat tidak enak jika berhenti kerja di jam 12:14, misalnya.

Nah, katakan jam 11:52 Penulis sudah menyelesaikan pekerjaan utamanya yang memakan waktu banyak, Penulis akan mencari pekerjaan-pekerjaan ringan yang bisa selesai dalam waktu singkat sembari menunggu jam 12:00.

Pekerjaan ringan di tempat kerja, walau ringan, bisa menumpuk juga dan membuat Penulis merasa overwhelming. Alhasil, pekerjaan yang ringan pun bisa menjadi penghambat untuk menyelesaikan pekerjaan yang lebih berat.

Sisi Buruk Aturan 5 Menit untuk Orang yang Mudah Terdistraksi

Kuncinya FOCUS (via YouTube)

Ada satu loop hole dari metode ini. Terkadang, karena ada mindset untuk segera mengerjakan pekerjaan-pekerjaan remeh, pekerjaan utama yang harusnya menjadi fokus utama justru jadi terpinggirkan. Ini sangat mudah terjadi ke orang yang mudah terdistraksi seperti Penulis.

Misal Penulis sedang membuat satu artikel di tempat kerja. Ketika ingin upload gambar, Penulis jadi melihat file-file di komputernya yang belum dirapikan. Penulis pun membuat folder baru untuk memisahkan file-file tersebut berdasarkan tanggalnya.

Setelah itu, Penulis jadi teringat belum melengkapi to-do list kantor untuk disetor. Karena cuma butuh waktu sebentar, Penulis pun jadi menyelesaikan hal tersebut terlebih dahulu. Ketika selesai, Penulis ingat belum cek surel redaksi, sehingga Penulis membuka Outlook dulu.

Bisa dilihat hanya karena satu distraksi kecil, pekerjaan menulis yang menjadi fokus utama pun jadi terpinggirkan. Alokasi waktu yang harusnya untuk menyelesaikan tulisan jadi digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan lain yang secara deadline lebih longgar.

Lantas, bagaimana cara mengatasinya? Time block menjadi pilihan utama Penulis. Jika sudah mengalokasikan waktu untuk menulis, maka tidak boleh ada pekerjaan lain yang dikerjakan sampai pekerjaan utama selesai (kecuali ada yang urgent).

Untuk pekerjaan-pekerjaan kecil yang hanya butuh waktu sebentar, Penulis bisa mencatatnya dulu di catatan agar tidak terlupa. Kalau bisa, di catatan fisik yang selalu terlihat mata. Kalau mencatatnya di ponsel, kemungkinan untuk melupakannya akan lebih besar.

Memang terdengar kontradiksi karena pada akhirnya pekerjaan <5 menit tersebut ditunda juga. Namun, skala prioritas juga menjadi sesuatu yang tidak boleh diabaikan. Kita harus tahu mana pekerjaan yang diutamakan, bukan hanya dari durasi untuk menyelesaikannya.

Sejauh ini, Penulis merasakan manfaat dari penerapan metode ini dalam kesehariannya. Sekarang yang menjadi PR adalah bagaimana konsisten melakukannya. Tidak ada nanti.


Lawang, 9 Desember 2025, terinspirasi dari dirinya yang sedang berusaha untuk menghilangkan kebiasaan menunda-nunda

Featured Image Photo by Moose Photos

Continue Reading

Pengembangan Diri

Memahami Sumber Ketidakbahagiaan untuk Menemukan Kebahagiaan

Published

on

By

Siapa yang tidak ingin bahagia? Penulis rasa sudah fitrahnya manusia untuk merasa bahagia selama dia hidup. Walaupun definisi bahagia orang bisa berbeda-beda, sudah sewajarnya manusia mengejar kebahagiaan.

Jika disuruh mendeskripsikan apa itu bahagia, jujur Penulis sedikit kebingungan mendefinisikan versi Penulis. Mungkin karena tidak memahami apa makna dari kebahagiaan inilah Penulis jadi jarang merasa bahagia.

