Connect with us

Film & Serial

The Fall of Marvel Cinematic Universe

Published

on

Penulis termasuk orang yang “telat” mengikuti film-film Marvel atau yang disebut sebagai Marvel Cinematic Universe (MCU). Bagaimana tidak, Penulis baru maraton film-filmnya beberapa minggu sebelum menonton film Avengers: Infinity Wars di tahun 2018.

Tentu ada beberapa film Marvel yang sudah pernah Penulis tonton sebelumnya seperti Iron Man. Namun, Penulis banyak melewatkan film superhero lainnya, terutama yang namanya tidak pernah terdengar sebelumnya.

Apa yang Penulis suka dari konsep yang ditawarkan oleh Marvel adalah kesinambungan antara film-filmnya, hingga memiliki konklusi di dua film Avengers. Banyak yang mencoba meniru konsep ini (termasuk DC), tetapi rasanya tidak ada yang seberhasil Marvel.

Setelah Infinity Saga (film-film dari Phase 1 sampai Phase 3) berakhir, Marvel move on ke saga selanjutnya, yaitu Multiverse Saga yang dimulai dari Phase 4 hingga Phase 6 mendatang. Sayangnya, Penulis merasa Marvel mengalami penurunan kualitas yang cukup drastis.

Pada tulisan kali ini, Penulis akan coba memberikan opininya terkait jatuhnya Marvel Cinematic Universe dari sudut pandang Penulis sebagai penggemar, terutama mencari tahu apa faktor yang bisa membuat Marvel berada di titik yang sekarang.

Tier List Film dan Serial MCU Phase 4

Selama Phase 1 sampai Phase 3, MCU telah memiliki total 23 film. Di Phase 4, MCU telah memiliki 6 judul film, 8 serial, serta 1 special presentation. Fase ini masih memiliki film Black Panther: Wakanda Forever dan The Guardians of the Galaxy Holiday Special.

Penulis mencoba untuk membuat semacam tier list untuk film dan serial yang telah tayang di Phase 4, di mana tier S artinya great, tier A artinya bagus, tier B artinya oke atau B aja, tier C artinya buruk, dan tier D artinya sangat buruk. Berikut daftarnya:

Bagi Penulis, hanya film Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings yang patut mendapatkan apresiasi tinggi. Film Spider-Man: No Way Home bagus, tetapi itu karena ada unsur nostalgianya yang sangat kental hingga menutupi berbagai plot hole di dalamnya.

Serial-serial awal Marvel seperti WandaVision dan Loki sangat menjanjikan, yang sayangnya tidak berhasil ditiru oleh serial-serial Marvel selanjutnya. Apalagi, masing-masing serial juga memiliki kekurangan yang sama. Penulis akan menjelaskan hal ini lebih rinci di bawah.

Sebagai perbandingan, Penulis juga membuat tier list untuk film-film yang telah tayang di Infinity Saga alias Phase 1, Phase 2, dan Phase 3. Berikut adalah daftarnya:

NB: The Incredible Hulk (2008) tidak Penulis masukkan karena belum menontonnya

Bisa dilihat untuk dua tier teratas, Penulis memasukkan 11 film di Infinity Saga atau setara dengan 50% dari total film Marvel. Sebaliknya, hanya ada 2 film dan 3 serial Marvel di Multiverse Saga yang masuk ke dalam dua tier teratas atau sekitar 33%.

Namun, jika melihat daftar di dua tier terbawah, Infinity Saga hanya memiliki 3 judul (13%) saja, sedangkan Multiverse Saga memiliki 7 judul (46%) baik film maupun serial. Bahkan untuk sekadar “oke”, Marvel tampak kesulitan di Phase 4 ini.

Penulis bisa bilang, film terburuknya Marvel di Infinity Saga masih lebih bagus daripada beberapa film dan serial yang ada di Multiverse Saga. Penulis jelas memilih untuk menonton Iron Man 2 daripada harus menonton ulang Eternals.

Memang banyak film Marvel di Infinity Saga yang kualitasnya sekadar “oke” alias di tier B. Namun, film-film tersebut masih jauh lebih baik daripada beberapa judul terakhir yang dirilis oleh Marvel.

Terlalu Mengandalkan Cameo dan Nostalgia

Penulis merasa kalau Marvel terlalu mengandalkan cameo dan nostalgia untuk bisa membuat Phase 4 terlihat menarik. Ini seolah mengesankan kalau Marvel tidak terlalu percaya diri dengan kualitas film dan serial yang mereka buat sendiri.

Selain No Way Home yang sudah Penulis sebutkan, ada film Doctor Strange in the Multiverse of Madness yang memunculkan banyak cameo. Masalahnya, Marvel tampak menyia-nyiakan para cameo tersebut hingga membuat banyak penggemar kesal.

Serial She-Hulk mungkin akan sepi dari awal jika Daredevil tidak diiklankan dari awal akan muncul. Ms. Marvel “mendatangkan” Captain Marvel di bagian akhir serial, sedangkan Hawkeye memunculkan Yelena Belova dari film Black Widow.

Serial WandaVision bahkan memunculkan pemeran Quicksilver alias Pietro Maximoff dari semesta X-Men yang diperankan oleh Evan Peters. Ini memunculkan perdebatan tentang multiverse, walau teori itu dipatahkan di akhir serial.

Love and Thunder sempat memunculkan pasukan Guardians of the Galaxy walau sebentar. Bahkan, film yang bagus seperti Shang-Chi juga menampilkan cameo dari Wong dan Abomination untuk adegan yang sebenarnya tidak terlalu penting juga.

Padahal, film atau serial yang tidak memunculkan cameo juga bisa terlihat bagus, seperti yang kita saksikan di serial Moon Knight. Serial Loki juga memiliki fokus yang bagus ke protagonis utamanya.

Ke depannya, tampaknya Marvel masih akan mengandalkan dua hal ini. Terbaru, Ryan Reynolds baru mengumumkan kalau film Deadpool 3 akan dibintangi oleh karakter kesayangan sejuta umat, Wolverine yang diperankan oleh the one and only Hugh Jackman.

Memang, semesta yang dibuat oleh Marvel membuat semua film dan serialnya saling terkait. Hanya saja, kalau cuma mengandalkan cameo dan nostalgia saja sebagai fans service tanpa diiringi kualitas yang baik, ya buat apa?

Apalagi, Marvel memiliki kelebihan dalam memilih cast-nya. Oscar Isaac (Moon Knight) sangat disukai oleh penggemar. Florence Pugh (Yelena Belova), Iman Vellani (Kamala Khan), Hailee Steinfeld (Kate Bishop), semua langsung jadi favorit banyak orang, sehingga sayang jika kualitas mereka kurang dimaksimalkan dengan baik.

Quantity Over Quality?

Marvel sempat membuat jargon expanding the universe yang menandakan kalau semesta Marvel akan semakin luas. Masalahnya, bagi Penulis semesta Marvel sudah terlalu luas hingga mereka terlihat kesulitan untuk mengendalikannya.

Dulu di Infinity Saga, Marvel merilis sekitar 2-3 film setiap tahunnya. Sekarang pun Marvel masih konsisten merilis sekitar tiga film setiap tahunnya. Bedanya, sekarang Marvel juga merilis serial yang tayang secara eksklusif di Disney+.

Di tahun 2021 ada 5 serial yang dirilis oleh Marvel, sedangkan di tahun 2022 ada 3 serial yang dirilis. Jangan lupa kalau di tahun ini juga akan ada dua special presentation, yakni Werewolf by Night dan The Guardians of the Galaxy Holiday Special.

Tentu ini menimbulkan pertanyaan, apakah Marvel memang sekarang lebih fokus ke kuantitas daripada kualitas? Mereka membuat begitu banyak serial yang tentunya diproyeksikan akan muncul di proyek-proyek Marvel selanjutnya.

Selain membuat serial untuk karakter yang sudah ada, Marvel juga memanfaatkannya untuk memperkenalkan beberapa karakter baru. Jika dibuat daftar, pasti akan ada banyak sekali nama-nama baru.

Masalahnya, kuantitas ini juga sangat berpengaruh ke kualitas yang dimiliki. Lihat saja betapa buruknya CGI di serial She-Hulk: Attorney at Law yang seolah menyiratkan kalau budget Marvel sedang tipis. Tidak hanya itu, kualitas penceritaannya pun buruk.

