Distopia Bagi Kia
Bagian 5 Kota Tua Jakarta
Barang yang dipandang oleh Kia sewaktu bangun tidur adalah sebuah kotak kecil yang berada di atas meja belajarnya. Setelah kepergian orangtuanya kemarin malam, salah satu pelayan rumahnya memberitahu bahwa mereka menemukan sebuah kotak kecil di ruang keluarga. Rupanya orangtua Kia lupa memberikan hadiah tersebut ke Kia secara langsung, mungkin karena kepergian mereka yang serba mendadak. Kia menerima kotak tersebut tanpa ekspresi dan memutuskan untuk tidak membukanya langsung.
Walaupun tidak merasa senang dengan hadiah tersebut, Kia tetap merasa penasaran apa yang ada di dalam kotak berwarna merah muda tersebut. Kemarin perasaannya masih campur aduk sehingga ia bisa membuang rasa penasaran tersebut, namun pagi ini ia sudah merasa lebih tenang. Kia berdiri dari tempat tidurnya dan memutuskan untuk membuka bingkisan tersebut, melepas pitanya yang berwarna merah darah.
Isinya adalah sebuah gantungan kunci berbentuk kucing. Meskipun bentuknya kecil, Kia yakin bahwa barang ini lebih mahal dari penghasilan kakek tua dalam satu minggu yang ia temui tempo hari di jalan raya. Kia tidak tahu mengapa ia tiba-tiba teringat kepada kakek tersebut. Senyum tulusnya sewaktu menerima roti pemberian Kia masih terngiang di kepalanya. Ia begitu bahagia sewaktu menerima sebungkus roti yang harganya tidak seberapa. Lantas, mengapa dirinya tidak bahagia sewaktu mendapatkan hadiah dari orangtuanya yang mahal ini?
“Karena kebahagiaan bukan diukur dari materi.” ujar Kia menjawab pertanyaannya sendiri di dalam hati.
Kia memutuskan untuk menggunakan gantungan tersebut di tasnya. Ia menerka apa tujuan orangtuanya, lebih tepatnya mama karena papa tidak akan memikirkan hal-hal seperti itu, membelikan dirinya hadiah berbentuk kucing. Apakah karena mamanya tahu bahwa dirinya menginginkan seekor binatang peliharaan namun tidak mendapatkan ijin, sehingga sebagai gantinya ia mendapatkan gantungan lucu ini? Kia merasa jawaban tersebut tidak tepat karena bagaimanapun makhluk hidup tidak akan bisa digantikan dengan benda mati.
Sayang Kia tidak cukup teliti memeriksa kotak tersebut. Padahal, di dasarnya terdapat sepucuk surat ucapan selamat ulang tahun dari mamanya. Surat tersebut dilipat sedemikian rupa hingga seukuran luas dari alas kotak, seolah-olah memang menjadi bagian dari kotak. Kia tidak menyadari hal ini dan ia membuang kotak tersebut begitu saja.
Setelah cukup lama termenung memandangi gantungan yang telah terpasang di resleting depan tasnya, Kia beranjak dari duduknya dan mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah. Di dalam hatinya, ia berharap gantungan kunci ini akan membawa keberuntungan bagi dirinya.
***
Pelajaran sejarah hari ini mengharuskan satu kelas membantuk lima kelompok yang terdiri dari empat anggota. Kia selalu membenci tugas yang dikerjakan secara berkelompok. Pertama, ia lebih suka mengerjakan tugas sendiri. Kedua, teman-temannya seringkali memanfaatkan Kia untuk mengerjakan tugas tersebut. Kia yang pada dasarnya kurang bisa berkomunikasi dengan orang lain, tidak bisa mengajukan protes dan memilih untuk mengerjakannya sendiri. Bantuan yang diberikan teman-temannya seringkali tidak lebih dari membuat sampul atau sekedar mencetak laporan. Sebenarnya banyak siswa rajin dan pandai di kelas Kia, hanya saja para guru sering memisahkan mereka agar komposisi kelompoknya seimbang.
Hari itu, Kia harus berkelompok dengan tiga orang perempuan yang terkenal sebagai bintang sekolah karena kecantikan mereka. Hanya kecantikan fisik saja, karena di dalamnya sama sekali tidak berisi. Mereka bertiga sangat malas, tidak ada kemauan kuat untuk belajar, dan hanya mementingkan reputasi di mata orang lain. Kekayaan orangtua mereka berhasil membuat mereka terbuai sehingga mereka cenderung berbuat seenaknya.
Harapan Kia untuk mendapatkan keberuntungan sirna sudah. Ketiga wanita tersebut memang selalu meminta Kia bergabung dengan kelompoknya apabila guru memerintahkan siswanya untuk membentuk kelompok sendiri. Seingat Kia, begitu memasuki kelas sebelas ini, dirinya sudah sering diajak bergabung apabila terdapat tugas kelompok, meskipun ia tak pernah merasa mengiyakan ajakan mereka. Sebenarnya Kia sadar bahwa dirinya sudah dimanfaatkan, namun ia memutuskan untuk pasrah menerimanya. Yang bisa ia lakukan hanya mengerjakan tugas sebaik mungkin, bahkan tanpa bantuan mereka sekalipun.
“Hei Kia, seperti biasa, kita satu kelompok ya.” ujar Melissa, yang seringkali dianggap sebagai ketua dari trio tersebut.
“Iya.” jawab Kia pendek seperti biasa.
“Tugasnya parah nih, masa kita disuruh cari lokasi-lokasi bersejarah di Jakarta. Gila, masa gue disuruh panas-panasan. Kalau tempat bersejarahnya ada di mall sih gue mau-mau aja.” tambah Cindy yang berambut pendek.
“Iya nih, lu mau enggak Zas yang pergi ngumpulin data? Entar kita bantuin ngerjain laporannya.” giliran Enza yang gemar memakai bando dengan harapan menambah keimutan dirinya.
Kia suka dengan tempat bersejarah. Museum adalah tempat favoritnya jika mendapatkan ijin untuk jalan-jalan, yang sayangnya jarang ia dapatkan. Akan tetapi, jika kondisinya seperti ini, tentu ia merasa sedikit jengkel. Kira-kira sama dengan perintah papanya agar ia berlatih piano, dipaksa melakukan sesuatu yang ia senangi dengan tujuan menyenangkan yang memberi perintah, bukan demi kebahagiaan dirinya.
“Eh kok lu enggak jawab sih Zas, kalo keberatan ngomong dong.” kata Melissa dengan nada meninggi. Kia menyadari bahwa pertanyaan tersebut ditujukan untuk mengintimidasi dirinya. Kia tidak takut dengan gertakan seperti itu, hanya saja ia memilih untuk menghindari konflik sejauh mungkin.
“Iya enggak apa-apa.”
“Nah gitu dong. Seneng deh punya temen kayak loe.”
Teman? Kia hanya bisa tertawa kecil di dalam hatinya. Sampai kapanpun, mereka tidak akan pernah menganggap Kia sebagai teman. Di mata mereka, Kia adalah sebuah pion yang bisa mereka manfaatkan untuk bersantai dan tetap mendapatkan nilai bagus. Kia menyadari itu semua, Kia tidak bodoh. Kia hanya terlalu lemah untuk bisa memberikan perlawanan. Ia terbiasa untuk diam dan menerima segala bentuk perintah, dari siapapun.
***
Kia adalah tipe siswa yang tidak suka menunda-nunda untuk mengerjakan tugas sekolah. Oleh karena itu, sepulang sekolah ia minta pak Tejo untuk mengantar dirinya ke kawasan kota tua Jakarta. Kia sudah pernah ke sana, dan ia merasa yakin bisa menemukan bahan risetnya di sana. Baginya, tugas kali ini bisa membuat dirinya lepas dari kepenatan rutinitas harian. Satu-satunya yang mengganjal pada diri Kia sekarang adalah bagaimana cara meyakinkan pak Tejo agar tidak mengikuti dirinya sepanjang ia menelusuri museum.
“Pak, antar Kia ke kota tua ya, ada tugas dari guru.” pinta Kia sewaktu dirinya telah berada di dalam mobil.
“Eh, saya telepon papa dulu ya.” jawab pak Tejo sambil melihat bayangan Kia pada spion tengah.
“Enggak usah pak, kan kalau buat tugas sekolah papa enggak pernah ngelarang.”
“Kalau gitu saya ikut masuk ke dalam museum ya non.”
“Jangan pak, saya enggak bisa fokus kalau ada orang lain.”
“Tapi non..”
“Udahlah pak, percaya sama Kia.”
Baru kali ini Kia bisa setegas itu kepada orang lain. Bayangan akan kebebasan di tempat favoritnya untuk waktu yang sebentar memberinya kekuatan untuk itu. Pak Tejo pun sedikit terkejut melihat anak majikannya yang penurut tiba-tiba bisa memberi perintah selugas itu. Sebagai supir, tentu beliau tidak berani menentang tuannya meskipun hanya gadis yang baru berusia 17 tahun. Pak Tejo akan tetap menghubungi pak Labdajaya setelah mereka sampai di lokasi, dengan segala resiko dimarahinya.
Perjalanan ke Kota Tua tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama, hanya sekitar 30 menit melalui jalan tol. Kia terlihat antusias melihat banyaknya bangunan kuno peninggalan Belanda. Ia berusaha mencari informasi tentang sejarah kawasan ini di dalam benaknya. Seingatnya, kompleks ini merupakan pusat pemerintahan VOC ketika Belanda datang untuk menjajah Indonesia. Letaknya yang dekat dengan pelabuhan memiliki andil dalam pemilihan tempat tersebut.
Pak Tejo nampak sedikit kesulitan menemukan tempat parkir yang pas untuk mobilnya. Beberapa orang mulai melirik mobil yang ia kendarai. Terang saja, karena tidak setiap hari ada sebuah mobil mewah yang terlihat ingin mencari parkir di kawasan tersebut. Setelah satu kali memutari kawasan tersebut, akhirnya pak Tejo menemukan tempat parkir yang pas, di dekat salah satu museum bank. Kia sudah menentukan tujuannya, Museum Sejarah Jakarta. Sebenarnya Kia ingin menjelajahi satu per satu museum yang ada di sana, hanya saja hari yang sudah sore membatasi keinginannya tersebut. Kia harus bergegas, atau museum akan segera tutup.
Didampingi pak Tejo, Kia berjalan kaki menuju destinasinya. Matanya berkeliaran memandangi bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya. Karena hari ini hari kerja, maka tidak banyak pengunjung di kawasan kota Tua. Kia membayangkan betapa penuhnya area ini jika weekend. Tentu keramaian tersebut akan membuat Kia merasa tidak nyaman. Ia akan berdesak-desakan dengan orang-orang yang tidak ia kenal, sehingga ia juga tidak bisa santai memandangi panorama yang terbentang di kanan kirinya.
“Non, biarkan bapak ikut masuk museum ya, bapak janji enggak akan ngganggu non.” pinta pak Tejo dengan sedikit panik, karena usahanya untuk menghubungi pak Labdajaya belum berhasil.
“Enggak usah pak, Kia udah gede, enggak perlu didampingi segala.”
“Tapi non, nanti kalau nona kenapa-napa saya bisa dipecat sama papa.”
“Enggak pak, tenang aja, Kia udah 17 tahun lo.”
Kehabisan bahan untuk berargumentasi, pak Tejo memutuskan untuk pasrah mengikuti keinginan nona muda ini. Ia sebenarnya bisa memahami perasaan Kia yang sering merasa terkekang. Terkadang ia iba terhadap Kia yang harus menjalani hidup layaknya robot. Namun bagaimanapun, yang menggaji dirinya adalah tuan besar Labdajaya dengan nominal yang lebih besar dari gaji supir rata-rata, sehingga ia harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Ia harus bisa melaksanakan perintah untuk menjaga Kia sebaik mungkin.
Begitu membeli tiket yang harganya begitu murah, Kia mulai menjelajahi ruang ke ruang. Setiap ada informasi menarik tentang sejarah yang terpampang di tembok, ia akan membacanya sampai tuntas. Jika ada pak Tejo di sampingnya, Kia tidak aka bisa tenang membaca karena merasa diawasi. Kebebasan kecil seperti inilah yang selalu didambakan oleh Kia. Kebebasan untuk melakukan apa yang ia inginkan tanpa ada orang lain di dekatnya.
Selain informasi sejarah, museum ini juga menyediakan beberapa diorama tentang suasana Jakarta ketika masih bernama Batavia, di bawah pemerintahan Belanda. Terlihat perlawanan pribumi melawan penjajah. Kia mengamati diorama tersebut dengan begitu detail dan mengabadikannnya melalui ponselnya. Tentu tak lupa ia mencatat informasi-informasi penting yang berguna untuk laporannya. Puas menjelajahi lantai pertama, Kia melanjutkan pengamatannya ke lantai dua.
Di lantai dua, tidak begitu banyak informasi yang bisa Kia tambahkan. Lantai tersebut hanya berisikan perabot-perabot kuno dan beberapa lukisan orang Belanda. Kia menyukai barang-barang antik, meskipun ia tidak ingin kamarnya didekorasi dengan perabot yang dipajang di museum tersebut. Kia terus menelusuri dari ruangan ke ruangan, hingga ia menemukan sebuah cermin raksasa yang bisa memantulkan bayangannya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Meskipun sudah melintasi entah berapa dekade, cermin tersebut masih berfungsi dengan baik meskipun sudah sedikit buram. Kia masih bisa melihat dirinya di cermin tersebut. Ia bisa melihat ekspresi dirinya yang sedang antusias, sesuatu yang jarang ia lihat. Cermin tersebut membuat kebahagiannya sedikit berkurang, karena membuatnya teringat bahwa setelah ini ia akan menjalani hidup yang terkekang seperti biasa. Kebahagiaan sesaat ini hanya sementara, bahkan tak sampai satu jam lamanya. Seolah sekarang ia memasuki dunia fantasi yang berbatas waktu.
“Cermin ini dulu digunakan oleh nyonya-nyonya Belanda untuk berias sebelum menghadiri acara-acara penting.”
Kia tersentak karena tiba-tiba mendengar suara seseorang di sampingnya. Begitu ia menoleh ke sumber suara, nampak seorang kakek tua sedang mengamati cermin itu sebagaimana dirinya, meskipun dari samping sehingga bayangannya tidak nampak oleh Kia. Sewaktu memperhatikan dengan seksama, ternyata kakek tersebut adalah kakek yang tempo hari mendapatkan roti dari Kia.
“Kakek yang waktu itu narik gerobak kan?” tanya Kia takut-takut. Sejak kecil, ia sudah diajari untuk tidak bicara dengan orang yang tak dikenal.
“Hahaha, kamu masih ingat ya. Terima kasih ya nak, kebetulan waktu itu kakek memang belum makan.”
Kia kembali mengamati kakek tersebut. Penampilannya sekarang tidak selusuh waktu mereka bertemu untuk pertama kali. Sang kakek terlihat bersih dan rapi, dengan pakaian yang mirip dengan pakaian veteran. Apakah kakek ini adalah seorang mantan tentara sewaktu Indonesia berperang melawan Belanda?
“Maaf kek, apa kakek dulu seorang tentara?”
“Ah, itu tidak penting nak. Yang penting sekarang adalah kamu.”
“Aku?” tanya Kia kebingungan, tidak memahami maksud kakek tersebut.
“Iya, kakek tahu kamu sering merasa kesepian dan terkekang oleh keluargamu. Kakek ingin berterimakasih kepadamu atas kebaikan yang telah kamu lakukan.”
Kia mulai sedikit merasa takut dengan kakek tersebut karena bisa menebak apa yang terjadi pada dirinya. Perlahan-lahan ia mulai melangkah mundur. Kia melihat sekitar, tidak ada siapapun yang bisa ia mintai tolong. Pak Tejo mungkin akan mendengar suaranya apabila ia teriak, tapi Kia masih menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Tidak usah takut nak, kakek sama sekali tidak berniat buruk ke kamu.”
“Lalu, apa mau kakek?”
Kakek tersebut membalik badannya agar menghadap Kia. Cahaya matahari tipis masuk ke dalam ruangan tersebut, senja akan tiba sesaat lagi. Dengan tersenyum ramah, ia menjawab pertanyaan Kia.
“Mengabulkan keinginan nak Kia untuk bisa hidup bebas.”
Distopia Bagi Kia
Epilog: Sebuah Novel Untuknya
“Selamat ya, akhirnya novel perdanamu selesai.” kata Voni, salah seorang kenalan Rika di penerbit.
“Iya, terima kasih banyak ya buat bantuannya.” jawab Rika sambil tersenyum puas seolah sedang melihat anak pertamanya.
Rika menerima salah satu sampel novel yang sudah ditulisnya selama bertahun-tahun tersebut. Novel tersebut sudah ia tulis sejak ia duduk di kelas akselerasi dan mulai tinggal bersama Sarah. Karena berbagai hal, barulah novel ini jadi sekarang. Ia masih tak percaya bahwa akhirnya ia bisa mewujudkan impiannya sejak kecil, menulis sebuah novel dan menerbitkannya. Dulu ia sering diejek karena sering mencampuradukkan fantasi dan dunia nyata, namun lihatlah sekarang. Ia memberi judul novelnya Distopia Bagi Kia.
“Omong-omong, kenapa judulnya seperti itu? Jarang loh ada orang yang tahu apa arti distopia.” tanya Voni dengan penasaran.
“Hehehe, panjang deh ceritanya Von.”
Novel ini memang terinspirasi dari kisahnya sendiri yang memiliki masa lalu suram. Ia harus tinggal bersama orang yang sangat sering menyiksanya. Hal itu membuatnya merasa berada di sebuah distopia, di neraka dunia. Untunglah, ia bertemu dengan teman-teman yang baik, yang mau membantunya keluar dari permasalahan tersebut. Novel ini ia dedikasikan untuk teman-temannya.
Rika jadi teringat dengan Sarah. Awalnya, ia berniat untuk menggunakan kehidupannya sendiri sebagai latar belakang cerita. Akan tetapi setelah ditimbang-timbang, novelnya akan menjadi sangat suram. Ia pun mendapatkan ilham ketika mendengarkan cerita Sarah mengenai perasaan kesepiannya karena kesibukan orangtuanya. Maka, ia meminta izin ke saudara angkatnya tersebut untuk mengangkat kisahnya tersebut ke dalam novelnya. Sarah mengiyakannya tanpa perlu berpikir panjang. Setelah itu, imajinasi Rika lah yang menciptakan karakter-karakter lain, termasuk dunia cermin yang sangat berbau fantasi.
“Jadi, novel terbitan pertama ini mau kamu simpan sendiri atau mau kamu kasih ke seseorang spesial nih?” lagi-lagi Voni melontarkan pertanyaan.
“Aku udah janji ke seseorang buat ngasih buku perdanaku ke seseorang, jadi rasanya bakal aku kasih ke dia.”
“Cie, pacarmu ya?”
Rika hanya bisa tersenyum canggung. Tidak, ia tak pernah pacaran seumur hidupnya. Setidaknya, ia tak pernah peduli dengan hal tersebut. Baginya, ada orang yang mencintainya dengan sepenuh hati saja sudah lebih dari cukup. Kalau memang berjodoh, toh nantinya mereka akan berakhir di pelaminan. Rika sudah sering membayangkan hal tersebut, mengingat usianya sudah menginjak kepala dua. Akan tetapi, ia tak ingin terburu-buru. Biarlah ia menunggu sampai laki-laki tersebut melamarnya setelah menyelesaikan segala urusannya.
“Ya udah, aku balik dulu ya Von, sekali lagi terima kasih.” Rika memeluk temannya tersebut, lantas berbalik dan melangkah ke luar gedung.
Di luar sedikit gerimis, namun Rika membawa sebuah payung. Maka dengan perasaan riang gembira, ia melangkahkan kaki dengan ringan. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Selalu tampak ceria memang sudah menjadi sifatnya. Bedanya, ia tak pernah berpura-pura ceria untuk menutupi lukanya sekarang. Keceriaan yang ia tampakkan sekarang adalah keceriaan yang jujur.
“Leon, terima kasih untuk semuanya ya, novel pertamaku ini buat kamu.” gumam Rika kepada dirinya sendiri, sambil menatap langit yang kelabu.
TAMAT
Catatan dari Penulis
Penulis tersenyum lega setelah berhasil menyelesaikan novel Distopia Bagi Kia yang satu ini. Dibandingkan dengan novel Leon dan Kenji yang butuh bertahun-tahun, novel ini termasuk cepat proses penulisannya. Penulis memulai menggarap novel ini pada bulan Oktober tahun 2018, sehingga pengerjaan novel ini membutuhkan waktu satu tahun. Seperti yang sudah penulis sebutkan dulu sekali, novel ini terinspirasi dari imajinasi Ayu. Novel ini tidak akan lahir tanpa fantasinya yang luar biasa. Jadi, novel ini penulis dedikasikan untuknya.
Awalnya, penulis ingin rutin menulis setiap minggu satu bagian Distopia Bagi Kia dan satu bagian Leon dan Kenji (Buku 2). Setelah dijalani, ternyata berat sekali. Akhirnya, blog pun terpengaruh dan sering absen menulis. Akhirnya, penulis memutuskan untuk menunda dulu novel Leon dan Kenji dan berfokus untuk menamatkan novel ini terlebih dahulu.
Yang menyenangkan dari menulis novel ini adalah penggunaan sudut pandang ketiga yang membebaskan penulis. Alur cerita tidak terpatok hanya dari tokoh utama, kita juga bisa tahu bagaimana cerita berjalan dari karakter-karakter lain. Berbagai ide cerita juga muncul begitu saja ketika sedang mengetik di depan laptop.
Penulis juga belajar membangun karakter-karakter baru. Yang paling penulis dalami tentu saja karakter sang tokoh utama, Kia, yang sering menganggap dirinya merasa tidak berharga. Bisa jadi, ini merupakan jeritan hati penulis yang terkadang juga merasa seperti itu, hahaha.
Di dalam perjalanannya, penulis menonton beberapa anime yang karakternya seperti Kia. Sebut saja Sawako dari anime Kimi Ni Todoke atau Chiziru dari anime ReLife. Bayangan penulis tentang karakter Kia benar-benar tergambarkan oleh mereka. Bahkan, fisiknya yang berambut hitam panjang juga mirip. Padahal, penulis membuat karakter Kia jauh sebelum menonton anime-anime tersebut.
Karena bukan anak orang super kaya, penulis hanya bermodalkan ingatan kepada rumah-rumah orang kaya yang pernah muncul di televisi ataupun reality show. Bahkan, penulis menonton ulasan YouTube tentang mobil Mercedes yang ditumpangi oleh Kia untuk bisa benar-benar merasakan seperti apa berada di dalam mobil tersebut.
Ketika masuk ke dalam dunia cermin, penulis membayangkan lingkungan tempat Pak Kusno tinggal adalah desa tempat rewang penulis tinggal. Tentu, ada penambahan-penambahan tertentu seperti balai RW yang bisa menampung banyak orang dan kamar mandi umum yang digunakan bersama.
Pengalaman di Karang Taruna juga sedikit penulis sisipkan di sini. Alasannya, organisasi pemuda tersebut menjadi jalan termudah untuk Kia agar bisa merasakan yang namanya memiliki teman. Ketika berada di dunia tersebut, sangat sulit untuk membuat Kia bersekolah karena kondisi ekonomi Pak Kusno. Oleh karena itu, dibutuhkan wadah lain agar Kia bisa berinteraksi dengan orang lain. Apalagi, di sana ia menemukan bakatnya: mengajar.
Klimaks dari novel ini adalah ketika ada pihak-pihak yang ingin menyingkirkan Kia. Berbagai motif tersedia untuk mengusir Kia dari kampung dan mereka berhasil. Kia harus mengalami pengalaman pahit ketika harga dirinya hendak dijual, sebelum mengetahui bahwa itu semua merupakan rencana sang kakek untuk menyelamatkannya. Awalnya, penulis ingin mengakhiri novel ini di sini, namun penulis rasa apa yang Kia alami belum banyak membuatnya berubah.
Alhasil, ketika Kia kembali ke dunianya, ia menyadari bahwa hilangnya dirinya membawa dampak yang buruk. Mamanya meninggal dunia dan papanya kehilangan kewarasan. Ia yang tak tahu arah pun harus berakhir di panti asuhan. Di sana, ia baru menemukan betapa berharganya memiliki orangtua yang lengkap. Kia merenungi segala hal yang terjadi padanya dan berharap diberikan kesempatan kedua. Penulis mengabulkan keinginannya tersebut.
Dua bagian terakhir novel ini merupakan bagian yang membuat penulis sangat bersemangat. Kia memiliki kesempatan untuk memperbaiki segala kesalahan yang telah ia buat. Ia telah banyak berubah dan menjadi pribadi yang lebih hangat, berani mengungkapkan perasaan, dan menyadari apa yang ada di pikirannya selama ini tidak benar. Banyak orang yang menyayanginya.
Lantas, timejump pun terjadi dan Kia telah menjadi wanita dewasa. Melihat karakter yang dibuat sendiri telah berkembang sedemikian rupa bisa menimbulkan efek haru kepada penulis. Lucu memang, penulis akui hal tersebut.
Penulis membuat novel ini seolah-olah merupakan novel buatan Rika, salah satu karakter dari novel Leon dan Kenji. Alasannya, penulis ingin membuat semacam universe sendiri. Salah satu cara yang bisa penulis lakukan untuk menghubungkan novel ini dengan novel Leon dan Kenji adalah menjadikannya sebagai novel ciptaan Rika yang memang gemar menulis novel.
Setelah nanti novel Leon dan Kenji tamat, penulis sudah merencanakan untuk menulis dua atau tiga novel yang juga masih berkaitan dengan novel-novel yang sudah penulis tulis. Yang sudah ada konsep idenya adalah sebuah novel dengan Rika sebagai karakter utamanya. Sebelum itu, penulis harus segera menyelesaikan novel Leon dan Kenji (Buku 2). Jika tidak ada halangan dan tetap berisikan 50 chapter sesuai rencana, maka kemungkinan novel ini akan tamat pada lebaran tahun depan. Masih panjang memang, tapi penulis yakin bisa menyelesaikannya.
Terakhir, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang sudah menyempatkan diri untuk membaca novel buatan penulis yang satu ini. Tak peduli seberapa sedikitpun yang membaca, hal tersebut sudah cukup untuk penulis jadikan energi dalam menulis novel ini.
Distopia Bagi Kia
Bagian 30 10 Tahun Kemudian
“Aqila, tolong bantu ambilkan handphone kakak di kasur, dong.” ujar Kia yang sedang sibuk merias diri di depan cermin. Posisinya yang sedang menggambar alis membuatnya tak bisa beranjak dari tempat duduknya. Untunglah, adik angkatnya Aqila sedang berada di kamarnya.
“Ini kak, mau ke mana sih?” tanya Aqila sambil menyerakan ponsel kakaknya. Ia jarang melihat kakaknya merias diri di depan cermin. Artinya, kakaknya ini akan menghadiri sebuah acara penting bagi hidupnya.
“Mau meresmikan impian kakak semenjak sekolah. Mumpung sudah lulus kuliah, kakak punya sedikit waktu senggang sebelum masuk ke perusahaan papa. Kamu sih diajakin enggak mau.”
“Ih, Aqila kan ada les main biola. Bulan depan papa mau ada acara keluarga di sini, dan kakak tahu sendiri gimana papa. Selalu ingin membanggakan anak-anaknya.”
“Hehehe, gantian, dulu kakak juga sering banget les piano sampai jari-jarinya kakak keriting. Untung kamu punya bakat main biola, kalau enggak mungkin kamu disuruh mainin gendang!”
“Ih, kakak nakal!” kata Aqila sambil mencubit-cubit lengan Kia.
Kia tertawa ketika melihat ekspresi kesal yang ada di wajah Aqila. Adiknya ini telah menjadi gadis remaja cantik berusia 15 tahun. Dirinya sendiri telah berusia 27 tahun, telah menyandang gelar PHD bidang manajemen bisnis di salah satu kampus terbaik dunia untuk bidang tersebut. Dengan kemampuan otaknya yang cerdas, Kia bisa menembus ketatnya persaingan di sana, melawan mahasiswa-mahasiswa dari seluruh dunia yang juga mengincar gelar serupa.
Setelah lulus dengan waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan teman-teman kuliahnya, ia memutuskan untuk pulang agar bisa membantu papanya yang sudah menunjukkan isyarat akan segera pensiun. Dulu, tak pernah terbayang ia akan masuk ke dalam perusahaan papanya. Di dalam benaknya, hal tersebut merupakan neraka tambahan baginya. Namun sekarang pikirang tersebut sudah bisa ia enyahkan. Dengan senang hati ia akan meneruskan pekerjaan papanya, dimulai dari tingkat bawah dan mempelajari semua yang bisa dipelajari.
Meskipun begitu, Kia memiliki impian yang sudah lama ingin ia realisasikan. Baru sekarang lah ia memiliki kesempatan untuk mewujudkan impian tersebut. Ia begitu bahagia dengan semua yang ia alami ini.
Kia mengecek ponselnya dan memeriksa pesan yang masuk. Lima belas menit lagi ia akan datang menjemput dan mengantarnya pergi ke acara penting tersebut.
***
Selesai berdandan, ia segera mencari mamanya yang biasanya sibuk di dapur. Semenjak pensiun dari dunia kerja, Bu Labdajaya sering melakukan eksperimen makanan dan banyak berhasil. Malah, Bu Labdajaya membuka sebuah restoran baru dan laris manis hingga membuka cabang di luar negeri. Bu Labdajaya hanya berperan sebagai pemilik, sehingga tidak terlalu sering meninggalkan rumah. Memang kalau otaknya sudah otak bisnis, apapun bisa menjadi lahan pemasukan.
“Ma, Kia berangkat dulu, ya.” kata Kia ketika menemukan mamanya sedang memegang senampan kue yang baru dikeluarkan dari oven.
“Sarapan dulu, nanti asam lambungmu naik lagi, loh.”
“Udah kok tadi, tenang aja aku bawa obat maag.”
“Dasar kamu, ya. Tapi kamu keliatan cantik banget hari ini.”
“Kan Kia mau ada acara penting.”
“Ada acara penting apa karena mau dijemput sama calon suami?”
Mendengar ucapan mamanya tersebut, Kia langsung tersipu malu. Dirinya belum pernah membicarakan masalah tersebut dengan laki-laki itu, walaupun beberapa kali sudah membayangkan. Di usianya yang sekarang ini, menikah adalah hal yang lumrah. Apalagi, mereka berdua berasal dari keluarga yang mapan sehingga tidak alasan untuk menunda pernikahan.
“Ih mama selalu gitu, Kia kan jadi malu.”
“Ya udah kamu hati-hati. Bilang sama Yoga, jangan mentang-mentang mobilnya canggih terus jadi seenaknya sendiri.”
“Tenang ma, Yoga kalau nyetir pelaaaaaan banget. Kalau ada semut lewat aja dia pasti berhenti dulu, nunggu semutnya lewat.”
“Kamu sayang ya sama Yoga?”
Sekali lagi pertanyaan mendadak dari mamanya membuat Kia merasa serba salah. Meskipun dirinya telah bisa bergaul dengan orang secara lebih baik, ia merasa tetap malu jika ditanya masalah cinta. Ia tak terlalu mengerti hal tersebut dan tak terlalu pandai mengekspresikannya. Wajar jika mamanya sering menggoda Kia.
“Ih mama, Kia enggak suka digoda kayak gitu.”
“Aduh, mama udah ingin gendong cucu nih, Aqila masih 15 tahun lagi, gimana ya caranya biar bisa dapat cucu.” Bu Labdajaya justru semakin menjadi-jadi dalam menggoda Kia.
Tidak ingin digoda lebih lanjut, Kia segera menyalami tangan mamanya yang masih menggunakan sarung tangan masak. Meskipun teknologi dapur sudah semakin canggih, Bu Labdajaya masih lebih suka menggunakan cara-cara tradisional. Katanya, kue dan masakan lebih enak jika prosesnya seperti ini.
Ketika Kia sudah berada di beranda rumah, terlihat Yoga dengan mobil elektriknya telah tiba, nyaris tanpa suara. Yoga memang seseorang yang sangat peduli dengan lingkungan. Ia sering melakukan aksi-aksi sosial untuk mengurangi polusi dan penggunakan bahan bakar fosil. Bahkan, ia sudah memiliki perusahaan yang bergerak di bidang tersebut.
“Pagi Kia, cantik banget hari ini.” sapa Yoga ketika ia keluar dari mobilnya. Semenjak hubungan mereka makin dekat, Yoga tak pernah lagi menggunakan lo gue ketika berbicara dengan Kia.
“Pagi-pagi udah gombal kamu, ya. Ayo deh kita langsung berangkat.”
“Cie cie, pagi-pagi udah pacaran aja.” teriak Aqila dari jendela lantai atas. Seruannya tersebut membuat beberapa orang yang kebetulan sedang berada di dekat sana tertawa kecil.
“Aqilaaa!!!!” Kia berteriak untuk membuat adiknya bungkam, yang justru semakin membuat Aqila tertawa terbahak-bahak.
“Adikmu yang satu itu memang sangat jahil, ya.” celoteh Yoga, sedikit tersipu mendengar teriakan tadi.
“Ya begitulah, padahal waktu pertama kali kenal dulu pendiam.”
“Iya, aku kan kenal lebih dulu dari kamu, pasti tahulah. Syukurlah, nampaknya ia bahagia semenjak tinggal di sini.”
“Iya. Omong-omong, bagaimana kabar Lia?” Kia menanyakan tentang mantan teman sekamarnya di panti asuhan tersebut, meskipun Lia tak ingat pernah tinggal sekamar dengan dirinya.
“Baik kok, dia sudah jadi pengajar di panti, walaupun cara ngajarnya agak nyeleneh.”
“Yah, dari dulu ia memang begitu kok. Tapi Lia baik dan cerdas kok.”
“Kalau enggak gitu ya mana mungkin ia diangkat jadi pengajar. Ya udah, berangkat yuk, takut keburu macet.”
Maka mereka berdua pun melintasi jalanan Jakarta yang sebenarnya sudah tidak terlalu ramai. Selain karena ibu kota telah dipindah, jenis transportasi umum yang tersedia pun makin beragam. Kesadaran masyarakat juga semakin tinggi. Kota ini, kota yang dulu tidak disukai oleh Kia, telah bertransformasi menjadi kota yang begitu ramah lingkungan.
“Pulangnya, mampir ke Kota Tua ya.” kata Kia tiba-tiba.
“Ada apa emangnya?”
“Enggak apa-apa, pengen aja. Emang enggak boleh?”
“Boleh kok, iya nanti kita ke sana.”
Setelah 30 menit perjalanan, Kia dan Yoga telah sampai di tempat tujuan. Sebuah gedung berlantai tiga terlihat baru saja diselesaikan pembangunannya. Kia akan memberikan nama tempat ini Ruang Belajar, sama seperti nama kegiatan mengajarnya ketika berada di dunia cermin tersebut. Bangunan ini akan menyediakan fasilitas gratis bagi siapapun yang ingin belajar, selama menunjukkan keinginan yang kuat. Harta keluarganya lebih dari cukup untuk membuat tempat ini, dan hari inilah peresmiannya.
Kia menjalani beberapa prosesi acara dengan baik, hingga puncak acaranya pemotongan pita. Beberapa orang sejak pagi telah mengantri untuk melakukan pendaftaran. Kia melihat orang-orang yang melakukan pendaftaran tidak sebatas anak-anak usia sekolah. Banyak orang dewasa yang juga ikut mendaftarkan diri untuk mengikuti kegiatan ini.
Kia yang sedang mengamati para calon peserta tiba-tiba terdiam ketika melihat sepasang suami istri sedang ikut berbaris. Kia segera menghampiri mereka untuk memastikan ia tidak salah melihat.
“Pak Kusno dan Bu Imah?” tanya Kia dengan suara yang sedikit bergetar.
“Iya, mbak kok tahu nama kami?” jawab Pak Kusno dengan perasaan sedikit takut karena takut dirinya sudah melakukan hal yang salah.
Kia tak bisa membendung air matanya ketika melihat mereka berdua, meskipun ia tahu Pak Kusno dan Bu Imah tak pernah melihat dirinya. Ia tiba-tiba memeluk mereka berdua dan membuatnya menjadi tontonan orang-orang. Yang dipeluk bingung harus berbuat apa.
“Maaf maaf, bapak dan ibu mirip dengan kenalan saya, kebetulan namanya sama. Bapak dan ibu mau mendaftar di sini, kan? Silakan, semoga kami bisa membantu bapak dan ibu.”
Setelah berkata seperti itu, Kia meninggalkan mereka berdua yang nampak kebingungan. Yoga melihat hal ini dan bertanya kepada Kia apa yang terjadi.
“Enggak apa-apa kok, aku cuma kaget aja waktu lihat mereka. Aku harus pastikan mereka berdua mendapatkan apa yang dibutuhkan selama belajar di sini.” jawab Kia dengan mata yang masih berkaca-kaca.
***
Yoga menepati janjinya dengan mengantar Kia pergi ke Kota Tua seusai acara. Kia sendiri tidak tahu mengapa dirinya ingin pergi ke sana. Perasaannya yang menuntun dirinya pergi ke tempat yang sudah memberikannya banyak hal ketika ia masih gadis berusia 17 tahun. Mungkin, ia ingin berterima kasih kepada tempat tersebut, terutama cermin yang ada di museum tersebut.
Setelah menemukan tempat parkir, Yoga dan Kia berjalan bersama untuk masuk ke dalam Museum Sejarah Jakarta. Ketika berada di lantai dua, Kia segera mencari cermin raksasa yang membuat dirinya bisa masuk ke dunia lain. Anehnya, ia tidak berhasil menemukan cermin tersebut, bahkan setelah mengitari tempat tersebut berkali-kali.
“Yoga, kamu pernah tahu ada cermin antik yang ukurannya besar di museum ini, enggak?” tanya Kia kepada Yoga yang sudah memasang wajah kebingungan.
“Cermin? Seingatku enggak ada deh. Emang kapan kamu terakhir lihat?”
“Sepuluh tahun lalu, sewaktu kita masih SMA. Dulu ada cermin besar gitu, yang bikin…” Kia tak melanjutkan kalimatnya. Hingga hari ini, belum ada yang tahu kisahnya di dunia cermin. Mamanya pernah mendengar cerita tersebut, namun Kia mengatakannya sebagai mimpi.
“Mungkin sudah dipindah? Coba aku tanyain ke petugas museum.”
Yoga pun segera menghampiri salah satu petugas museum yang ada di dekat mereka. Sang petugas segera menjawab pertanyaan tersebut.
“Selama dua puluh tahun kerja di sini, enggak pernah ada cermin neng di sini. Yang ada paling ya lemari, meja, kursi, tapi enggak ada cermin.”
“Tuh Kia, enggak pernah ada cermin di sini.” ujar Yoga menambahkan.
Kia merasa bingung dengan kejadian ini, tapi memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih lanjut. Mungkin, sang kakek tua itulah yang telah membawa cermin itu ke mari, dan sang kakek pula yang membawa cermin itu keluar. Kia pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Sebelum beranjak pergi, ia berkata lirih yang ditujukan kepada museum.
“Terima kasih, karena telah mengeluarkanku dari distopia.”
***
Di belahan dunia lain yang tak seorang pun tahu di mana berada, seorang kakek tua sedang memegang tongkat pancingnya dengan sabar. Tak ada tanda-tanda ikan mau menggigit umpannya. Di sebelahnya, terdapat sebuah cermin ajaib yang mampu berubah wujud dan mengabulkan keinginan pemiliknya. Hanya aja, cermin tersebut hanya bisa digunakan oleh orang-orang yang berhati tulus dan tidak memiliki niatan jahat sama sekali. Tugas sang kakek adalah mencari orang yang membutuhkan bantuannya.
Untuk kasus Kia, perjalanan yang ia lalui memang harus panjang. Keinginannya sederhana, namun Kia tidak menyadari bahwa semuanya bergantung pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia harus mengalami berbagai peristiwa agar dirinya sadar dan permintaannya untuk hidup dengan penuh kasih sayang terkabulkan.
Tali pancing sang kakek tiba-tiba bergetar. Itu merupakan tanda bahwa ada seseorang yang sedang membutuhkannya.
“Ah, kali ini siapa yang akan membutuhkan bantuan cermin ini?”
Distopia Bagi Kia
Bagian 29 Awal yang Baru
Kia terbangun pada pagi hari itu dengan kepala yang sedikit sakit. Tidurnya terasa sama sekali tidak nyenyak. Ia tidak begitu ingat mimpi apa ia semalam, kecuali dirinya seolah sedang tersedot lubang hitam dan menyeretnya dengan kecepatan cahaya. Anehnya, tubuhnya tidak hancur meskipun mendapatkan tekanan yang secara logika akan dengan mudah meluluhlantakkan tubuhnya.
Ketika kesadarannya mulai pulih dan matanya mulai menangkap cahaya yang masuk, Kia baru menyadari keanehan yang terjadi. Ia tidak sedang berada di dalam kamar panti bersama Lia, melainkan di sebuah kamar mewah dengan perabotan yang lengkap. Sepiring makanan lengkap dengan segelas air putih telah tersaji di samping tempat tidurnya.
“I…ini di mana?” tanya Kia kebingungan sembari menoleh ke kanan dan ke kiri.
Beberapa detik kemudian, barulah Kia sadar bahwa dirinya tengah berada di kamarnya sendiri, di rumah keluarga Labdajaya. Kia terkena serangan panik ringan sehingga berusaha mencari pegangan untuk menjaga agar tubuhnya tetap tenang. Tak ada kalimat yang meluncur dari mulutnya. Ia benar-benar bingung dengan apa yang tengah terjadi pada dirinya.
“Apa aku sudah mati?” tanya Kia dalam hati.
Setahu Kia ketika seseorang mati, ia akan mengalami masa penghakiman terlebih dahulu sebelum Tuhan menentukan dirinya masuk neraka atau surga. Akan tetapi, semua ini terasa begitu nyata. Apakah ini mimpi dalam bentuk lain? Apakah sebenarnya masih belum terbangun dari tidurnya?
Kia mencoba untuk mencubit pipinya keras-keras, dan ia sedikit mengaduh karena kesakitan. Ternyata ini bukan mimpi, ini semua kenyataan. Tapi, bagaimana bisa? Jelas-jelas semalam setelah berbicara dengan Aqila, dirinya beranjak ke tempat tidur dan merenungkan banyak hal. Ia bahkan berharap bahwa dirinya diberikan kesempatan ulang untuk memulai semuanya dari awal.
Ataukah harapannya tersebut benar-benar terkabul?
Hal pertama yang melintas di pikiran Kia adalah mencari orang-orang rumah, para pelayan rumah yang selama ini telah setia mengabdi untuk keluarga Labdajaya. Setelah menenggak air putih yang ada di sebelahnya, ia segera keluar dari kamar tersebut dan mencari orang yang bisa ditanya.
“Halo, apakah ada orang di sini? Halooo!” jerit Kia ke sana ke mari, mencari siapapun yang mendengar suaranya. Tak lama kemudian, muncullah pak Budi, kepala rumah tangga keluarga Labdajaya.
“Non Kia? Ada apa pagi-pagi teriak-teriak? Nona sakit?” tanya Pak Budi dengan khawatir. Bagaimana tidak, jika sampai Kia sakit, ia yang harus bertanggung jawab.
“Pak Budi, sekarang tanggal berapa?” tanya Kia kepada Pak Budi dengan tergesa-gesa. Sejak dulu, Kia tidak pernah dekat dengan Pak Budi sehingga pertemuannya ini terasa biasa saja.
Pak Budi pun menyebutkan sebuah tanggal yang ternyata persis hari ulang tahun Kia satu tahun yang lalu, sebelum Kia memutuskan untuk pergi ke dunia cermin. Kia terkejut mendengar hal ini hingga ia terjatuh dalam posisi duduk.
“Non Kia! Pusing, ya? Saya antar ke kamar, ya. Setelah ini, saya panggilkan dokter Andreas langganan kita.” kata Pak Budi sembari berusaha membantu Kia berdiri kembali.
“Enggak apa-apa pak, saya enggak apa-apa. Saya cuma kaget.”
Kia menyadari bahwa dirinya telah kembali ke masa lalu, ke masa ketika semua masih baik-baik saja, ke masa ketika dirinya belum bertemu dengan kakek tua dan masuk ke dalam dunia cermin. Apakah ia bisa kembali ke sini karena bantuan sang kakek? Di mana ia bisa bertemu dengan kakek tersebut sekarang untuk menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi? Sebelum menemukan jawaban tersebut, Kia tahu harus berbuat apa sekarang.
“Maaf Pak Budi, saya kembali ke kamar dulu, ya. Terima kasih.”
Dengan sedikit berlari, Kia segera masuk ke kamar dan mencari ponselnya. Setelah itu, ia mencari nomor mamanya dan segera menghubunginya. Mamanya bisa aja sedang berada di luar negeri atau sedang rapat penting, sehingga ia tidak berharap telepon darinya langsung diangkat.
Namun Kia keliru. Mamanya menjawab telepon tersebut.
“Halo sayang, ada apa? Tumben telepon jam segini? Di sana masih pagi, kan?”
Mendengar suara mamanya, Kia langsung menangis keras-keras. Mamanya pun terdengar kebingungan karena tidak bisa melihat wajah Kia secara langsung.
“Kia sayang, kamu kenapa? Mama video call, ya.”
Jantung Kia berdebar dengan begitu kencangnya. Ia belum siap bertatap muka dengan mamanya. Akan tetapi, ia tidak bisa mengabaikan panggilan video call yang sedang berdering. Ketika ia mengangkat panggilan tersebut, terlihat wajah mamanya yang terlihat khawatir.
“Kenapa sayang, kamu ada masalah? Mama masih di California nemenin papamu, tapi besok lusa mampir Jakarta, kok.”
Kia belum bisa berhenti menangis. Bu Labdajaya juga nampak sabar menunggu Kia bisa bicara dengan baik. Beberapa orang rumah sedang berdiri di ambang kamar pintu, mengamati Kia dari kejauhan. Mereka tidak pernah melihat Kia seemosional ini. Selama ini, kapan pun dalam peristiwa apapun, Kia selalu terlihat memasang wajah datar tanpa ekspresi.
“Ki…Kia kangen sama mama, Kia ingin ketemu sama mama.” ujar Kia setelah bisa menghentikan tangisnya untuk sesaat.
“Iya, mama juga kangen, besok lusa kita ketemu, ya.”
“Kia mau tinggal sama mama, Kia enggak mau ditinggal lagi sama mama.”
Bu Labdajaya tercenung mendengar perkataan Kia ini. Selama ini, Kia tidak pernah protes walaupun harus selalu ditinggal oleh kedua orangtuanya sehingga tidak pernah menyadari perasaan Kia yang seperti ini. Melihat anak semata wayangnya berada dalam kondisi merana, ia pun meneteskan air mata karena merasa bersalah.
“Maaf ya Kia, maafin mama udah terlalu sibuk buat kamu. Nanti mama bicarakan sama papa dulu, ya. Enggak mungkin mama tiba-tiba pensiun dari dunia kerja. Kamu yang sabar, ya. Mama usahakan untuk pulang duluan.”
Kia menganggukkan kepala, lantas mematikan video call tersebut. Setelah itu, ia naik ke atas tempat tidurnya dan kembali menangis. Dari percakapan barusan, Kia bisa melihat apa yang selama ini tidak terlihat: kasih sayang mamanya. Selama ini ia dibutakan oleh pikirannya sendiri sehingga tidak bisa melihat hal tersebut. Jika keajaiban ini tidak pernah terjadi, mungkin untuk selamanya Kia tidak akan mengerti.
***
Keesokan harinya, Kia memutuskan untuk tidak masuk sekolah terlebih dahulu. Ia masih berada dalam kondisi yang belum stabil. Selain itu, ia juga belum tahu harus berbuat apa ketika bertemu dengan teman-teman kelasnya nanti. Ia harus bertemu dengan orangtuanya terlebih dahulu agar bisa merasa lebih tenang. Mamanya kemarin malam sempat menelepon bahwa ia telah membeli tiket pulang ke Jakarta, sedangkan papa masih harus tinggal sebentar di Amerika. Sesuai jadwal, harusnya sore ini Bu Labdajaya sudah tiba di Jakarta.
Kia gelisah seharian menanti kedatangan orangtuanya. Apa yang ada di dalam hati Kia sekarang adalah perpaduan antara rasa rindu dan bersalah. Ia tidak tahu harus berbuat apa ketika bertemu dengan mereka. Bagi dirinya, ia telah satu tahun lebih tidak bertemu dengan orangtuanya. Walaupun begitu, seharusnya dirinya di masa ini tidak pernah menghilang, sehingga orangtuanya juga tidak pernah merasa kehilangan dirinya.
Detik demi detik rasanya sangat lama bagi Kia. Tidak pernah rasanya ia menantikan sesuatu seperti sekarang. Sejak pagi, ia sudah berada di beranda rumah dengan cemas. Pak Tejo, supir Kia, melihat anak majikannya tersebut dan berinisiatif untuk mendekatinya.
“Non enggak sabar buat ketemu mama, ya?” tanya pak Tejo dengan nada yang hangat.
“Iya pak, rasanya kayak udah enggak ketemu setahun.”
Kemarin, Kia sempat bertemu dengan Pak Tejo dan kembali menangis. Ia teringat kesalahannya dulu yang membuat pak Tejo dipecat oleh papanya. Kia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dirinya tidak akan pernah berbuat hal-hal yang aneh dan membuat Pak Tejo diberhentikan dari pekerjaannya.
“Non mulai kemarin agak beda dari biasanya. Ada apa?” tanya Pak Tejo mencoba membuka pembicaraan.
“Enggak ada apa-apa kok, pak. Kia cuma baru menyadari betapa besar cinta orangtua Kia selama ini, meskipun mereka enggak punya waktu untuk Kia.”
“Begitu, ya sudah non sabar ya, sebentar lagi mama datang kok.” kata Pak Tejo sembari meninggalkankan Kia duduk sendirian.
Kia tersenyum manis ke Pak Tejo. Seharusnya, ia dari dulu harus lebih banyak bersyukur karena telah dikelilingi oleh orang-orang yang peduli kepadanya.
***
Apa yang dinanti oleh Kia akhirnya datang juga. Sebuah mobil Mercedez-Benz masuk ke dalam pekarangan. Kia tahu, ada mamanya di dalam. Begitu berhenti di depan rumah, keluarlah Bu Labdajaya dengan anggunnya. Kia yang melihat mamanya langsung berlari dan memeluknya dengan erat sambil menangis. Bu Labdajaya hampir saja terhuyung jatuh jika tidak berhasil menjaga keseimbangan.
“Sudah sudah, yuk kita masuk dulu, kita ngobrol di dalam.” kata Bu Labdajaya sembari mengelus rambut Kia yang terurai panjang.
Mereka pun masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang keluarga. Bu Labdajaya dengan sabar berusaha menenangkan Kia yang terus memegangi mamanya sambil menangis. Butuh waktu yang cukup lama hingga Kia mampu bersuara dengan normal.
“Sebenarnya kamu kenapa, nak? Baru kali ini mama lihat kamu seperti ini.” tanya Bu Labdajaya sambil menghapus air mata yang masih mengalir di pipi Kia.
“Kia kangen sama mama, Kia mau minta maaf sama mama karena udah jadi anak yang buruk.” tangis Kia kembali tumpah.
“Kata siapa kamu anak yang buruk? Mama sama papa itu bangga sama kamu. Mungkin papa kalau di depan kamu terlihat tegas dan galak, padahal kalau sedang ngobrol sama teman-temannya, pasti yang dibicarakan itu kamu. Papa kayak gitu itu karena enggak bisa berekspresi aja, apalagi orangnya agak jaim.”
“Kia kemarin malam mimpi buruk, ma. Itu yang bikin Kia kangen sama mama.”
“Memang mimpi apa?”
Maka Kia pun menceritakan kisahnya dari awal hingga akhir, mulai dari masuk ke dunia cermin hingga kembali lagi ke dunia ini dan menemukan mamanya telah meninggal. Ketika bercerita bagian ini, Kia kembali menangis lagi.
“Mimpimu panjang juga ya, sayang. Pantas kamu sampai khawatir gini.”
“Mama jangan tinggalin Kia lagi, Kia ingin mama ada di rumah.”
“Omong-omong soal itu, sebenarnya mama juga udah lama kepikiran buat pensiun dini. Kemarin juga udah ngobrol sama papa, dan papa setuju. Hanya saja, mungkin mama baru bisa berhenti total dua bulan lagi. Kia mau kan menunggu mama sampai saat itu?”
Kia menganggukkan kepala. Asalkan ia bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan orangtuanya, itu sudah lebih dari cukup. Ia tidak akan merasa kesepian lagi. Tiba-tiba, Kia teringat sesuatu.
“Ma, Kia boleh adopsi adik dari panti asuhan?”
Bu Labdajaya terkejut mendengar perkataan Kia. Ia sama sekali tak menyangka pertanyaan tersebut akan keluar dari anaknya.
“Boleh saja, tapi harus izin papa dulu ya. Selain itu, harus dari panti asuhan yang mama kelola, ya.”
“Mama punya panti asuhan?”
“Bukan punya, cuma mama sering bantu ngurus. Nama panti asuhannya…”
“Harapan Bunda.” potong Kia secara mendadak.
“Kok kamu tahu? Padahal selama ini mama merahasiakannya, loh.”
“Aku tahu aja ma, lupa dari mana.”
“Mama juga punya teman yang sama-sama jadi pengelola. Dia juga punya anak yang satu sekolah sama kamu, nama anaknya siapa ya, laki-laki gitu.”
“Yoga.”
“Iya, kalau enggak salah, kamu kenal?”
“Belum.”
“Belum?”
“Kia belum kenal sama dia, tapi Kia satu kelas kok sama dia.” kata Kia sambil tersenyum manis kepada mamanya. Berkat percakapan ini, ia ingin segera masuk sekolah keesokan harinya.
***
Setelah diantar oleh Pak Tejo seperti biasa, Kia merasa bersemangat ketika melihat pintu depan sekolahnya. Ia tak pernah merasa sesemangat ini ketika datang ke sekolah. Kiia bertekad, untuk memulai kehidupan baru di sekolahnya dan mencari lebih banyak teman, sesulit apapun. Ia bisa memulainya dengan Yoga.
Sebelum memasuki kelas, Kia menarik napas dalam-dalam. Ia mengumpulkan keberanian untuk bisa tampil lebih hangat dan bersemangat. Pengalamannya di dunia cermin menumbuhkan keberanian di dalam dirinya.
“Selamat pagi semua!” kata Kia dengan berusaha seceria mungkin ketika masuk ke dalam kelas. Teman-teman kelasnya pada terkejut ketika melihat Kia yang selama ini selalu murung bisa menyapa mereka dengan penuh energi.
“Pagi, Yoga.” sapa Kia kepada teman sebangkunya itu.
“Eh, pagi Kia. Tumben banget lo sesemangat ini? Baru kali ini lo nyapa gue. Gara-gara sakit kemarin, ya?” tanya Yoga dengan tatapan penuh selidik.
“Enggak kok, lagi seneng aja. Maaf ya, setelah ini aku bakal lebih baik lagi dalam berteman kok!”
Ketika guru telah datang memanggil nama murid satu per satu, Kia berusaha menghafal nama mereka semua. Setidaknya, Kia harus bisa menjalin hubungan baik dengan teman-temannya yang ada di kelas ini. Mungkin, kecuali dengan Melissa dan gerombolannya.
“Yoga, besok ada tugas kelompok sejarah, aku satu kelompok dengan kamu, ya.” kata Kia ketika jam istirahat telah masuk.
“Kok lo tahu besok bakalan ada tugas sejarah?”
“Emmm, feeling aja mungkin? Boleh, ya?”
“Boleh aja sih, tapi biasanya lo sama golongannya Melissa, ya?”
“Iya sih, tapi mereka enggak pernah mau kerja tugas. Aku doang yang kerja.”
“Lagi ngomongin gue, nih?” tiba-tiba Melissa datang ke bangku Kia dan Yoga. Ternyata, dari tadi ia menguping pembicaraan mereka berdua. Anehnya, Kia sama sekali tidak merasa gentar.
“Iya.” kata Kia dengan tersenyum.
“Maksud lo ngomong gitu apaan? Lo merasa kepinteran gitu?”
“Aku enggak mau lagi jadi budak kalian, yang cuma nunggu tugas selesai tanpa pernah mau membantu.”
“Sok banget sih lo, mau gue gampar?”
“Eh Mel, sekali lo berani ngapain-ngapain Kia, gue yang ngadepin lo.” kata Yoga dengan nada tinggi, membuat teman-teman kelas lain ikut menoleh.
Melissa yang terkejut melihat hal ini memutuskan untuk mundur dan pergi keluar kelas. Kia merasa senang karena Yoga membelanya dengan begitu gagah.
“Makasi Yoga.”
“Sama-sama. Gue paling gak suka sama cewek kayak gitu.”
“Tapi Kia tadi berani banget, gue sampai kaget.” Tessa, teman Kia yang duduk di depannya, memberikan apresiasi tinggi kepada Kia.
“Makasi Tessa, aku cuma berusaha membela diri.”
“Tapi enggak nyangka ya Kia yang selama ini terkenal pendiam bisa kayak gitu. Gue salut sama lo.” kali ini Ryan, teman sekelas yang duduk di depan Yoga, yang berbicara.
“Tenang Kia, kita semua pada enggak suka kok sama Melissa karena kesombongannya. Kalau sampai lo kenapa-napa, pasti kita belain.” ujar Tessa lagi.
Kia, yang melihat teman-temannya berbicara dengan dirinya, merasa begitu senang hingga dirinya menitikan air mata. Ternyata, semua masalah yang terjadi selama ini adalah karena dirinya sendiri yang tertutup. Teman-teman kelasnya ternyata baik-baik dan terbuka. Hanya satu perubahan kecil saja, ia telah berhasil mengobrol dengan mereka secara alami. Kia benar-benar bersyukur telah diberikan kesempatan untuk memulai lagi semuanya dari awal.
-
Film & Serial4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Menonton Deadpool & Wolverine
-
Film & Serial3 bulan ago
Gara-Gara Black Myth: Wukong, Saya Jadi Rewatch Kera Sakti
-
Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #22: Chinatown
-
Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Teruslah Bodoh Jangan Pintar
-
Politik & Negara4 bulan ago
Peringatan Darurat: Apa Memang Sedarurat Itu Situasi Politik Saat Ini?
-
Non-Fiksi3 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Ngomongin Uang
-
Olahraga5 bulan ago
Kemenangan Perdana yang Awkward Bagi Oscar Piastri di Formula 1
-
Musik3 bulan ago
Menatap Era Baru Linkin Park Bersama Emily Armstrong
You must be logged in to post a comment Login