Karena merasa kesulitan mendefinisikan kebahagiaan, Penulis mencoba untuk berpikir sebaliknya. Bagaimana jika kita mencari apa yang membuat kita tidak bahagia, karena lebih mudah untuk diidentifikasi?

Memahami Apa Penyebab Ketidakbahagiaan

Kita Lebih Mudah Tidak Bahagia daripada Bahagia (Engin Akyurt)

Tentu banyak hal yang bisa membuat kita tidak bahagia. Namun, jika dirumuskan dalam satu kalimat, Penulis meyakini kalau ketidakbahagiaan muncul ketika gambaran ideal yang ada di kepala tidak menjadi kenyataan.

Misalnya begini. Bagi Penulis, secara ideal Penulis harus bisa bangun pagi yang dilanjutkan dengan lari pagi. Setelah itu, mandi pagi, menulis artikel blog, baru mulai bekerja. Jika semua rangkaian tersebut tidak terlaksana, Penulis merasa gagal, dan akhirnya tidak bahagia

Contoh lain, bagi Penulis penghasilan yang ideal adalah 20 juta rupiah per bulan. Namun, hingga saat ini Penulis belum bisa mencapai nominal tersebut. Karena tidak sesuai dengan gambaran idealnya, Penulis pun jadi merasa tidak bahagia.

Sekarang Penulis mengambil contoh gambaran ideal ke orang lain. Misal kita punya gambaran ideal tentang pasangan di kepala: perhatian, peka, pendengar yang baik, loyal. Nah, ketika mendapatkan pasangan yang tidak sesuai dengan gambaran ideal tersebut, kita tidak bahagia.

Dengan kata lain, kita harus pandai-pandai mengelola ekspektasi yang ada di kepala kita, entah itu ekspektasi ke diri sendiri maupun ke orang lain. Tentu bukan berarti kita jadi punya target yang rendah dalam hidup, tapi lebih bisa menerima jika target tersebut belum bisa dicapai.

Sejujurnya karena tulisan ini lama ditunda, Penulis lupa di mana menemukan konsep di atas. Kemungkinan besar dari buku Filsafat Kebahagiaan, tapi Penulis tak bisa memastikan. Jadi, anggap saja benar.

Bersyukur Setiap Kali Mengeluh

Selalu Cari Apa yang Bisa Disyukuri (Kaboompics.com)

Dalam buku Effortless karya Greg McKeown yang sedang dibaca, Penulis menemukan satu konsep yang menarik. Dalam salah satu babnya, kita diajak membiasakan diri untuk mensyukuri sesuatu setiap kali kita mengeluh.

Kalau Penulis tarik, ini bisa Penulis kaitkan dengan bahasan kebahagiaan dan ketidakbahagiaan di tulisan ini. Keluhan identik dengan ketidakbahagiaan, sedangkan rasa syukur identik dengan kebahagiaan.

Misal begini, kita mengeluhkan betapa banyaknya kerjaan yang terasa tidak masuk akal untuk kita kerjakan sendiri. Alhasil kita jadi merasa tidak bahagia, karena menurut gambaran ideal kita, seharusnya kita tidak mengerjakan tugas sebanyak itu.

Nah, begitu terbesit keluhan tersebut, coba kita cari satu hal saja yang bisa disyukuri tentang pekerjaan tersebut. Setidaknya, kita masih punya pekerjaan di tengah badai PHK di banyak tempat dan kondisi ekonomi seperti ini.

Contoh lain, kita merasa sebal karena pasangan kita kurang pengertian dan kurang peka. Dari keluhan tersebut, coba cari hal yang bisa disyukuri darinya. Oh, walau dia gitu, tapi dia setia banget dan selalu mau membantu di kala kita kesusahan.

Kalau mengingat hal-hal yang bisa disyukuri, gambaran ideal di kepala pun akan menyesuaikan diri. Dengan demikian, kita akan mencocokkan realita dengan bayangan ideal kita, sehingga kita bisa merasa bahagia.

Jadi, jika disimpulkan, maka kebahagiaan adalah ketika kita bisa mengelola gambaran ideal yang ada di kepala kita. Kebahagiaan adalah ketika kita bisa mengelola ekspektasi kita dengan baik. Jangan lupa bahagia!


Lawang, 17 September 2025, terinspirasi karena merasa dirinya perlu mendefinisikan ulang mengenai apa itu kebahagiaan

Foto Featured Image: Jorge Fakhouri Filho

Continue Reading

Pengembangan Diri

Jangan Menunggu Sempurna, Mulai Aja Dulu

Published

on

By

Sejak dulu, Penulis merasa dirinya adalah seorang perfeksionis parah. Segala sesuatu harus sesuai dengan standarnya. Bahkan, tak jarang kalau Penulis baru akan memulai sesuatu jika merasa itu sudah sempurna.

Tak hanya itu, Penulis kerap menanti waktu terbaik untuk memulainya agar sempurna seperti yang ada di bayangannya. Alhasil, karena menunggu kesempurnaan itu, Penulis justru tidak memulai-mulainya.

Nah, saat ini Penulis sedang membaca buku Effortless karya Greg McKeown. Salah satu poin yang tertera di buku tersebut adalah Dimulai. Intinya kita harus melakukan satu aksi pertama yang nyata, yang benar-benar kita lakukan. Itulah yang ingin Penulis bahas kali ini.

Menengok Ketidaksempurnaan Mangaka Populer

Dibandingkan menonton anime, Penulis lebih suka membaca komik karena membutuhkan durasi yang lebih singkat. Menariknya, dari sekian banyak komik yang pernah dibaca, Penulis menemukan satu kesamaan: tidak semua mangaka langsung bisa menggambar dengan bagus.

Contoh yang paling terkenal kasus ini adalah Hajime Isayama, mangaka Attack on Titan. Banyak orang yang membandingkan bagaimana “mentahnya” gambar di awal-awal jika dibandingkan dengan chapter-chapter yang paling baru.

Evolusi Gambar Attack on Titan (Reddit)

Tak hanya Isayama, Penulis juga merasa ada evolusi dari gambar Masashi Kishimoto (Naruto), Akira Toriyama (Dragon Ball), Eiichiro Oda (One Piece), dan masih banyak lagi. Biasanya, chapter-chapter awal para mangaka tersebut masih mencari formula terbaik untuk komiknya.

Tentu ada standar minimum agar karya mereka bisa lolos dari editor. Namun, tetap saja jika dibandingkan dengan chapter-chapter terbaru dari komik tersebut, kita bisa melihat perubahan ke arah yang lebih baik.

Tak hanya komik, Webtoon pun memiliki pola yang sama. Dari beberapa judul favorit Penulis seperti Ngopi Yuk!, Kosan 95, Si Ocong, sampai Tahilalat pun juga tak langsung sempurna. Mereka tak menanti sempurna, yang penting mulai dulu aja.

Bahkan blog ini pun bisa dibilang juga memiliki pola yang sama. Ketika Penulis membaca tulisan-tulisan awal yang terbit di tahun 2018, Penulis merasa malu sendiri karena kualitasnya jelek dan banyak kesalahan penulisan yang mendasar.

Mulai Dulu Aja

Mulai Aja Dulu (JÉSHOOTS)

Penulis menyadari bahwa perfeksionisme justru bisa menjadi benalu yang menghambat perkembangan diri. Menanti sesuatu yang tak akan pernah datang, seperti kesempurnaan, hanya akan berakhir dengan buruk.

Dari buku Atomic Habits karya James Clear, Penulis belajar bahwa untuk memulai sesuatu, mulailah dari yang kecil terlebih dahulu. Bangun lima menit lebih awal, menulis satu paragraf, membaca satu halaman, mengubah satu baris CV, adalah beberapa contohnya. Jangan dibuat ribet, buat sesederhana mungkin.

Misal Penulis ingin mengejar lagi cita-citanya untuk bekerja di luar negeri. Tidak perlu muluk-muluk harus apply 10 perusahaan dalam sehari. Penulis bisa memulai dengan memeriksa CV lamanya untuk mengecek apakah sudah layak atau belum.

Contoh lain adalah ketika Penulis ingin memiliki keseharian yang lebih sehat dan teratur. Maklum, bekerja dari rumah (WFH) selama hampir lima tahun membuat Penulis cukup kesulitan untuk mendisiplinkan diri.

Jadi, harus ada langkah-langkah kecil yang nyatan dan harus diambil untuk memperbaiki hal tersebut. Penulis memutuskan untuk merutinkan jalan kaki ke masjid setiap waktu sholat tiba, yang membuat Penulis jadi lebih disiplin waktu dibandingkan sebelumnya.

Kembalinya blog ini juga buah dari mulai aja dulu. Penulis dulu merasa perfeksionis dengan merasa nulis blog itu harus ada time block-nya sendiri, di pagi hari sebelum jam bekerja. Alhasil, blog pun jadi terbengkalai selama berbulan-bulan.

Penulis pun coba mengubah mindset-nya, yang penting nulis hari ini. Tidak sampai tayang pun tidak apa, yang penting mulai nulis dulu aja. Menariknya, setiap memulai menulis, pada akhirnya tulisan tersebut bisa tuntas hingga tayang.

Lantas, gimana kalau ketika kita misalnya ingin membangun rutinitas harian, tapi sering miss-nya? Ya, tidak apa-apa. Jangan mengejar kesempurnaan harus melakukan rutinitas tersebut selama 7 hari dalam seminggu.

Dibandingkan mengejar streak, yang penting ada berusaha agar setiap harinya bisa melakukan rutinitas tersebut. Kalau masih bolong-bolong pun tidak apa-apa. Akan tetapi, kalau bisa memang jangan bolong terlalu panjang, nanti malah berhenti total.

Untuk memudahkan, setiap kepikiran ingin melakukan sesuatu, langsung pikirkan apa yang harus dilakukan pertama kali. Nantinya, langkah-langkah selanjutnya akan mengikuti dengan sendirinya. Sekadar mencatat pun sudah cukup, yang penting ada aksi nyata yang dilakukan.

Hal lain yang tak kalah penting adalah jangan suka menunda-nunda. Ini adalah kebiasaan buruk Penulis yang sering dilakukan. Akibatnya, banyak hal jadi terlupakan begitu saja tanpa pernah direalisasikan. Ide-ide tulisan blog misalnya, yang keburu usang karena sudah lupa apa yang ingin ditulis.

Satu hal lain yang cukup fatal adalah Penulis merupakan tipe yang kalau satu tidak dilakukan, maka semua tidak dilakukan. Ini adalah puncak dari masalah yang ditimbulkan oleh sifat perfeksionisme, yang sering all or nothing.

Padahal, jika ada satu hal yang tidak sesuai rencana, masih ada banyak hal lain yang bisa diperjuangkan untuk diselesaikan. Jangan hanya karena satu hal membuat berantakan semuanya. Lebih baik kita fokus dengan apa yang masih bisa diselesaikan.

Sebagai orang yang sangat perfeksionis, belakangan ini Penulis berusaha berdamai dengan ketidaksempurnaan. Tidak semuanya harus sempurna sesuai dengan keinginan kita. Jika bisa melakukannya, mungkin kita akan bisa melakukan apa yang dulu kita anggap mustahil.


16 September 2025, terinspirasi setelah menyadari bahwa kita tak perlu menunggu sempurna untuk memulai sesuatu

Foto Featured Image: Mikhail Nilov

Continue Reading

Facebook

Tag

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan