Leon dan Kenji (Buku 2)
Chapter 57 Kawan yang Berharga
“Leoon, kenapa melamun?” lagi-lagi Rika memecah lamunanku ketika aku melakukannya di kelas. Tampaknya gelar pemecah lamunan yang selama ini dipegang oleh Kenji harus berpindah tangan ke Rika.
“Tidak ada apa-apa Rika.”
“Kamu tuh enggak pinter bohong Le, setiap kepikiran sesuatu pasti langsung gitu wajahnya.”
“Gitu gimana?”
“Ya gitu, gimana yang mendeskripsikannya, susah Le.”
“Maaf Rika, tapi aku butuh waktu untuk sendiri.”
Rika meresponnya dengan mengangkat wajahku dengan kedua tangannya. Wajahnya nampak serius namun terlihat rasa iba pada kedua matanya. Butuh beberapa detik sebelum ia mulai berbicara.
“Kamu nyuruh aku untuk selalu cerita kalau ada apa-apa kan Le? Aku juga berharap kamu melakukan hal yang sama kepadaku.”
Aku terdiam mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Rika. Aku memegang kedua tangannya dan melepaskannya dari wajahku.
“Maaf Rika, tapi untuk kali ini aku benar-benar belum bisa bercerita kepadamu.”
***
Tentu yang sedang aku pikirkan adalah surat ayah. Sebenarnya isinya singkat saja. Ia minta waktu untuk bertemu denganku sekali saja karena ada beberapa hal yang harus ia sampaikan. Tidak ada pesan lain yang tertulis di sana. Bahkan kata maafpun tidak. Hal tersebut membuatku dilema setengah mati.
“Jadi, kamu sudah baca surat dari ayahmu Le?” tanya Kenji ketika kami berada di rumahku.
“Sudah.”
“Lalu, kalau boleh tahu, apa isinya?”
“Hanya ingin bertemu untuk menjelaskan beberapa hal.”
“Kamu mau?”
“Aku belum menentukan jawabannya.”
“Apa yang membuatmu belum menentukan jawabannya?”
“Karena ini ayah. Jika Rika yang membuat surat untuk bertemu tentu aku akan menemuinya tanpa berpikir panjang.”
“Ah, jadi kamu masih belum bisa memaafkan ayahmu ya.”
“Anggap saja begitu.”
“Omong-omong karena kamu tadi menyebut nama Rika, anak-anak mulai menggosipkan kalian lo, hahaha.”
“Maksudnya?”
“Hubungan kalian sangat dekat, interaksi kalian sangat intens. Mereka menduga telah tumbuh cinta di antara kalian, atau setidaknya salah satu dari kalian.”
Aku memandang Kenji dengan bingung. Kami memang sangat dekat, tapi cinta? Aku rasa tidak. Kami cocok satu sama lain, dan kami telah melalui banyak hal bersama. Kisah pedihnya aku ketahui, dan ia pun mengetahui kisah pedihku. Tentu semua hal tersebut membuat kami menjadi dekat, dan aku tidak merasa ada yang aneh dengan hal itu.
“Kalau boleh aku tanya, kamu menganggap Rika apa?”
“Teman.”
“Sama seperti lainnya?”
“Tentu.”
“Apakah kamu akan memperlakukan temanmu yang lain seperti kamu memperlakukan Rika?”
Ketika aku akan menjawab iya, tiba-tiba saja mulutku tak bisa diajak bekerjasama dan memilih untuk menutup diri. Seperti sebuah film, di kepalaku terbayang apa saja yang sudah kulakukan untuk Rika. Bagaimana aku memeluk Rika untuk membantunya melepaskan beban, bagaimana aku mengacak-acak rambutnya untuk menyemangatinya, hingga bagaimana aku berjanji akan menjadi pembeli novel pertamanya.
Apakah aku akan melakukan hal yang sama jika Rika adalah orang lain? Bagaimana jika dia adalah Sarah atau Rena atau Nita, akankah aku berani untuk memeluknya? Bagaimana jika dia adalah Yuri atau Gita atau Ve, akankah aku akan mengacak rambutnya agar ia kembali tersenyum? Bagaimana jika dia Dea, atau bahkan Sica, akankah aku berusaha menjaganya sedemikian rupa?
“Le? Kok malah bengong? Hahaha.” kata Kenji memutus lamunanku. Nampaknya ia masih pantas menyandang gelar sebagai pemutus lamunan.
“Maaf Kenji, sampai mana kita tadi?”
“Sudahlah lupakan saja Le, toh nanti kalau sudah waktunya kamu akan menyadarinya.”
“Omong-omong, bagaimana pekerjaanmu?”
“Sebagai loper atau sebagai tukang kliping?”
“Dua-duanya.”
“Hmm, tidak ada yang menarik dari pekerjaan sebagai loper, aku hanya perlu mengantar koran tiap pagi sesuai jadwal. Ada beberapa informasi menarik sewaktu aku mengerjakan pekerjaan kliping, tapi rasanya tidak akan menarik perhatianmu.”
“Sewaktu Rika menginap di sini, kau tidak mengantar koran?”
“Kebetulan waktu itu jatah liburku Le, jadi aman.”
“Kau mengantar dengan sepeda tuamu itu kan?”
“Iya Le, kenapa?”
“Aku penasaran, apakah sepeda itu ada sejarahnya?”
“Kalau tidak salah, sepeda itu warisan dari kakekku. Ia mewariskannya ke ayah, lalu diwariskan lagi ke aku. Walaupun lebih tua dari kita, sepedaku tidak pernah rewel yang macam-macam.”
“Itu karena kau pandai menjaga barang.”
“Hahaha, mungkin saja. Tapi memang kualitas sepeda itu sangat bagus Le.”
“Apa mereknya?”
“Bukan merek terkenal kok Le, dijual pun tak akan laku.”
“Begitu.”
Keheningan pun menghampiri kami. Tak ada lagi topik pembicaraan yang muncul dari mulut kami berdua. Sepinya suasana yang mengepung kami membuat aku melamun tak karuan lagi. Seandainya aku mengiyakan permintaan ayah, apakah aku bisa mengontrol diri? Apakah aku akan merasa lebih baik setelah mendengar segala perkataan dan ceritanya? Apakah aku harus memaafkannya? Segala pertanyaan tersebut menggantung di pikiranku, dan tidak ada tanda-tanda aku bisa menjawabnya sekarang.
***
Serbuan pertanyaan dari Kenji tentang Rika kemarin membuatku merasa sedikit canggung ketika aku bertatapan mata dengan Rika, keesokan harinya. Seandainya aku pandai menyembunyikan perasaan melalui mimik wajah, tentu hal tersebut bukan menjadi masalah. Sayang, berpura-pura tak akan pernah menjadi keahlianku, dan Rika yang bukan seorang peramal pun akan menjadi heran melihat keanehan pada diriku.
“Kamu kenapa Le, lagi demam?” tanya Rika sewaktu guru yang seharusnya mengajar harus datang terlambat karena masih ada rapat. Waktu kosong seperti ini bagi sebagian teman-teman merupakan kenikmatan yang sangat jarang mereka dapatkan. Bagiku, tentu ini merupakan sebuah kerugian besar, dan biasanya aku memutuskan untuk belajar sendiri.
“Enggak, aku baik-baik aja Rika, terima kasih.”
“Hmm, mencurigakan.”
“Duh pagi-pagi udah pacaran aja.” Rena yang duduk di depan Rika langsung saja berkomentar tidak sopan. Bukan hanya aku, Rika pun menjadi salah tingkah mendengarnya. Sang penggoda pun hanya bisa tertawa ringan melihat reaksi kami berdua. Aku berusaha mengalihkan perhatian dengan memanggil Juna yang sekarang duduk di depanku. Aku yakin, Juna bukan tipe orang yang suka menggoda orang seperti yang dilakukan oleh Rena.
“Juna.” panggilku sambil menepuk pundaknya.
“Iya Le?” jawab Juna sembari membalikkan badannya.
Aku sempat diam beberapa detik karena tidak memiliki bahan pembicaraan sama sekali. Apalagi, Juna merupakan tipe anak yang sangat pendiam dan tidak akan bicara kecuali diajak bicara. Otak yang sering kubanggakan sama sekali tidak mau kuajak kerjasama untuk menemukan topik pembicaraan yang tepat dengan Juna. Untunglah, Juna juga merupakan tipe orang yang sangat sabar, sehingga ia menungguku bersuara tanpa protes. Setelah dua puluh detik, muncul satu topik yang bisa kujadikan bahan pembicaraan panjang dengan Juna.
“Eh, kau tahu negara Saint Vincent and Grenade?”
Sama seperti Gisel, Juna pun mengoreksi kesalahan pengucapanku. Seperti dugaanku, Juna memiliki pengetahuan yang luas, termasuk tentang negara-negara. Bahkan, ia memanggil Pierre untuk ikut bergabung dengan kami. Siapa yang menyangka, mereka berdua ternyata cukup akrab dan sering berdiskusi tentang banyak hal. Ketika aku mengingat-ingat, sepertinya aku baru satu kali berbicara cukup panjang dengan mereka. Maka pada kesempatan kali ini, aku berusaha untuk lebih mengenal mereka.
“Aku kira kau hanya minat mendalami pengetahuan di bidang teknologi Pierre.” kataku sewaktu selesai mendengarkan penjelasannya tentang negara-negara kepulauan Karibia.
“Oh tidak dong Le, aku juga suka mempelajari sesuatu yang unik. Kebetulan, negara-negara kecil seperti yang kamu sebutkan tadi aku anggap unik, sehingga aku sering baca-baca di internet. Tapi untuk masalah geografi, tanyakan kepada ahlinya, Juna.” cetus Pierre sambil menepuk-nepuk pundak Juna. Tentu, sambil mengarahkan telapak tangannya ke hadapan Juna agar ia menunggu 5 detik untuk merespon.
“Ah enggak kok. Kebetulan membaca atlas hobiku sewaktu kecil, jadi sampai sekarang masih suka baca-baca tentang diplomasi antar negara. Lumayan buat selingan dari rumus-rumus.”
Benar juga, kami kelas akselarasi secara otomatis akan dikategorikan sebagai kelas IPA, sehingga pelajaran IPS tidak akan kami dapatkan. Bagi yang tidak menyukai bidang humaniora sepertiku tentu itu merupakan hal yang membahagiakan. Akan tetapi, ternyata ada yang merindukan pelajaran yang hanya berisikan tulisan tersebut. Ini membuktikan bahwa aku masih belum terlalu dekat dengan teman-temanku yang lain.
“Berhubung kita sedang berbicara tentang negara, aku sudah lama penasaran, kenapa namamu sangat berbau Prancis?” tanyaku pada Pierre.
“Karena orangtuaku bertemu di Prancis sewaktu sama-sama mendapatkan beasiswa di Sorbonne. Semenjak itu, mereka berdua semakin terobsesi dengan negara tersebut, sehingga jadi beginilah namaku.” jelasnya dengan menunjukkan mimik wajah yang menggambarkan perasaan malu.
“Kau malu dengan namamu?” tanyaku langsung tanpa basa-basi.
“Dulu iya Le, tapi sekarang udah enggak terlalu. Biarlah namaku diolok-olok, toh ini nama pemberian orangtuaku.”
Aku dan Juna sama-sama menganggukkan kepala, berusaha memahami apa yang dirasakan Pierre. Aku juga memiliki nama yang sangat berbau asing, namun rasanya belum pernah namaku dijadikan bahan olok-olokan. Mungkin saja karena nama yang disandang Pierre lebih terdengar mencolok jika dibandingkan dengan namaku.
“Omong-omong, kalian sudah kenalan sama adik kelas tingkat akselerasi?” tanya Pierre membelokkan topik pembicaraan ke arah yang lebih santai.
“Belum.” jawabku datar.
“Kayaknya kita perlu kenalan sama mereka deh, biar hubungan antar anak akselerasi enggak kayak kemarin. Kita tunjukkan bahwa kita bisa menjadi panutan bagi mereka.” kata Pierre berapi-api. Siapa sangka anak kurus berkacamata ini bisa memikirkan hal-hal seperti itu.
“Kalau begitu, nampaknya aku enggak perlu ikut. Takutnya malah bikin onar.” kataku realisitis.
“Kamu kan udah berubah Le, enggak usah khawatir. Tanya aja sama Rika, iya kan Rik?”
“Eh, apa?” ternyata Rika sedang melamun sehingga tak sadar sedang ditanya oleh Pierre.
“Cie ngelamun, hahaha.” goda Pierre. Aku kira Pierre bukan tipe laki-laki yang luwes jika berbicara dengan perempuan. Ternyata ia sama sekali tidak memperlihatkan kecanggungan ketika berhadapan dengan wanita. Aku memang benar-benar masih butuh mengakrabkan diri dengan teman-temanku yang lain.
“Apaan sih Pier.” balas Rika dengan jutek, sesuatu yang jarang ia lakukan.
“Maaf maaf, habis kamunya gitu sih. Aku tadi tanya…”
Omongan Pierre terpotong oleh bunyi bel pergantian jam pelajaran, dan yang bersangkutan pun memutuskan untuk kembali ke bangkunya. Aku melirik Rika yang masih memasang wajah sebal. Sepulang sekolah, aku akan coba untuk menanyakan apa yang membuatnya menekuk wajah. Bagaimanapun, Rika adalah salah satu kawanku yang berharga sama seperti yang lain, sehingga wajar jika aku begitu peduli terhadapnya.
Leon dan Kenji (Buku 2)
Epilog: Setelah Kematian Wijaya
Kantor polisi terasa lengang, hanya ada suara angin dari AC. Peran komputer telah digantikan oleh sebuah mesin kotak canggih yang mampu merekam apapun kesaksianku dengan baik, termasuk ekspresi terkecil wajahku. Sudah satu jam aku berada di entah ruangan apa ini, menanti ketidakpastian. Yang jelas, hanya ada satu kalimat yang menggantung di pikiranku: hidupku akan berakhir di penjara. Petugas kepolisian yang ada di hadapanku mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya.
“Dokter Leon, saya ulangi sekali lagi, Anda ke sini untuk menyerahkan diri?” tanya petugas tersebut.
“Benar.”
“Dengan alasan pembunuhan berencana?”
“Benar.”
“Korban adalah Wijaya Hardikusuma, mantan konglomerat yang sudah berusia lanjut?”
“Benar.”
“Pembunuhan dilakukan dengan alasan balas dendam karena korban merupakan pelaku pembunuhan ibu dan beberapa kerabat Anda?”
“Benar.”
“Dan metode pembunuhannya, eh, dengan ancaman?”
“Benar.”
Petugas tersebut menggaruk-garuk lagi kepalanya. Nampaknya baru kali ini ia menemukan kasus sejanggal ini. Pembunuh yang menyerahkan diri karena merasa bersalah memang banyak, tapi pembunuh yang mengakui pembunuhannya hanya dengan bersenjatakan ancaman? Rasanya baru kali ini petugas itu mengalaminya.
“Berdasarkan hasil otopsi, korban meninggal karena komplikasi penyakit yang telah lama dideritanya. Tidak ditemukan adanya unsur kekerasan ataupun racun pada tubuhnya. Bahkan yang saya dengar dari salah satu perawat, Anda berusaha memberikan pertolongan pertama begitu korban mengalami tanda-tanda kejang, benar seperti itu?”
“Benar, saya memberikan pertolongan karena telah mengurungkan niat untuk membunuh. Tapi tetap saja, saya menyadari bahwa ancaman saya di awal lah yang memicu penyakitnya. Seandainya saya tidak memberikan ancaman, mungkin Wijaya masih hidup sekarang.”
Sekali lagi si petugas menggaruk kepalanya. Nampaknya ia benar-benar tidak tahu bagaimana cara meladeniku. Pasal apa yang bisa menjeratku? Apakah sekadar ancaman sudah merupakan tindak pidana? Berapa lama masa hukuman yang akan menantiku?
“Sepengetahuan saya, tidak ada pasal yang bisa menjerat Anda untuk masuk sel. Niat selama hanya berada di kepala tidak akan membahayakan pihak lain. Mesin AI yang ada di depan Anda ini rasanya juga akan menyimpulkan hal yang sama.”
“Tapi tetap saja…” aku menggantungkan kalimatku karena bingung harus berkata apa lagi. Mungkin kedatanganku ke kantor polisi setelah proses otopsi Wijaya hanya merupakan tindakan spontanku yang masih terkejut atas apa yang baru saja terjadi.
“Jadi, bapak ingin tetap membawa kasus ini ke pengadilan?”
“Benar.”
“Ada pihak pengacara?”
“Ada.”
Jawaban tersebut buat keluar dari mulutku, melainkan dari laki-laki yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Ketika menolehkan wajahku, aku melihat sosok Zane Trunajaya yang sudah semakin menua. Lihat saja, rambut dan jenggotnya sudah dipenuhi oleh uban. Padahal usianya tak terlalu jauh dariku.
“Selamat malam pak, saya Zane Trunajaya yang akan menjadi pengacara saudara Alexander Napoleon Caesar atas dugaan kasus pembunuhan berencana. Tapi sebelumnya, saya mohon izin dulu untuk bicara empat mata dengannya.”
“Ya ya ya, silakan,” kata petugas tersebut dengan pasrah. Nampaknya ia mulai mencurigai kalau kedatanganku ke kantor polisi hanya untuk sekadar mencari sensasi. Namaku cukup terkenal, aku melihat ada beberapa wartawan membuntuti mobil listrikku sewaktu perjalanan dari rumah sakit ke sini. Mungkin Zane mengetahui posisiku juga dari berita daring yang bisa diakses secara kilat, terlalu kilat bahkan.
“Leon, astaga, kerasukan apa dirimu?” tanya Zane sewaktu kami berdua menemukan tempat yang cukup sepi.
“Aku melakukan hal yang menurutku benar, Zane. Lagipula, dari mana kau tahu aku di sini? Aku tidak bercerita ke siapapun, termasuk keluarga.”
“Kamu enggak lihat wartawan di depan pada heboh? Dokter yang namanya terkenal hingga banyak orang yang menginginkannya menjadi Menteri Kesehatan, tiba-tiba ngebut ke kantor polisi setelah pertama kali gagal menyelamatkan pasiennya. Semua orang pasti akan klik judul berita yang dibuat oleh para wartawan itu. Dengan teknologi sekarang, mereka bisa membuatnya hanya dalam hitungan menit.”
Dugaanku terbukti benar, Zane tahu aku dari sini dari berita.
“Adikmu sampai menghubungiku, khawatir kakaknya tidak bisa ditelepon setelah baca berita kegagalan perdanamu. Astaga Leon, apa yang ada di pikiranmu? Kenapa bertindak gegabah seperti ini?”
Aku diam saja dicecar pertanyaan-pertanyaan tersebut dari Zane. Entah mengapa aku tak berani memandang kedua matanya.
“Pasienmu Wijaya, kan? Tidak ada pasien lain yang akan memicumu bertindak seperti ini selain dia.”
Meskipun sudah dipenuhi uban, kecerdasan Zane belum sama sekali hilang. Kecerdasannya mengingatkanku pada…
“Aku bisa bicara dengan petugas untuk meluruskan apa yang tengah terjadi. Tidak ada tindakanmu yang berbau pidana, kamu enggak akan bisa dipenjara hanya karena memiliki niat yang tidak jadi dilakukan. Kalau semua bisa dihukum hanya karena niat, penjara enggak akan muat nampungnya.”
“Ini beda Zane,” aku akhirnya buka suara, “Wijaya terkena serangan jantung setelah aku mengungkapkan siapa aku dan mengungkapkan keinginanku untuk balas dendam. Seandainya aku tidak berbuat seperti itu, mungkin dia masih hidup.”
“Para wartawan itu telah mewawancarai keluarga Wijaya. Katanya, itu bukan pertama kali Wijaya terkena serangan jantung. Entah sudah berapa ring yang ada di pembuluh darahnya. Sejak awal, mereka tidak berharap banyak, Wijaya memang sudah terlalu tua dan mungkin memang sudah ditakdirkan meninggal setelah bertemu dengan korbannya.”
Zane mengendurkan ekspresi wajahnya, memandangku dengan rasa simpati.
“Seandainya Wijaya masih hidup, kita akan memprosesnya lewat hukum atas kejahatan di masa lalunya. Orang yang selama ini kita cari akhirnya ketemu dalam kondisi tidak berdaya. Hanya saja, itu akan membuatnya makin menderita. Biarlah dia diadili di akhirat karena kita tidak bisa menjeratnya di dunia,” tambahnya lagi.
Kepalaku sudah mulai berpikir jernih. Benar yang dikatakan Zane, ini semua sudah ditakdirkan.
“Waktu aku memandangi Wijaya dengan penuh dendam, aku merasa tiba-tiba ada tepukan halus pada bahuku. Ketika aku menoleh, tidak ada siapa-siapa, tapi perasaan dendamku mendadak lenyap begitu saja. Kemudian, aku melihat Wijaya mulai kesulitan bernapas dan aku langsung memberikan pertolongan pertama.”
“Nah, sekarang otakmu yang cemerlang itu mulai bisa digunakan dengan normal, kan? Sudahlah, kamu hanya terguncang karena baru saja bertemu dengan orang yang selama ini membuatmu menderita. Kamu memang salah karena berniat membunuh orang, tapi niat tersebut tidak jadi kamu lakukan.”
“Iya Zane, terima kasih karena sudah datang kemari.”
“Tenang saja, lagipula sebentar lagi kamu akan jadi adik iparku. Tunggu di sini, aku akan bicara dengan petugas di dalam. Nanti kita makan malam bareng.”
Begitu Zane berjalan ke dalam kantor polisi, aku segera mengaktifkan ponselku yang dari tadi mati. Aku langsung menghubungi satu nomor yang pasti sudah mencemaskanku.
“Halo Gisel?”
“KAKAK DARI MANA? KAKAK ENGGAK TAHU DARI TADI GISEL TELEPON ENGGAK ADA NADA SAMBUNGNYA? KAKAK MASUK BERITA TAHU, DAN UNTUK PERTAMA KALINYA BUKAN BERITA BAGUS!!! MALAH UDAH ADA YANG BIKIN BERITA SKANDAL YANG ENGGAK BENER!!! KAKAK ITU KEBIASAAN KALAU ADA MASALAH SUKA HILANG TIBA-TIBA. KAKAK ITU…”
Mungkin sekitar lima menit Gisel memarahi dengan nada tinggi seperti itu. Aku hanya bisa diam mendengarkannya, menantinya capek sendiri.
“Sudah marahnya?” tanyaku pelan setelah ada jeda beberapa detik darinya.
“Belum, tapi Gisel capek, jadi berhenti dulu.”
“Kalau gitu gantian ya, Gisel yang dengerin kakak.”
Aku pun menceritakan apa adanya ke adik perempuan kesayanganku itu, menjelaskan situasi yang sebenarnya. Pada akhirnya, kemarahan Gisel pun bisa kuredam.
“Selama Gisel kuliah di luar, jangan bikin Gisel kepikiran dong kak. Nanti makin lama lulusnya Gisel, padahal udah kangen sama Indonesia. Makanya kakak cepet nikah biar ada yang ngurusin kakak, calon juga udah ada juga.”
“Duh, calon bu dosen ini jadi makin galak ya. Iya, maafkan kakak, tapi Gisel pasti tahu kenapa kakak bisa sampai seperti ini.”
“Iya Gisel paham, tapi kan bisa ngerem dikit, enggak grusa-grusu seperti ini. Terus Kak Zane di mana sekarang?”
“Masih di dalam, ngobrol sama petugas.”
“Ya udah kalau gitu, kakak jaga kesehatan, jangan telat makan. Kakak tugasnya ngobatin orang, jangan sampai diri sendiri enggak keurus.”
“Iya iya, Gisel juga ya, jaga kondisi di sana. Jepang habis gempa bumi yang lumayan besar, kan? Peringatan tsunami juga muncul.”
“Iya kak, tenang, kampusnya Gisel jauh dari pesisir kok. Ya udah, Gisel mau lanjut ngerjakan disertasi, papai kakak.”
Aku pun mematikan telepon dan segera melamun. Mungkin memang semuanya telah ditakdirkan seperti ini. Wijaya diberi hidup sampai bertemu denganku, anak dari korban yang telah ia habisi karena mengusik bisnisnya. Kalau saja aku tidak merasakan tepukan itu, mungkin aku akan melanjutkan niat membunuhku.
Sentuhan tangan siapa kah itu? Aku merasa itu sentuhan tangan dari Kenji, kawan lamaku yang telah lama tiada. Sama sepertiku, ia juga merupakan anak dari korban Wijaya. Beda denganku, ia tak pernah menyimpan dendam. Ia membantuku mengusut kasus Wijaya, tapi tak pernah terucap dari mulutnya kalau ia menginginkan kematian Wijaya sebagai bayarannya. Seandainya dia masih hidup, mungkin dia akan memintaku untuk memaafkan Wijaya karena alasan kemanusiaan.
Sudah berapa lama aku kehilangan Kenji? Lima belas tahun? Entahlah, aku tak bisa mengingatnya dengan pasti. Hanya dua tahun kami saling mengenal, tapi rasanya sudah kenal seumur hidup. Selama di SMA, ia lah yang menuntunku ke jalan yang lebih baik. Bahkan setelah kepergiannya, aku masih merasa kalau Kenji ada di sekitarku. Kasus Wijaya ini menjadi salah satu buktinya, walau sebenarnya aku tidak terlalu percaya dengan hal yang berbau mistis. Orang yang meninggal akan hidup di alam lain yang berbeda dimensi dengan kita.
Ataukah sebenarnya energinya masih ada di dunia ini, berusaha mencegahku untuk melakukan hal-hal bodoh seperti tadi?
TAMAT
Leon dan Kenji (Buku 2)
Chapter 90 Menemukan Arah
Lima belas tahun berlalu begitu saja. Lebih dari setengahnya kuhabiskan untuk belajar mati-matian di universitas agar bisa segera lulus dan menjadi seorang dokter. Aku kerap mendapatkan sorotan berkat berbagai prestasi akademik yang pernah kuraih. Aku berhasil menjadi lulusan sarjana terbaik dengan waktu tercepat. Program profesi dokter dan ujian sertifikasi kulibas dalam waktu kurang dari satu setengah tahun. Magang juga kulalui dengan lancar hingga aku berhasil mendapatkan izin praktik. Aku tidak berhenti di situ. Aku mengambil program profesi spesialis paru-paru dan berhasil kuselesaikan dalam waktu empat tahun. Begitu semua kuselesaikan, aku kembali Malang dan menekuni profesi ini secara profesional.
Harga yang kubayar untuk bisa mendapatkan itu semua tidaklah murah. Aku sama sekali tidak pernah ikut kegiatan kampus yang bersifat non-akademik. Kepanitiaan apapun tidak pernah menarik minatku. Teman seperti masa-masa SMA? Hampir tidak ada. Sampai-sampai aku mendapatkan julukan robot karena rutinitasku yang selalu berulang-ulang. Aku mengetahui ini dari Rachel, yang kebetulan menjadi adik tingkatku karena ia mengambil jurusan yang sama di kampus yang sama. Aku tidak terlalu memedulikan hal tersebut. Aku harus fokus dengan tujuanku.
Karena keseriusanku di masa-masa kuliah, karirku dengan cepat melambung. Namaku terkenal sebagai salah satu dokter paru-paru terbaik. Banyak rumah sakit besar dari luar daerah yang berusaha meyakinkan aku untuk pindah, namun aku memutuskan untuk bertahan di rumah sakit ini, rumah sakit yang menjadi saksi kepergian Jessica dan Kenji.
***
Aku mendengar kematian Kenji dari Rika, ketika aku sedang disibukkan dengan berbagai kegiatan OSPEK yang bagiku cukup menjemukan. Diawali dengan isak tangis, Rika memberitahu kabar duka tersebut dengan suara terpatah-patah.
“Kenji Le… Kenji meninggal. Penyakit paru-parunya ditambah kompilasi penyakit lain membuatnya enggak ketolong.”
Handphoneku langsung tergelincir jatuh begitu saja ke lantai kamar asramaku. Aku yang sedang melakukan persiapan untuk acara kampus besok langsung terduduk di atas tempat tidur. Aku masih tidak percaya dengan kabar yang baru kudengar. Perlahan, air mataku tumpah tanpa bersuara. Aku menangis dalam sunyi. Aku tak menyangka, aku harus kehilangan sahabat terbaikku ketika aku harus jauh darinya. Ketakutan terbesarku benar-benar terjadi.
Entah berapa lama aku terjebak dalam perasaan sedih ini. Omongan-omongan kakak tingkat yang menyakitkan sama sekali tidak kudengarkan. Beberapa kali mendengar teguran hanya kudengarkan dengan tatapan kosong. Menyadari ada yang ganjil dari diriku, aku dipanggil oleh pihak kampus. Di hadapanku, terlihat seorang wanita berusia 30-an dengan rambut sebahu.
“Ah, kamu Leon, kan? Silakan masuk. Saya sudah nunggu kamu.”
Perasaan dipanggil ini sama seperti waktu aku pertama kali masuk ke SMA, di mana aku dipanggil oleh guru BP. Kesan awalnya pun sama, pribadi yang ramah namun menyimpan belati tajam di belakang punggungnya.
“Saya dapat beberapa laporan dari katingmu, katanya akhir-akhir ini kamu seperti kurang fokus mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada. Kamu ada masalah?”
Aku memutuskan untuk bercerita apa adanya, berharap hal tersebut bisa membantuku merasa lebih baik.
“Beberapa hari yang lalu, saya mendapatkan kabar kalau sahabat yang sudah seperti saudara saya sendiri meninggal karena penyakit yang sudah lama dideritanya. Saya minta maaf, karena itu saya sering tidak fokus.”
Mendengar kabar tersebut, wanita tersebut memberikan pandangan penuh simpati. Ketulusan terpancar dari kedua bola matanya.
“Kamu harusnya bilang agar mendapatkan izin untuk pulang. Rumah kamu di mana?”
“Malang.”
“Setidaknya ambil izin tiga sampai empat hari, saya sarankan naik pesawat supaya lebih cepat.”
“Tidak perlu bu.”
“Kamu enggak mau melayat sahabatmu itu? Mau gimanapun, kehilangan orang yang berharga itu menyakitkan, loh.”
Aku mengambil jeda sejenak sebelum merespon pertanyaan tersebut.
“Saya mau membuat sumpah untuk tidak kembali ke Malang sebelum berhasil menjadi dokter. Mau sepuluh tahun pun akan saya jalani. Saya harus segera lulus demi dia, demi mereka.”
Wanita tersebut nampaknya berusaha memahami posisiku. Ia terlihat sedang menuliskan semacam catatan di atas meja kerjanya.
“Ibu hargai jika keputusanmu seperti itu. Setidaknya, kamu bisa absen beberapa hari untuk menenangkan diri. Ibu akan kirim memo kepada katingmu yang jadi panitia. Tiga hari cukup?”
Aku menganggukkan kepala, meskipun tahu tiga hari tidak akan cukup untuk membuatku merasa lebih baik.
***
Setelah mendapatkan telepon dari Rika, handphoneku kubiarkan mati selama berhari-hari. Aku sadar tindakan tersebut sangat egois karena pasti banyak yang mengkhawatirkan diriku. Orang pertama yang kuhubungi adalah ayah.
“Leon? Kamu kok baru bisa dihubungi sekarang? Semuanya kepikiran sama kamu, paman bahkan bilang kalau Sabtu besok ini mau ke Jakarta lihat kamu.”
“Gisel mana?” tanyaku tanpa menghiraukan pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan. Ayah pun memutuskan untuk tidak mendebatku dan segera memanggil Gisel.
“KAKAK! Kakak ke mana aja? Gisel kepikiran kakak terus gara-gara…” Gisel tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena ia mulai menangis. Aku pun semakin merasa bersalah karena sudah menyusahkan orang lain seperti ini.
“Maafkan kakak, Gisel. Kakak butuh waktu buat menenangkan diri.”
“Iya sih Gisel tahu, tapi tetap aja Gisel panik. Gisel takut kakak kenapa-napa.”
“Kakak enggak apa-apa Gisel, kakak minta maaf, ya. Kakak sudah bikin kamu kepikiran. Padahal Gisel lagi seneng-senengnya karena masuk SMP, kan?”
Rekomendasi langsung naik ke kelas enam yang diterima Gisel tahun kemarin membuatnya tahun ini bisa masuk ke SMP. Nilai ujiannya menjadi yang tertinggi, hampir sempurna. Di antara teman-teman SMP-nya, Gisel pasti menjadi yang paling muda.
“Gimana mau seneng kak kalau Kak Kenji…” sekali lagi Gisel tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Aku pun berusaha menenangkannya sebisa mungkin. Sama sekali tidak kuungkit masalah rencanaku untuk tidak pulang sebelum lulus. Hal tersebut bisa dibicarakan lain waktu.
Setelah Gisel, orang berikutnya yang kuhubungi adalah paman. Rencananya untuk ke Jakarta harus dibatalkan. Begitu telepon tersambung, aku segera dicecar oleh berbagai pertanyaan. Aku pun mengatakan kalau aku baik-baik saja walau sempat terguncang hebat. Setelah mendengarkan berbagai nasihat, aku mengakhiri telepon.
Orang terakhir yang kuhubungi adalah Rika. Aku yakin kalau diriku akan mendengar omelan yang lebih pedas dari dua telepon sebelumnya.
“Halo, Ri…”
Belum berakhir sempurna pertanyaanku, Rika sudah mengeluarkan kalimat-kalimat dengan cepatnya. Suaranya benar-benar mengandung emosi yang bercampur aduk. Aku sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk menyelanya. Dengan sabar, aku menantinya selesai bicara.
“Kamu itu egois banget Leon, enggak mikirin orang-orang yang ada di sini,” akhirnya Rika selesai berbicara.
“Iya, maaf Rika. Aku memang salah.”
“Kamu enggak pulang?”
“Kayaknya enggak Rika. Aku…”
Kalimatku kubiarkan menggantung. Aku belum siap memberitahunya. Berbeda dengan paman dan Gisel yang bisa datang berkunjung ke Jakarta, Rika belum tentu punya kesempatan untuk itu.
“Aku tahu Le, kamu pasti sangat terpukul dengan kepergian Kenji. Tapi kamu harus tahu kalau kami semua juga ikut terpukul. Kenji itu figur penting di kelas kita, bahkan di sekolah kita. Kemarin waktu pemakamannya banyak yang datang.”
Mendengar cerita pemakaman Kenji, aku menjadi terdiam. Rika menyadari kesalahannya berusaha meminta maaf dengan sedikit panik.
“Iya, enggak apa-apa Rika, tapi maaf, aku benar-benar belum bisa pulang sekarang. Suatu saat, aku akan kasih tahu kamu alasannya.”
“Iya Leon, aku mengerti.”
Telepon berakhir. Aku kembali disibukkan oleh berbagai pikiran tentang Kenji dan mengingat-ingat berbagai momen yang pernah kami lalui bersama.
***
Setelah aku mulai berkuliah di Jakarta, Zane dan timnya mulai berhasil membongkar banyak kejahatan yang dilakukan oleh Wijaya dan kroninya. Banyak orang yang berhasil ditangkap dengan berbagai tuduhan. Perusahaannya banyak yang dinyatakan bangkrut atau setidaknya diakuisisi oleh pihak lain. Sayang, Wijaya tetap tak tersentuh. Petunjuk seputar di mana ia berada benar-benar minim. Bahkan orang-orang terdekatnya pun tidak mengetahui pasti keberadaannya. Awalnya aku sulit menerima kenyataan ini, tapi aku memutuskan untuk berusaha mengikhlaskannya. Siapa tahun ia telah mati, dan aku harap ia mati dengan mengenaskan.
Aku tetap tidak mengetahui keberadaan orangtua kandungku atau setidaknya makam mereka. Daftar orang-orang Peretas yang hilang juga tidak ada satupun yang berhasil ditemukan. Semuanya tetap menjadi misteri.
Walaupun begitu, aku selalu teringat kata-kata Kenji. Semua yang aku alami ini membuatku bisa menemukan arah yang selama ini kucari. Kematian Sica, lalu disusul kematian Kenji sendiri, membuatku termotivasi untuk menjadi dokter spesialis paru-paru. Setelah tahun-tahun penuh perjuangan dan pengorbanan, aku berhasil mencapainya. Aku bisa menolong orang lain dengan kemampuan yang kumiliki. Ketika melihat pasienku bisa kembali hidup normal, aku merasa bahagia. Aku merasa kehidupanku memiliki manfaat untuk orang lain.
***
Kembali ke masa kini. Aku sedang bersiap untuk melayani seorang pasien yang sudah cukup tua. Kata asistenku, usia pasien ini sudah lebih dari 90 tahun. Kompilasi penyakit yang diderita cukup banyak, namun yang paling vital adalah paru-parunya. Oleh karena itu, keluarganya memutuskan untuk membawanya untuk diperiksa olehku. Aku memintanya untuk memasukkan pasien tersebut ke ruang praktikku. Pihak keluarga hanya boleh menunggu di luar karena aku akan melakukan pemeriksaan secara mendalam.
Sepuluh menit kemudian, aku berjalan ke ruang praktik. Aku sempat bertemu dengan pihak keluarganya, mungkin anak dan cucunya. Aku menyempatkan diri untuk sedikit berbasa-basi dengan mereka agar mengetahui riwayat penyakitnya. Mereka mengatakan kalau selama ini mereka tinggal di luar negeri. Sang pasien selama ini bisa menjaga pola hidup yang sehat sehingga bisa berusia panjang. Karena masalah ekonomi, mereka memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan berusaha hidup dengan tenang.
Setelah itu, aku memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan untuk segera memeriksan sang pasien. Di dalam, ia ditemani oleh asistenku. Aku pun menghampiri sang pasien dan berusaha beramah-tamah seperti biasanya. Namun, ketika memperhatikan wajahnya secara saksama, aku merasa mengenali wajah itu. Aku berusaha mengorek ingatanku dalam-dalam untuk mengetahui siapa yang ada di hadapanku ini.
Aku ingat siapa dia.
“Flo, bisa tinggalkan kami berdua?”
Asistenku yang bernama Florence itu mematuhi permintaanku tanpa banyak tanya. Setelah ia menutup pintu dengan pelan-pelan, aku segera menatap mata sang pasien.
“Wijaya Hardikusuma.”
Reaksi yang ia tunjukkan benar-benar sesuai dugaanku. Sangat terkejut. Aku tahu ia telah mengubah identitas dirinya agar tidak tersentuh hukum. Tapi aku ingat segala lekuk wajah Wijaya dari foto yang pernah ditunjukkan oleh Zane. Meskipun usianya di foto dengan yang sekarang terpaut cukup jauh, aku masih bisa mengenalinya berkat daya ingat otakku yang luar biasa.
“Si…siapa kamu?” tanya Wijaya dengan gemetar.
“Well, nama saya adalah Alexander Napoleon Caesar dan saya adalah dokter yang akan segera memerika Anda. Tapi apakah Anda merasa pernah mengenal saya?”
Ia menggelengkan kepala dengan lemah.
“Tentu saja Anda tidak kenal saya karena kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Tapi saya tahu semua kejahatan yang pernah Anda lakukan di masa lalu. Ingat dengan kelompok Pembela Rakyat Tertindas yang sangat menentang proyek-proyek Anda?”
Tatapannya memancarkan ketakutan. Ia pasti tak menyangka akan bertemu dengan orang yang memiliki keterkaitan dengan kelompok tersebut.
“Saya adalah anak dari Ratih dan Bambang, ingat dengan nama itu? Mungkin tidak mengingat banyak sekali orang yang Anda hilangkan. Ingat Dewi? Dia juga anggota kelompok itu dan dengan baik hati mau mengadopsi saya sebagai anak setelah orangtua kandung saya dihilangkan oleh Anda. Tapi beberapa tahun kemudian ketika saya baru masuk SMP, saya menemukan ibu angkat saya gantung diri. Ketika SMA, saya mengetahui fakta kalau kematiannya ternyata rekayasa yang direncanakan oleh anak buahmu. Pasti Anda tahu Markus, bukan? Ia sudah mengakui semuanya, sebelum akhirnya ia meninggal di dalam penjara.”
Aku berjalan mendekati lemari buku yang ada di dekat meja kerjaku. Aku selalu menyimpan beberapa novel Agatha Christie sebagai hiburan ketika merasa penat. Aku mengambil satu secara acak dan kembali menghampiri Wijaya yang masih di dalam posisi berbaring.
“Ibu saya sangat menyukai novel-novel detektif seperti ini, bahkan ia menggunakannya sebagai petunjuk untuk membongkar kebusukanmu. Kesukaannya itu menurun kepada saya. Entah sudah berapa ratus judul yang sudah saya baca. Dari sana, saya mengetahui beberapa trik pembunuhan yang tidak akan ketahuan. Menurut Anda, bagaimana jika saya mempraktekkan beberapa di antaranya kepada Anda?”
“Tolong, tolong ampuni saya…” pinta Wijaya dengan suaranya yang lemah.
“Bertahun-tahun saya hidup menderita karena perbuatan Anda. Lantas, Tuhan membuat kita bisa bertemu dalam kondisi seperti ini, saat Anda tidak berdaya. Menurut Anda, saya akan melepaskan kesempatan terbaik untuk balas dendam begitu saja?”
Tubuh Wijaya makin bergetar tak karuan. Kata-kata ampun dan maaf terus keluar dari mulutnya. Untunglah ia terlalu lemah untuk berteriak sehingga keluarganya yang sedang menanti di luar tidak akan mendengar suaranya.
Apakah aku benar-benar serius ingin membunuhnya sekarang? Oh ya, aku sangat serius. Bahkan aku sudah mempertimbangkan beberapa cara untuk membuatnya mati di tanganku. Menutup kepalanya dengan bantal hingga ia tak bisa bernapas? Menyuntikkan cairan tak terdeteksi yang akan memperparah sakit di tubuhnya? Berbagai cara melintas di kepalaku sembari mataku menatapnya dengan penuh dendam. Sama sekali tidak ada belas kasihan yang muncul dari diriku. Siapa yang menyangka keputusanku untuk menjadi dokter spesialis paru-paru akan membuatku bertemu dengannya.
Aku terus memadanginya, memandanginya dengan tatapan penuh kebencian. Kenji, balas dendam kita akan tuntas hari ini. Orang yang selama ini membuat hidup kita menderita akhirnya akan mendapatkan pembalasan.
Aku masih terus memandanginya tanpa bersuara sedikitpun.
Leon dan Kenji (Buku 2)
Chapter 89 Keberangkatan
Aku mendapati diriku sedang berada di ruang serba putih yang sama seperti waktu aku bertemu dengan ibu. Meskipun kepalaku terasa sedikit sakit, aku memutuskan untuk berdiri dan mulai mencari seseorang di ruangan ini. Semoga saja aku bertemu dengan ibu lagi. Sejak kunjunganku terakhir ke sini, ada banyak kejadian yang telah terjadi. Aku ingin menceritakan semuanya agar merasa lega.
Tiga puluh menit aku berjalan tanpa arah, tak kutemukan seorang pun di sini. Aku pun menjadi khawatir, apakah aku berada di ruangan lain? Apakah aku tak akan bertemu dengan seorang pun di sini?
Di saat aku mulai merasa putus asa, aku melihat siluet seorang wanita dari kejauhan. Dari postur tubuhnya, dia jelas bukan ibuku. Aku memutuskan untuk menghampirinya. Ketika jarak kami tinggal tiga meter, aku menyadari siapa pemiliki siluet tersebut.
“Sica.”
Mendengar namanya dipanggil, ia menoleh ke arahku. Benar, ia adalah Sica. Lututku langsung lemas dan akupun jatuh bersimpuh di hadapannya. Ia terkejut melihatku dan segera berusaha menolongku untuk berdiri kembali.
“Leon? Enggak apa-apa? Sakit loh jatuh seperti itu.”
Mendengar suaranya, air mataku tumpah begitu saja. Sica dengan sabar menungguku selesai.
“Aku enggak nyangka Le kita bisa ketemu di sini. Aku sendiri kurang tahu ini di mana.”
Aku sama sekali tidak memberikan respon. Aku sibuk menguasai diri yang begitu terkejut bertemu dengan seorang wanita yang berpengaruh besar di dalam kehidupanku.
“Kita jalan dikit yuk, tadi di sana aku lihat ada kayak bangku taman gitu. Kita ngobrol di sana aja.”
Kami berdua pun berjalan beriringan dalam diam hingga sampai di bangku yang ia maksud. Kami duduk di atasnya dan saling menanti saat yang tepat untuk memulai percakapan.
“Udah satu tahun ya Le kita enggak ketemu? Ada cerita apa aja?”
Aku sudah mulai bisa menguasai diri. Aku pun memutuskan untuk menceritakan semua kejadian semenjak hari kematiannya, mulai dari kedatangan ayahku yang tiba-tiba, kedekatanku dengan Rika, hubungan antara ibuku dengan ibunya Kenji, fakta kalau selama ini aku tinggal bersama orangtua angkat, hingga kasus masa lalu yang sedang aku hadapi. Sica mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa berusaha menyela sedikitpun.
“Dan kini Kenji sedang terbaring di rumah sakit. Sama sepertimu, penyakit paru-paru. Belum diketahui kapan ia bisa keluar,” aku mengakhiri ceritaku.
“Aku turut sedih mendengarnya, Le. Kamu udah mengalami berbagai kejadian yang belum tentu bisa dihadapi oleh orang biasa. Kamu hebat Le bisa melalui ini semua.”
“Terima kasih Sica.”
Tidak ada lagi kalimat yang meluncur dari bibir kami berdua, seolah kami sedang menikmati sunyi yang ada di sekeliling kami. Aku tahu ini hanya mimpi, sama seperti sebelumnya. Tapi mimpi seperti ini selalu terasa sangat nyata.
“Aku yakin semua yang kamu alami itu punya hikmahnya masing-masing, Le. Aku yakin semua tidak terjadi secara percuma,” kata Sica pada akhirnya.
“Iya, terima kasih.”
“Kamu lanjut kuliah di mana?”
“UI, jurusan Kedokteran.”
“Wah, keren. Saingannya dari seluruh negeri loh itu.”
“Aku mengambil jurusan tersebut juga karena kau, Sica.”
“Iya, aku paham. Ingin membuktikan diri lebih hebat dari dokter sombong yang waktu itu merawatku, kan?”
Aku menganggukkan kepala.
“Kamu menemukan arah hidupmu setelah kematianku. Pertemuan dengan ayahmu membuatmu dekat dengan Rika. Rika jugalah yang banyak membantumu menguak misteri dari masa lalu orangtuamu. Sedih boleh, tapi jangan berlarut-larut, Le.”
“Aku takut Sica.”
“Takut apa?”
“Aku takut kehilangan Kenji, seperti aku kehilanganmu.”
Sica terdiam mendengar kalimatku. Ia membuang pandangannya dan memain-mainkan kakinya.
“Umur enggak ada yang tahu, Le. Udah diatur sama Tuhan.”
Mendengar kalimat itu, aku menutup mukaku dengan kedua tangan. Aku kembali menangis, kali ini lebih keras. Sica berusaha menenangkan diriku dengan memegang pundakku.
“Takut kehilangan itu sangat manusiawi kok, Le. Apalagi hubunganmu dengan Kenji sudah seperti keluarga sendiri. Percaya semua akan baik-baik aja. Apapun yang terjadi, itu yang terbaik untukmu.”
Pegangan Sica tiba-tiba tak terasa. Ketika aku mengangkat kepalaku, aku melihatnya mulai memudar seperti yang terjadi pada ibu waktu itu. Sica akan lenyap dari hadapanku dan aku akan kembali ke dunia nyata.
“Aku setuju kamu sama Rika, Le. Kalian berdua cocok satu sama lain karena bisa saling melengkapi,” kata Sica sebelum benar-benar menghilang. Setelah itu, semuanya gelap.
***
Hari demi hari berlalu dengan cepat, hingga tak terasa hari keberangkatanku ke Jakarta telah tiba. Selama itu pula, Kenji masih berada di rumah sakit tanpa tahu kapan bisa keluar. Kasus yang sedang diusut Zane mengalami perkembangan yang lambat. Hanya ada beberapa nama yang mulai diselidiki, sedangkan Wijaya benar-benar tak tersentuh. Aku mulai merasa kalau penyelidikan yang selama ini kulakukan menjadi percuma, meskipun aku jadi mengetahui banyak cerita tentang orangtuaku.
Aku menyetujui usul paman, Gisel akan kembali tinggal bersama ayah selama aku studi di Jakarta. Kemarin, ia datang membawa satu tas koper yang berisikan barang pribadinya.
“Besok kita semua akan antar kamu ke bandara ya, Le. Nanti di Jakarta ada teman paman yang bakal jemput kamu dan untuk sementara kamu tinggal di rumahnya. Enggak usah merasa sungkan, teman paman itu udah kayak saudara sendiri,” kata paman kemarin sore sewaktu kami berkumpul di ruang keluarga. Ayah juga ada di sana, wajahnya tak sesuram biasanya. Justru Gisel yang terus memasang wajah murung, membayangkan dirinya akan berpisah dengan kakak tersayangnya.
Aku sadar kalau aku butuh bicara dengan Gisel empat mata. Malamnya, aku datang ke kamarnya. Ia sedang meringkuk di atas tempat tidur, tapi aku tahu ia tidak bisa tidur. Aku pun duduk di dekatnya.
“Gisel, besok kakak berangkat ya. Gisel jaga diri sama ayah. Kalau ada apa-apa, jangan ragu buat telepon kakak.”
Tidak ada tanggapan dari Gisel.
“Kakak tahu Gisel pasti sedih karena harus pisah sama kakak untuk waktu yang lama, tapi Gisel harus percaya kalau kakak pasti kembali untuk Gisel.”
Masih belum ada tanggapan.
“Gisel, kakak makin enggak tega buat ninggal kamu kalau kamu terus kayak gini. Kakak butuh Gisel melepas kakak dengan ikhlas. Kakak enggak bakal bisa fokus belajar kalau Gisel seperti ini.”
Akhirnya Gisel bangun dan menatap wajahku. Ternyata, dari tadi air mata mengalir di pipinya tanpa suara. Melihat itu, aku segera merangkul Gisel dan melepaskan segala bentuk emosi yang ada di dalam diriku. Gisel tetap tidak memberikan tanggapan apapun, tapi aku mengerti kalau ia pelan-pelan berusaha melepas kepergianku.
***
Keesokan paginya, aku mendapatkan kejutan. Semua teman kelasku, kecuali Kenji yang masih di rumah sakit, datang berkunjung. Ternyata mereka semua ingin memberikan semacam salam perpisahan. Aku pun meminta mereka untuk masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, kami bercerita banyak sekali hal. Mereka berusaha membuat suasana tetap ceria meskipun di dalam hati ada perasaan sedih yang sedang disembunyikan. Hanya Rika yang dari tadi diam walau sesekali berusaha membuat senyum di bibirnya.
“Rika,” panggilku ketika yang lain sedang asyik bercanda. Kebetulan, ia duduk di sebelahku.
“Iya Le.”
“Jangan sedih ya, kita masih bisa sering kontakan kok. Kita pasti akan ketemu lagi.”
“Iya Le.”
Aku pun membelai lembut rambutnya. Tangis yang berusaha ia tahan dari tadi akhirnya tumpah. Teman-teman lain seperti Rena dan Sarah berusaha menenangkan Rika. Sama seperti Gisel, aku juga sangat berat meninggalkan Rika, wanita hebat yang selama ini telah sabar berada di sisiku melewati berbagai macam ujian yang kuhadapi.
***
Diantar oleh paman, aku menjenguk Kenji untuk terakhir kalinya sebelum berangkat ke bandara. Aku harus berpamitan dengan kawan terbaikku itu.
“Kenji, gimana kondisimu?” tanya paman yang baru kali ini menjenguknya.
“Makin hari makin baik kok paman, terima kasih,” jawab Kenji dengan ceria seperti biasa.
“Hari ini Leon berangkat ke Jakarta, jadi dia mau pamitan sama kamu.”
Setelah itu. paman meninggalkan kami berdua. Aku mengambil posisi duduk di sebelahnya. Wajahnya terlihat sangat tegar, meskipun aku tahu ia juga merasa berat harus berpisah denganku untuk jangka waktu yang lama.
“Sudah waktunya ya, Le?”
“Iya Kenji.”
“Sukses terus ya, semoga kamu bisa menyelesaikan studi dengan cepat. Tahu sendiri kan kalau jurusan Kedokteran menjadi salah satu yang paling sulit untuk lulus? Tapi dengan kemampuanmu, aku yakin kamu bisa lulus cepat.”
“Iya Kenji, terima kasih.”
“Waktu berlalu begitu cepat ya. Kayaknya baru kemarin aku menyapamu di hari pertama MOS. Sekarang kita semua udah lulus dan akan berusaha menggapai impiannya masing-masing. Aku pengen cepet-cepet keluar dari rumah sakit, pengen segera mulai bikin tempat kursus! Hahaha.”
“Iya Kenji, semoga lekas sembuh dan bisa beraktivitas seperti biasa.”
Setelah itu, hening menghampiri kami. Aku sadar dari tadi, Kenji sedang mengenakan topeng untuk menyembunyikan perasaannya. Meskipun wajahnya terlihat ceria, ada campuran antara perasaan cemas dan takut di dalam hatinya. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
“Kau harus melihatku berhasil menjadi dokter, Ken. Harus,” kataku pada akhirnya.
“Semoga Le, aku pun ingin melihat kamu di puncak kesuksesan. Wah, aku sudah bisa membayangkan kamu mengenakan pakaian dokter, pasti terlihat keren. Sungguh Le, aku ingin melihatnya.”
Lagi-lagi air mataku menetes begitu saja. Perpisahan dengan Kenji ini entah mengapa terasa begitu berat. Ada banyak sekali yang ingin kusampaikan kepadanya, dan mungkin ini kesempatan terakhirku sebelum aku pergi merantau.
“Aku ingin berterima kasih untuk semuanya, Ken. Entah berapa banyak jasamu di dalam kehidupanku. Kau sudah mengeluarkanku dari neraka itu dan menuntunku menjalani hidup yang lebih baik. Aku benar-benar berhutang banyak padamu, dan aku belum pernah sempat membayar hutang tersebut.”
“Ah, jangan dipikirkan Le. Yang namanya saudara memang seperti itu, bukan? Aku sama sekali tidak pernah mengharapkan timbal balik dalam bentuk apapun Le, kamu pun sudah banyak membantuku. Kamu sudah membuatku merasa memiliki keluarga, kamu membuatku tahu lebih banyak tentang ibuku. Jadi, anggap aja kita impas, ya?”
Aku menganggukkan kepala. Lantas, paman kembali masuk ke dalam ruangan dan memberitahuku kalau sebentar lagi waktunya berangkat. Aku menarik napas panjang dan bangkit dari kursiku. Aku menggenggam tangan Kenji dengan kedua tanganku.
“Kenji, aku berangkat ke Jakarta. Semoga kau lekas sembuh dan bisa memulai impianmu membuka tempat kursus. Aku yakin, kau akan melihatku menjadi seorang dokter yang handal. Aku ingin kau percaya denganku.”
“Aku selalu percaya kamu kok, Leon,” kata Kenji sambil memberikan senyuman khasnya, senyum terakhir yang aku lihat dari dirinya.
***
Tiga minggu kemudian, di saat aku disibukkan dengan berbagai kegiatan OSPEK kampus, aku mendengar kabar kalau Kenji, sahabat sekaligus saudara terbaikku, pergi untuk selamanya.
-
Film & Serial4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Menonton Deadpool & Wolverine
-
Film & Serial3 bulan ago
Gara-Gara Black Myth: Wukong, Saya Jadi Rewatch Kera Sakti
-
Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #22: Chinatown
-
Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Teruslah Bodoh Jangan Pintar
-
Politik & Negara4 bulan ago
Peringatan Darurat: Apa Memang Sedarurat Itu Situasi Politik Saat Ini?
-
Non-Fiksi3 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Ngomongin Uang
-
Olahraga5 bulan ago
Kemenangan Perdana yang Awkward Bagi Oscar Piastri di Formula 1
-
Musik3 bulan ago
Menatap Era Baru Linkin Park Bersama Emily Armstrong