Hampir semua serial Marvel memiliki kelemahan dengan mengulur-ulur cerita sebelum ke klimaks utama. Akhir yang anti-klimaks, kesan terburu-buru, alur agak berantakan, dan banyak hal buruk lainnya menjadi “ciri khas” dari serial Marvel.

Kemungkinan, ini dikarenakan durasi serial yang hanya berkisar di angka 30 menit. Sebagai perbandingan, serial dari platform lain seperti Game of Thrones dan The Boys memiliki durasi sekitar 1 jam, sehingga setiap episodenya memiliki core cerita yang mantap.

Penulis memahami kalau Marvel Studios baru masuk ke ranah serial, sehingga mereka masih meraba-raba. Mereka bisa belajar dari serial-serial di platform sebelah untuk bisa mendapatkan formula untuk membuat serial yang baik dan mampu memuaskan penonton.

Penutup

“Sejujurnya, yang paling dekat yang bisa saya pikirkan tentang mereka (Marvel), dan dibuat seperti apa adanya, dengan aktor melakukan yang terbaik yang mereka bisa dalam situasinya, adalah taman hiburan. Ini bukan sinema manusia yang mencoba menyampaikan pengalaman emosional dan psikologis kepada manusia lain.”

-Martin Scorsese-

Sewaktu Martin Scorsese melontarkan pernyataan di atas, banyak penggemar yang langsung memberikan hate comment kepada sang sutradara. Tak sedikit yang menganggap kalai Scorsese hanya iri dengan kesuksesan yang diraih oleh Marvel.

Namun, ketika Penulis baca lagi, mungkin apa yang diucapkan Scorsese ada benarnya. Marvel hanya membuat film yang “menghibur” seperti layaknya taman bermain, bukan film dengan penuh makna yang emosional, Oscar-worthy, mind-blowing, dan lain sebagainya.

Bandingkan dengan film-film seperti Everything, Everywhere, All at Once yang bagi Penulis berhasil membuat penontonnya merasa emosional dan terhanyut ketika menontonnya. Film-film Marvel jarang ada yang seperti itu.

Apakah yang dilakukan oleh Marvel salah? Tentu tidak. Secara komersial, strategi tersebut terbukti berhasil karena mampu menjangkau pasar yang sangat luas. Mau tua maupun muda, mereka bisa menikmati film-film Marvel tanpa perlu terlalu banyak berpikir.

Hanya saja, jangan sampai Marvel merasa jumawa karena memilki fanbase yang besar, sehingga membuat film dan serial ala kadarnya. Seolah ada mindset, mau bikin ampas sekalipun, pasti masih banyak yang mau nonton karena this is Marvel.

Pada tulisan berikutnya, Penulis akan membahas mengenai masa depan MCU beserta proyek-proyek akan mereka miliki untuk Phase 5 dan Phase 6. Beberapa terlihat menjanjikan, tetapi bisa saja hal tersebut salah seperti yang banyak terjadi di Phase 4.


Lawang, 22 Oktober 2022, terinspirasi setelah merasa kualitas film dan serial Marvel mengalami penurunan kualitas

Sumber Artikel:

Film & Serial

[REVIEW] Setelah Menonton X-Men ‘97

Published

on

By

Rasanya sudah semakin jarang Marvel Cinematic Universe (MCU) merilis serial yang berkualitas. Dalam rentang waktu satu tahun terakhir, praktis hanya serial Loki Season 2 yang bisa dinikmati dan mampu menyajikan cerita yang menarik.

Untungnya, serial animasi terbaru yang dirilis MCU akhirnya mampu mematahkan hal buruk tersebut, yakni X-Men ’97. Penulis bukan penggemar die hard X-Men, tapi cukup familiar dengan karakter-karakternya karena pernah membacanya di majalah waktu kecil.

Serial asli X-Men yang rilis di tahun 90-an pun Penulis merasa tidak pernah menontonnya, walaupun theme song-nya terasa sangat familiar. Mungkin Penulis pernah menontonnya, tapi tidak bisa mengingatnya.

Yang jelas, Penulis memutuskan untuk menonton serial X-Men ’97 karena merasa penasaran. Penulis sampai harus menonton rekap serial animasi aslinya agar bisa catch up dan memahami konflik apa yang akan dihadapi oleh para X-Men.

Jalan Cerita X-Men ’97

Meskipun menggunakan gaya animasi yang berbeda dengan versi aslinya, X-Men ’97 merupakan sekuel langsung dengan gaya animasi yang telah menyesuaikan dengan era modern. Artinya, ceritanya pun nyambung dengan serial aslinya.

Di awal cerita, kita mengetahui bahwa Profesor Xavier telah dibawa ke luar angkasa oleh Lilandra demi menyelamatkan nyawanya. Lantas, X-Men pun secara mengejutkan jadi dipimpin oleh Magneto.

Beberapa kejadian pun terjadi selama Magneto menjadi pemimpin, termasuk Storm yang kehilangan kekuatannya. Selain itu, diketahui bahwa Jean Gray yang selama ini bersama X-Men ternyata hanya klon yang dibuat oleh Mister Sinister.

Klimaks konflik dari musim kali ini adalah penyerangan besar-besaran yang menghancurkan Genosha. Kejadian ini membuat karakter X-Men favorit Penulis, Gambit, harus tewas. Selain itu, Magneto juga berhasil diculik dan menghilang dalam waktu yang cukup lama.

Siapa dalang di balik penyerangan Genosha? Ternyata dia adalah Bastion, humanoid yang merupakan gabungan dari Nimrod dan Master Mold. Ia sangat membenci mutan, mengingat ia berasal dari entitas yang bertujuan untuk memusnahkan semua mutan.

Bastion tidak sendirian, ia dibantu oleh Mister Sinister dalam menjalankan misinya untuk memusnahkan mutan. Masalah makin pelik bagi X-Men, karena Magneto yang diculik berhasil kabur dan mematikan semua listrik di dunia dan menyatakan perang kepada manusia.

Di saat genting tersebut, Profesor Xavier pulang ke Bumi untuk menyelesaikan konflik yang ada. X-Men dibagi menjadi dua tim, satu berusaha menghentikan Magneto dan satu lagi menyerang Bastion yang melepaskan Prime Sentinels ke seluruh dunia.

Singkat cerita, pada akhirnya X-Men berhasil melakukan kedua misi tersebut. Namun, Asteroid M yang menjadi markas Magneto terjun ke Bumi dan berpotensi menyebabkan kiamat. Berbagai upaya dilakukan, tapi akhirnya Magneto-lah yang menghentikan insiden tersebut.

Setelah kejadian tersebut, banyak tokoh X-Men yang hilang dan tidak ditemukan. Pada akhirnya, terkuak kalau para X-Men terlempar ke lini masa yang berbeda, yang akan menjadi premis utama di musim selanjutnya.

Setelah Menonton X-Men ’97

Setelah selesai menonton semua 10 episodenya, Penulis merasa cukup puas dengan serial ini. Gaya animasinya, walaupun tidak unik seperti What If…?, cukup memanjakan mata. Dialog-dialog yang dimiliki, terutama yang keluar dari mulut Magneto, juga berkesan.

Meskipun Penulis tidak terlalu mengikuti X-Men, Penulis cukup mudah mengenali karakter-karakter yang ada di serial ini karena Penulis merupakan pemain Marvel Snap. Desain karakter yang ada di game TCG tersebut sama dengan yang ada di serial ini.

Selain karakter yang sudah familiar seperti Wolverine, Cyclops, Storm, Gambit, Beast, dan lainnya, Penulis langsung mengetahui karakter-karakter lainnya yang selama ini kurang ditonjolkan di film-film live-action seperti Jubilee, Morph, Sentinel, hingga Mister Sinister.

Penulis cukup menyayangkan kematian Gambit. Sudah di film live-action jarang muncul, sekalinya muncul di serial animasi malah harus mati. Namun, kematiannya yang heroik menjadi salah satu momen terbaik di serial ini.

Selain itu, ada banyak cameo menarik yang dimunculkan, mulai dari Captain America, Spider-Man, Silver Samurai, Omega Red, hingga Iron Man. Dengan kemunculan mereka, Penulis jadi berharap kalau di musim-musim selanjutkan akan ada tema X-Men vs Avengers.

Untuk konflik ceritanya sendiri bisa dibilang cukup berat, sehingga serial ini rasanya kurang cocok untuk anak-anak. Tema politik “manusia vs mutan” masih menjadi isu utama, di mana ada pihak yang ingin memusnahkan mutan dari Bumi karena berbagai alasan.

Salah satu poin utama yang membuat serial ini outstanding adalah bagaimana posisi Magneto yang tidak menjadi antagonis. Di serial ini, Magneto justru berusaha memahami apa keinginan Profesor Xavier, sebelum akhirnya merasa kalau usahanya berakhir sia-sia.

Bastion sebagai antagonis utama di serial ini juga terlihat sebagai musuh yang sulit untuk ditakhlukkan. Motivasinya untuk memusnahkan mutan mungkin kurang deep, tapi cukup kuat dan masuk akal. Pemilihannya sebagai villain utama sangat tepat.

Kesimpulannya, serial X-Men ’97 berhasil menjadi oase di tengah gempuran serial Marvel lain yang kurang berkualitas. Walaupun tidak menonton serial aslinya, kita masih akan bisa menikmati jalan ceritanya tanpa perlu pusing.

Rating: 8/10


Lawang, 28 Mei 2024, terinspirasi setelah menonton serial X-Men ’97

Foto Featured Image: Variety

Continue Reading

Film & Serial

Tulisan Ini Merangkum Ulasan Film dan Serial MCU yang Terlewat

Published

on

By

Biasanya, setiap ada film atau serial Marvel Cinematic Universe (MCU) yang selesai ditonton, Penulis akan membuat artikel ulasannya. Walaupun kadang telat satu bulan, artikel tersebut akan tetap ditulis.

Namun, beberapa bulan terakhir, Penulis melewatkan cukup banyak film dan serial MCU karena kesibukan (dan kemalasan) untuk diulas. Padahal, setelah serial Secret Invasion yang mengecewakan, MCU merilis tiga serial dan satu film layar lebar.

Meskipun sudah telat berbulan-bulan, ada rasa bersalah karena telah melewatkan mereka semua. Oleh karena itu, agar tidak lagi terbebani dengan hutang artikel, Penulis memutuskan untuk merangkum semuanya dalam satu artikel.

Rangkuman Ulasan Film dan Serial MCU

Setelah serial Secret Invasion, Marvel merilis tiga serial lagi, yakni Loki Season 2, What If…? Season 2, dan Echo. Selain itu, Marvel juga merilis film layar lebar terakhir di tahun 2023, yakni The Marvels.

Lantas, bagaimana pendapat Penulis tentang film dan serial-serial tersebut? Apakah semakin memundurkan kualitas MCU, atau justru berhasil menyelamatkannya? Berikut adalah ulasan Penulis selengkapnya!

Review Loki Season 2

Singkat kata, Loki Season 2 adalah serial terbaik yang pernah diproduksi oleh MCU. Bahkan, lebih bagus dari WandaVision yang sebelumnya Penulis anggap sebagai serial terbaik. Serial ini, dari episode pertama hingga terakhir, berhasil konsisten menyajikan tontonan yang berkualitas.

Setelah menonton episode 4, Penulis sudah menuliskan bahwa serial ini benar-benar terasa menjadi oase di tengah film dan serial Marvel lainnya yang begitu buruk. Hampir mayoritas menganggap kalau serial ini berhasil menyelamatkan muka Marvel yang terus-menerus dikritik.

Apa yang paling Penulis suka dari serial ini adalah pengembangan karakter yang dialami oleh Loki. Dari yang awalnya antagonis narsistik menjadi penyelamat universe dengan mengorbankan egonya. Siapa yang menyangka kalau God of Mischief rela melakukan sejauh itu?

Karakter-karakter pendukungnya pun tak kalah menarik. Apresiasi perlu disematkan ke Ke Huy Quan yang memerankan karakter OB. Sekali lagi, ia menjadi karakter yang dengan mudah dicintai oleh penontonnya.

Kesimpulannya, serial ini jelas akan menjadi parameter ke depannya kalau sebuah serial Marvel minimal ya memiliki kualitas cerita seperti ini. Standar yang jelas tinggi, sehingga para penonton pun harus bisa mengelola ekspektasinya dengan bijak.

SKOR: 9/10

Review The Marvels

The Marvels adalah film yang benar-benar biasa saja. Plot cerita, biasa, lurus tanpa plot twist. Villain utama biasa saja, tipe yang akan mudah dilupakan. Malah, sepanjang nonton film ini, Penulis merasa kalau film ini benar-benar tipe M-She-U yang sering diungkapkan oleh netizen.

Salah satu hal yang paling membuat Penulis kesal adalah bagaimana Captain Marvel, yang notabene menjadi salah satu superhero terkuat di MCU, terlihat kewalahan melawan villain yang kemampuannya B aja. Sangat terlihat kalau ia cukup di-nerf demi kepentingan cerita.

Dramanya dengan Monica Rambeau juga terasa canggung dan tidak natural. Seperti klise pada umumnya, konflik antara Monica dan Captain Marvel hanya karena miskomunikasi yang selesai ketika mereka akhirnya berbicara dari hati ke hati.

Di sisi lain, mungkin kehadiran Kamala Khan bisa dibilang membuat film ini setidaknya terasa segar dan berwarna. Karakternya yang lovable di serial Ms. Marvel berhasil dipertahankan di film ini dan seolah menjadi “anak bontot” dari tiga bersaudara.

Memang ada sedikit kejutan di bagian akhir, tapi jujur sama sekali tidak mengejutkan karena rumornya sudah santer terdengar sebelum filmnya rilis. Kamala mendatangi Kate Bishop dari serial Hawkeye untuk bergabung dengan “Avengers” baru, sedangkan Monica terlempar ke universe lain di mana ia bertemu dengan Beast dari X-Men.

SKOR: 6/10

Review What If…? Season 2

Mengingat musim pertamanya berhasil menyajikan cerita-cerita yang menarik, Penulis pun berekspektasi kalau musim kedua dari serial What If…? akan sama bagusnya. Sayangnya, ekspektasi tersebut dipatahkan begitu saja.

Berbeda dengan musim pertamanya, serial ini dirilis setiap hari, bukan setiap minggu. Tentu harusnya hal tersebut membuat penggemar senang, bukan? Iya, jika jalan ceritanya sebagus musim pertamanya. Musim kedua ini bisa dibilang lumayan mengecewakan.

Pertama, episode-episodenya tidak terlalu saling terkait seperti musim pertama. Ada beberapa episode yang sama sekali tidak memiliki pengaruh ke finale episode-nya. Kedua, serial ini terlalu berfokus ke Captain Carter, seolah semakin menegaskan MCU itu M-She-U.

Ketika, karakter Supreme Strange yang sudah menjalani character development di musim pertama menjadi villain lagi, bahkan villain utama. Tujuannya pun sama, menghidupkan kembali Christie dengan membuat ulang semestanya yang telah hancur.

Salah satu poin positif dari serial ini adalah adanya karakter Kahhori, yang merupakan karakter orisinal untuk serial What If…?. Ia pun bekerja sama dengan Captain Carter untuk mengalahkan Supreme Strange dan menyelamatkan multiverse.

SKOR: 6/10

Review Echo

Di awal tahun 2024, Marvel merilis sebuah serial baru berjudul Echo, yang merupakan seri pertama yang masuk ke dalam seri Marvel Spotlight. Serial ini berfokus ke karakter Maya Lopez, yang telah muncul di serial Hawkeye.

Mungkin Marvel sudah punya feeling kalau serial ini tidak akan terlalu berhasil, sehingga mereka memutuskan untuk merilis semua episodenya dalam satu hari. Keputusan tersebut mungkin benar, karena serial ini cukup membuat Penulis garuk-garuk kepala.

Selama beberapa episode awal, Penulis benar-benar dibuat bingung mau dibawa ke arah mana serial ini. Apakah ini merupakan perjalanan awal Maya menjadi superhero, pembalasan dendam masa lalu, atau malah cuma jadi pemanasan serial Daredevil Born Again.

Rupanya, serial ini pada akhirnya berfokus bagaimana Maya menyelesaikan konflik dengan Kingpin, yang selama ini sudah dianggap sebagai pamannya sendiri. Namun, penyelesaian konfliknya di episode terakhir pun terasa aneh dan berakhir begitu saja.

Karakter Kingpin di sini jelas berhasil mencuri perhatian berkat akting dari Vincent D’Onofrio. Sayangnya, karakter Maya terasa kurang berhasil digali potensinya untuk menjadi karakter besar di MCU. Apalagi, tidak jelas bagaimana nasibnya di masa depan MCU.

SKOR: 5/10

Penutup

Dari empat film/serial yang Penulis ulas di atas, hanya Loki Season 2 yang Penulis anggap berhasil. Ini tentu menunjukkan kalau MCU masih harus berbenah jika tidak ingin ditinggalkan oleh penggemarnya.

Sejauh ini, sudah ada banyak upaya untuk menyelamatkan muka MCU, termasuk menunda beberapa proyek untuk memastikan kualitasnya. Di tahun 2024 ini, hanya ada film Deadpool & Wolverine yang akan dirilis oleh Marvel, dan jujur Penulis sangat mengantisipasinya.

Saat artikel ini ditulis, Penulis sedang mengikuti serial animasi X-Men ’97, sebuah lanjutan dari serial klasik Marvel yang dirilis di tahun 90-an. Sejauh ini, serial ini cukup memuaskan dan memiliki jalan cerita yang menarik dan membuat penasaran.

Bisa jadi, film Deadpool & Wolverine dan serial X-Men ’97 tersebut dijadikan patokan oleh Marvel apakah semesta X-Men masih menarik minat penonton. Jika iya, maka kemungkinan besar Mutant Saga akan hadir setelah Multiverse Saga berakhir.


Lawang, 24 April 2024, terinspirasi setelah menyadari ada banyak serial dan film MCU yang belum dibuatkan ulasannya

Continue Reading

Film & Serial

Akhirnya Marvel Kembali Menarik Gara-gara Loki Season 2

Published

on

By

Sepanjang Multiverse Saga, Marvel kerap meluncurkan serial yang menimbulkan kekecewaan, apalagi Secret Invasion yang bikin geleng-geleng kepala. Penulis jadi semakin pesimis dengan masa depan Marvel Cinematic Universe (MCU).

Sejauh ini, hanya ada tiga serial yang Penulis anggap benar-benar bagus dari awal hingga akhir, yakni WandaVision, Loki, dan What If…?. Sebenarnya serial Moon Knight juga lumayan bagus, yang sayangnya memiliki episode terakhir yang cukup generik dan terasa kurang.

Di antara tiga serial Marvel yang Penulis sukai, Loki menjadi yang pertama memiliki sekuel. Jujur, Penulis sangat antusias ketika akhirnya serial ini tayang, mengingat akhir dari musim pertamanya sedikit cliff hanging.

Nah, untungnya tingginya ekspektasi Penulis tidak sia-sia karena sejauh ini serial Loki benar-benar memuaskan! Pace-nya cepat dan tidak terasa dragging sama sekali, penuh kejutan, alur cerita yang rapi, serta ada beberapa teknik shoot yang menarik.

Selain itu, tensi dari serial ini juga sangat menarik. Kita seolah ikut dibuat tegang dengan konflik multiverse yang dihadapi oleh Loki (Tom Hiddleston) bersama teman-temannya. Kesan clock is ticking benar-benar terasa, hingga akhirnya DUUUAAAARRRR!!! di episode 4.

Ketika Marvel Kembali Menarik

Untuk yang awam, Loki Season 2 bercerita tentang kekacauan yang terjadi di Time Variance Authority (TVA) setelah kematian He Who Remains (Jonathan Majors) yang dibunuh oleh varian Loki, Sylvie (Sophia Di Martino).

Hingga artikel ini ditulis (27/10), Loki Season 2 telah memasuki episode 4. Dibandingkan dengan episode-episode sebelumnya (yang sebenarnya so far so good), episode kali ini benar-benar mindblowing dan mengejutkan.

Demi menghindari spoiler pada artikel ini, Penulis hanya bisa menggambarkan kalau episode ini benar-benar tidak tertebak. Build up yang rapi dari episode pertama hingga ketiga ternyata tidak mengubah apa-apa. Apa yang dikhawatirkan akhirnya benar-benar terjadi.

Akhir yang sangat menggantung di episode ini juga memberikan kesan yang mirip dengan Avengers: Infinity Wars, di mana Thanos berhasil melenyapkan setengah populasi alam semesta.

Sekali lagi, kita disajikan misi yang dilakukan oleh protagonis kita gagal dilakukan. Namun, seperti yang sudah Penulis jelaskan di tulisan lain, tingkat destruktif di serial ini benar-benar beda level. Penulis benar-benar tidak sabar untuk menonton episode ke-5 mendatang.

Yang jelas, sejauh ini serial Loki Season 2 berhasil membuat Penulis berpikir kalau Marvel mulai menarik lagi dan kembali ke jalan yang benar. Kekacauan demi kekacauan yang terjadi di serial-serial sebelumnya seolah tertebus dengan kemunculan serial ini.

Penulis berusaha untuk mencari celah untuk mengkritik serial ini. Hanya saja, Penulis benar-benar tidak menemukan apa yang kurang dari Loki Season 2 sejauh ini. Meskipun tentu tidak sempurna, Penulis berhasil dibuat puas olehnya.

Episode 4 Selalu Jadi yang Paling Mengejutkan?

Ada fakta menarik tentang episode 4 serial Loki Season 2. Pada musim pertamanya, episode keempatnya juga sangat mengejutkan ketika sosok di balik TVA terkuak hanya robot dan di-prune-nya Mobius dan Loki.

Jika diingat-ingat lagi, sebenarnya banyak kejadian yang mengejutkan terjadi di episode keempat dari semua serial Marvel. Penulis akan coba bahas beberapa untuk membuktikan pernyataan tersebut.

Di WandaVision, akhirnya terkuak apa yang sebenarnya terjadi pada Wanda dan penduduk kota Westview. Di The Falcon and the Winter Soldier, kita bisa melihat bagaimana Captain America baru melakukan pembuhan dengan menggunakan perisainya.

Episode 4 favorit Penulis, selain Loki Season 2, adalah What If…? yang menceritakan tentang Supreme Doctor Strange yang sangat dark. Di serial Hawkeye, kita bisa melihat kemunculan karakter Yelena Belova (Florence Pugh).

Moon Knight pun cukup mengejutkan, di mana karakter utama Steven Grant (Oscar Isaac) ditembak tepat di dada oleh antagonisnya. Kejadian yang mirip juga terjadi di serial Secret Invasion, di mana Talos (Ben Mendelsohn) dibunuh oleh Gravik (Kingsley Ben-Adir).

Mengingat kebanyakan serial Marvel hanya memiliki enam episode (kecuali WandaVision, What If…?, dan She-Hulk: Attorney at Law yang punya sembilang episode), wajar jika episode 4 menampilkan adegan mengejutkan karena sudah mendekati klimaks.

Selain itu, episode 5 seringnya dimanfaatkan sebagai momen cooldown sebelum finale episode, sehingga terasa boring dan dragging. Apalagi, tak jarang Marvel mengecewakan penggemarnya dengan buruknya konklusi serial di episode terakhir.

Penutup

Masih ada dua episode lagi sebelum serial Loki Season 2 tamat. Namun, sejauh ini serial ini mampu memuaskan Penulis yang telah dikecewakan berkali-kali, baik karena film maupun serialnya.

Memang film Guardians of the Galaxy Vol. 3 adalah film yang bagus, tetapi dampaknya secara keseluruhan untuk Multiverse Saga sangat kecil. Loki Season 2 bersentuhan langsung dengan konsep multiverse beserta bahayanya.

Penulis bahkan meyakini kalau apa yang terjadi di serial Loki ini akan memiliki pengaruh besar kepada keseluruhan saga. Event yang akan terjadi di film-film selanjutnya, termasuk Avengers: Kang Dynasty dan Avengers: Secret Wars, bisa bermula dari serial ini.

Semoga saja di dua episode terakhir, serial ini bisa konsisten menjaga kualitas ceritanya, sehingga Penulis bisa berpikir kalau MCU masih menyenangkan untuk ditonton.


Lawang, 27 Oktober 2023, terinspirasi setelah menonton Loki Season 2 Episode 4 yang cukup mindblowing

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan