Renungan
Setelah Berpisah dengan Ramadhan
Setelah satu bulan, akhirnya kita harus rela berpisah dengan bulan Ramadhan yang suci. Tidak hanya menahan lapar dan haus, kita juga diwajibkan untuk menahan segala bentuk hawa nafsu dan emosi.
Oleh karena itu, hari raya Idul Fitri atau lebaran kerap dianggap sebagai hari kemenangan. Kita telah berhasil melewati bulan tersebut dengan baik dan menganggap setelah ini banyak hal akan dimulai lagi dari nol.
Hanya saja, bagi Penulis bentuk ujian yang sebenarnya justru setelah kita berpisah dengan bulan Ramadhan.
***
Bagi Penulis sendiri, bulan Ramadhan tahun ini terasa kurang maksimal. Meskipun puasa tahun ini bisa di rumah, dua minggu terakhir Penulis kerap diserang penyakit seperti asam lambung dan demam. Alhasil, bulan puasa tahun ini harus rela bolong dua hari.
Jumlah bolong ini adalah rekor seumur hidup Penulis. Tahun kemarin, Penulis sempat bolong satu kali karena sakit juga. Sebelumnya, seingat Penulis belum pernah bolong sama sekali. Kalau masalah menahan lapar dan haus, Penulis termasuk jago.
Hanya saja, Penulis juga jadi merenung. Apakah ujian yang sebenarnya justru setelah bulan Ramadhan?
***
Selama bulan puasa, kita berusaha menahan diri dari berbagai godaan. Terlepas dari masalah perut, sebenarnya ada banyak hal yang harus kita jaga selama berpuasa.
Kita berusaha untuk menahan marah, tidak membicarakan orang, meningkatkan ibadah kita, pergi ke masjid untuk sholat berjamaah, tadarusan, tidak berbuat hal buruk, dan lain sebagainya. Semenjak Shubuh hingga Maghrib, kita berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Pertanyaannya, dapatkah kita menjadi seperti itu di luar waktu puasa? Bisakah kita mempertahankan kebiasaan baik dan meninggalkan kebiasaan buruk seperti ketika puasa?
Penulis merasa bahwa inilah ujian kita yang sebenarnya: Apakah kita bisa menjadi manusia yang lebih baik di 11 bulan lainnya setelah berpuasa selama satu bulan?
***
Menahan diri ketika berpuasa bisa dibilang cukup mudah. Ketika hendak melakukan hal yang buruk, kita akan teringat, “Oh iya, lagi puasa, enggak boleh begitu.”
Tapi kalau sedang di luar puasa, apa yang akan menjadi pengingat kita? Di sana lah letak kesulitan untuk mempertahankan kebiasaan baik di luar bulan puasa. Tidak ada yang bisa menjadi pengingat secara langsung.
Ketika Penulis berusaha menghayati bulan puasa yang telah dilewati, Penulis menyadari bahwa ini menjadi salah satu alasan kenapa kita harus berpuasa selama satu bulan: Agar kita sadar untuk bisa bersikap seperti ketika sedang puasa walaupun tidak sedang puasa.
***
Setelah berpisah dengan bulan Ramadhan, Penulis menjadi tergerak hatinya untuk bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tidak hanya dari rutinitas harian, tapi juga meningkatkan kualitas ibadahnya.
Yang namanya manusia, pasti semangatnya akan mengalami naik turun. Penulis sudah sering mengalaminya dalam hidup.
Penulis akan berusaha semaksimal mungkin untuk mempertahankan kebiasaan baik dan meninggalkan kebiasaan buruk, setidaknya sampai bertemu dengan bulan Ramadhan tahun depan jika diizinkan oleh Tuhan. Aamiin.
Lawang, 15 Mei 2021, terinspirasi setelah merenungi makna bulan Ramadhan yang telah dijalani
Foto: Sangga Rima Roman Selia
Renungan
Merenungi Manusia Primitif yang Masih Hidup di Era Modern
Dalam tulisan “Manusia adalah Makhluk Paling Berbahaya di Dunia Ini”, Penulis sudah menjabarkan tentang bagaimana kita ini adalah ancaman paling nyata, baik bagi makhluk hidup lain maupun sesama manusia.
Pada salah satu poin, Penulis juga menjelaskan bagaimana manusia tanpa segan menghabisi manusia lain dengan berbagai alasan, walau ketamakan jelas jadi salah satu faktor utamanya. Alhasil, bangsa-bangsa yang kalah harus menepi demi keselamatannya.
Menariknya, mereka ini terus bisa mempertahankan peradabannya walau terisolasi dari dunia lain. Melalui kacamata kita, mereka terlihat sebagai bangsa primitif yang hidup di era modern yang serba canggih. Keberadaan mereka ini membuat Penulis jadi merenung.
Bagaimana Kehidupan “Manusia Primitif” Terputus dari Kehidupan Modern
Melalui video dokumenter yang sama dari artikel “Manusia adalah Makhluk Paling Berbahaya di Dunia Ini”, Penulis jadi menyadari bahwa di dalam hutan Amazon, masih ada banyak native tribe yang seolah mencerminkan kehidupan beribu-ribu tahun yang lalu.
Penulis juga menemukan fakta tentang Man in Hole. Singkat cerita, ia adalah orang terakhir dari salah satu suku yang menghuni hutan Amazon, setelah anggota sukunya yang lain telah tewas terbunuh akibat konflik agraria yang terjadi di Brazil.
Hidupnya yang nomaden seumur hidupnya terpaksa ia lakukan demi bertahan hidup. Ketika mengetahui fakta ini, Penulis jadi berempati dengannya dan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi “orang terakhir” dari sukunya sebelum akhirnya ia juga meninggal.
Keberadaan mereka, yang pernah (dan mungkin masih) terancam karena peradaban manusia yang lebih modern, terlihat seolah timeline mereka tidak pernah maju dan memutus kehidupan mereka dengan dunia luar. Teknologi yang mengubah peradaban manusia tak pernah menyentuh mereka.
Sebenarnya tak perlu jauh-jauh ke Brazil yang berada di belahan bumi lain. Di Indonesia pun, yang terdiri dari banyak sekali suku, masih banyak yang menjalani kehidupan primitif dan tinggal di dalam hutan, jauh dari peradaban modern.
Secara manusiawi, kita pasti merasa “kasihan” dengan kehidupan yang seperti itu. Namun, pantaskan mereka dikasihani? Atau justru sebenarnya kita yang patut dikasihani?
Apakah Kita Lebih Bahagia dari Manusia Primitif?
Mungkin Mereka Lebih Bahagia dari Kita (Scientific American)
Belum lama ini, Penulis juga membuat artikel berjudul “Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri”. Teknologi dan berbagai ciptaan kita memang sangat membantu memajukan peradaban, tapi di sisi lain memiliki efek negatif karena mengakibatkan ketergantungan.
Kita akan kesulitan hidup tanpa smartphone, internet, listrik, dan lain sebagainya. Mati listrik beberapa jam saja sudah menderita setengah mati, seolah tidak ada aktivitas offline yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu sembari menunggu listrik kembali nyala.
Nah, tentu “penderitaan” seperti ini tidak pernah dialami oleh manusia primitif. Mereka telah terbiasa hidup berpijak tanah dan beratapkan langit. Mereka tak pernah berjumpa dengan listrik, apalagi internet, dan hidup mereka bisa baik-baik saja dari generasi ke generasi.
Kita dalam peradaban modern kerap dibuat stres dengan berbagai tekanan, yang bisa berupa tuntutan pekerjaan, kewajiban mencari uang untuk melanjutkan hidup, tarikan pajak yang tak masuk akal dari pemerintah, dan lain sebagainya.
Sekali lagi, tekanan seperti ini rasanya tidak dialami oleh manusia primitif. Mereka tidak mengenal adanya KPI, kalau lapar ya langsung berburu atau berkebun. Mereka tidak dibingungkan dengan tatanan dunia yang makin ke sini makin uangsentris.
Para manusia primitif tampaknya juga tak pernah memikirkan gengsi seperti manusia modern, yang kerap ditampilkan melalui gaya hidup mereka. Tanpa pakai baju pun, mereka tetap sehat-sehat saja, walau manusia terutama di barat juga semakin jarang menggunakan baju.
Dengan beberapa contoh tersebut, apakah kita masih bisa berpikir kalau kehidupan kita lebih baik dari kehidupan mereka?
Penutup
Lantas, apakah renungan di atas membuat Penulis ingin hidup seperti manusia primitif? Tentu tidak. Penulis besar dengan kehidupan modern, sehingga penyesuaian untuk hidup seperti mereka akan menjadi penderitaan yang luar biasa.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan insight bahwa di kehidupan modern yang serba digital ini, masih ada kehidupan terbelakang di sudut-sudut dunia ini. Walaupun begitu, belum tentu kita lebih bahagia dibandingkan mereka. Bisa jadi, mereka jauh lebih bahagia dengan kehidupannya.
Penulis merasa bersyukur dengan kehidupan yang telah diberikan Tuhan kepada dirinya, walau terkadang masih ada perasaan iri kepada manusia primitif yang tampaknya bisa hidup lebih tenang dibandingkan kebanyakan manusia modern.
Lawang, 1 Desember 2024, terinspirasi setelah menonton video dokumenter tentang hutan Amazon yang menjadi rumah bagi penduduk asli Amerika
Foto Featured Image: AP News
Sumber Artikel:
Renungan
Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri
Saat ini, Penulis sedang membaca buku Filsafat Moral karya Fahruddin Faiz, setelah sebelumnya menyelesaikan buku Filsafat Kebahagiaan (ulasan menyusul). Nah, ketika membaca bagian Hans Jonas, Penulis menemukan sesuatu yang menarik.
Dalam salah satu subbabnya, Faiz menjabarkan “Situasi Apokaliptik Teknologi” yang pernah disinggung oleh Jonas. Intinya, teknologi-teknologi yang diciptakan oleh manusia berpotensi mengakibatkan kiamat bagi peradaban manusia.
Menurut Jonas, semakin manusia mengembangkan teknologi, mereka semakin tidak mampu menguasai teknologi yang mereka ciptakan (hal. 79). Tanda-tandanya makin ke sini makin terlihat, di mana manusia semakin diperbudak oleh teknologi buatannya sendiri.
Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri
Diperbudak oleh Ciptaan Sendiri (cottonbro studio)
Ketika menuliskan opening di atas, teknologi apa yang pertama kali terlintas di pikiran? Mungkin mayoritas jawabannya adalah smartphone, internet, hingga media sosial. Jawaban itu benar, tapi yang memperbudak kita jauh lebih banyak dari itu.
Ketiga hal yang Penulis sebut di atas jelas telah menjadi keseharian kita. Pernah terbayang satu hari tanpa ketiganya? Rasanya kita sudah begitu tergantung kepadanya sehingga rasanya tak mungkin hidup tanpa ketiganya.
Sekarang bayangkan seandainya dunia tiba-tiba mengalami Internet Apocalypse, di mana tiba-tiba tidak ada lagi internet di dunia. Selain smarpthone kita menjadi nottoosmartphone, media sosial pun tak bakal bisa akses.
Lebih gawatnya lagi, kalau yang bekerja remote seperti Penulis, jelas kehilangan pekerjaan akan terjadi. Semua harus kembali manual seperti puluhan tahun yang lalu, dunia di mana belum ada internet.
Namun, sebenarnya ciptaan kita yang memperbudak tak hanya sebatas itu. Internet hanyalah sebagian kecil saja. Contoh lain yang tak kalah menyusahkan seandainya tiba-tiba lenyap adalah listrik. Seandainya internet tak hilang pun, akan percuma jika tidak ada listrik.
Bayangkan, tak ada tempat untuk menyimpan makan seperti kulkas, tak ada lampu untuk penerangan di malam hari, tak ada mesin cuci untuk membersihkan pakaian, tak ada komputer untuk bekerja, dan masih banyak lagi hal yang tak akan bisa kita lakukan.
Contoh lain, bayangkan dunia tanpa bensin. Kendaraan semewah Ferrari atau Lamborghini pun akan menjadi mesin yang tidak bisa melakukan apa-apa. Manusia diberi pilihan mau mengendarai kuda atau sepeda untuk bisa mencapai tujuan dengan cepat.
Jangan lupa, uang yang merupakan alat ciptaan manusia untuk mempermudah transaksi pun juga telah memperbudak kita sejak lama. Tentu Pembaca sudah bosan mendengar berita tentang bagaimana serakahnya manusia demi mendapatkan uang.
Manusia rela melakukan banyak hal tercela untuk bisa mendapatkan uang, yang ia gunakan untuk memenuhi hawa nafsunya yang tak berbatas. Kalau perlu menyengsarakan manusia satu negara, mereka akan melakukannya tanpa peduli sama sekali.
Contoh-contoh di atas rasanya sudah cukup memberikan gambaran bagaimana kita manusia sudah diperbudak dan dibuat ketergantungan dengan ciptaan kita sendiri. Apalagi, kita baru akan memasuki era AI yang tampaknya akan dengan mudah membuat kita ketergantungan.
Lantas, Apa yang Harus Kita Lakukan?
Apa Kita Siap Hidup Tanpa Internet? (YouTube)
Kita sekarang mengetahui bahwa manusia diperbudak oleh ciptaannya sendiri? Lantas, apa yang harus kita lakukan sebagai manusia agar tidak diperbudak oleh ciptaannya sendiri? Apakah kita harus kembali hidup ala zaman batu ketika kita belum menemukan apa-apa?
Kalau Penulis, rasanya sekarang kita berada di situasi yang hampir tidak memungkinkan untuk lepas seutuhnya segala hal yang telah kita ciptakan. Tak mungkin juga kita mengambil langkah ekstrem dan meninggalkan semua teknologi yang ada.
Menurut Penulis, apa yang dimaksud dari peringatan Hans adalah bagaimana kita sebagai manusia harus selalu ingat kalau teknologi yang kita buat adalah alat yang harus kita kendalikan, bukan kita yang justru oleh dikendalikan.
Sesederhana contoh media sosial, jangan mau kita terus diperbudak dengan terus melakukan scrolling tanpa batas dan membuat diri kita menjadi komoditas platform untuk dijual ke pengiklan. Kita harus bisa mengontrol durasi penggunaan media sosial kita.
Penggunaan listrik pun ada baiknya kita kontrol dengan bijaksana. Jangan di siang hari kita menyalakan semua lampu padahal ruangan cukup terang. Jangan mentang-mentang kita bisa bayar, lantas membuang-buang energi seperti itu.
Para ilmuwan atau siapapun itu yang telah menciptakan berbagai hal memang membuatnya untuk mempermudah kehidupan kita sebagai manusia. Kita harus berterima kasih kepada mereka karena hidup kita menjadi lebih mudah karena ciptaan-ciptaan mereka.
Selain itu, jangan sampai kita sebagai manusia justru akan dimusnahkan oleh ciptaan kita sendiri. Kepandaian manusia justru digunakan untuk membuat senjata pemusnah massal. Namun, itulah realita yang sedang terjadi saat ini.
Kutipan yang diucapkan oleh Jonas juga bisa diartikan bahwa ada masanya manusia akan membuat senjata yang ternyata tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Contoh mudahnya, lihat saja Ultron yang dihadapi oleh para Avengers.
Semoga saja hal tersebut tidak pernah terjadi, baik di masa kini maupun di masa depan. Semoga manusia cukup bijak untuk memanfaatkan ciptaan-ciptaannya. Jangan sampai kehidupan di bumi ini rusak hanya karena kita tidak mampu mengendalikan apa yang kita ciptakan.
***
Lawang, 29 November 2024, terinspirasi ketika membaca buku Filsafat Moral karya Fahruddin Faiz
Renungan
Bagaimana Jika Air Bersih di Bumi Habis?
Dalam beberapa hari terakhir, di daerah Penulis terjadi “krisis air” yang cukup menyusahkan, walau belum sampai tahap berbahaya. Penulis tidak mengetahui apa penyebabnya, tapi yang jelas tandon Penulis yang terletak di atas hampir tidak pernah terisi.
Untungnya, keran depan masih bisa mengalirkan air dengan lancar, sehingga setidaknya Penulis sekeluarga tinggal memasang selang hingga ke kamar mandi. Walau sedikit merepotkan, setidaknya “krisis air” ini masih bisa teratasi dengan baik.
Mengalami hal seperti ini membuat Penulis kembali merenungkan satu hal yang sebelumnya sudah sering direnungkan: bagaimana jika air bersih di bumi sampai habis? Mumpung momennya pas, Penulis ingin membahas tentang hal ini.
Pengalaman Krisis Air Paling Parah
Ilustrasi Krisis Air (AllianzGI)
Krisis air yang Penulis alami saat ini bukanlah yang paling parah yang pernah Penulis hadapi. Sewaktu magang di Tangerang, rumah teman Penulis sempat mengalami mati air sama sekali hingga kami harus pergi ke rumah saudaranya untuk meminta air.
Waktu itu, kami harus memasukkan air ke dalam tangki berwarna biru, lalu harus mengangkatnya ke mobil dan menurunkannya di rumah. Karena waktu itu magang, tentu tidak mungkin Penulis tidak mandi sebelum berangkat ke kantor.
Untuk menghemat, Penulis harus pandai-pandai mengelola air ketika mandi. Penulis ingat pernah memanfaatkan tidak sampai sepuluh guyuran gayung lengkap untuk sikat gigi, keramas, dan menyabuni badan. Segitunya untuk menghemat air yang berhenti mengalir.
Tentu saja pengalaman krisis tersebut tidak ada apa-apanya dengan orang lain, katakanlah di Afrika. Penulis ingat di salah satu video pesulap David Blaine, ada orang Afrika yang melatih kemampuan menyimpan air bersih di perutnya karena di negaranya, air bersih sangat sulit untuk didapatkan.
Jika mengingat hal-hal seperti ini, Penulis sering termenung ketika air bersih sedang melimpah. Misal ketika berwudhu, Penulis menyadari ada banyak sekali air bersih yang terbuang ketika transisi dari satu gerakan ke gerakan lain.
Saat krisis air seperti yang terjadi seperti sekarang, Penulis jadi harus benar-benar berhemat ketika berwudhu dengan tetap memastikan kalau semua bagian tubuh yang diwajibkan harus terkena air. Kira-kira butuh sekitar 10 gayung.
Dengan keterbatasan air seperti sekarang, Penulis jadi merasa bersyukur selama ini masih bisa menikmati air bersih yang sangat melimpah. Pertanyaan besarnya, sampai kapankah kita bisa menikmati air bersih seperti saat ini?
Kerusakan Alam yang Makin Parah
Pencemaran Air karena Hilirisasi (WALHI Sulsel)
Ada banyak sekali alasan mengapa Penulis berpendapat bahwa air bersih di bumi bisa saja akan sulit untuk diakses oleh manusia, bahkan yang tinggal di peradaban paling modern sekalipun. Satu alasan paling kuat adalah perusakan alam yang makin menggila.
Contoh yang paling dekat adalah bagaimana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang memengaruhi air bersih yang bisa dinikmati oleh warga sekitar. Dalam video dokumentasi yang dibuat oleh tim Narasi, bisa dilihat bagaimana perjuangan mereka untuk mendapatkan air bersih, termasuk harus mengeluarkan uang yang cukup besar.
Selain itu, proyek hilirisasi yang terjadi di berbagai tempat juga bisa mengakibatkan buruknya kualitas air penduduk sekitar. Hilirisasi yang ugal-ugalan membuat sumber air mereka menjadi tercemar dan tidak bisa dimanfaatkan seperti dulu lagi.
Belum lagi kebiasaan buruk kita untuk membuang sampah ke sungai. Kualitas air pun menjadi sangat tercemar seperti yang terjadi di banyak perkotaan, di mana kualitas airnya kalah jauh dari kualitas air di pedesaan.
Selain itu, jangan lupa kalau dalam peperangan, terkadang ada cara-cara jahat dengan meracuni sumber air. Tentu ini strategi yang tidak manusiawi dan dampaknya pun bisa mengakibatkan butterfly effect yang tidak sepele.
Tentu banyak manusia yang menyadari potensi hilangnya air bersih dari permukaan bumi. Para ilmuwan ataupun akademisi banyak yang berupaya untuk membuat teknologi untuk mengelola air-air yang awalnya tidak bisa digunakan menjadi bisa digunakan.
Namun, seberapa banyak orang yang dapat merasakan manfaat tersebut? Teknologi-teknologi semaju itu biasanya membutuhkan biaya yang tinggi. Jika teknologi tersebut memang bisa digunakan secara murah dan massal, tentu krisis air di dunia sudah bisa teratasi.
***
Perlu diingat bahwa meskipun planet bumi didominasi oleh air, hanya sekitar 2-3% air bersih yang bisa digunakan oleh manusia untuk berbagai kebutuhan. Sisanya merupakan air laut yang sangat sulit untuk dimanfaatkan karena tingginya kandungan garam yang dimiliki.
Jika air bersih di bumi sampai benar-benar habis, maka rasanya krisis akan terjadi di mana-mana. Perang untuk memperebutkan sumber air yang masih bersih sangat mungkin terjadi. Manusia yang bisa bermutasi dengan meminum air kotor akan menjadi spesies yang bertahan.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya kita lebih menghargai dan mensyukuri air bersih yang bisa kita nikmati dengan melimpah saat ini. Jangan membuang-buang air bersih untuk hal yang mubazir, gunakan dengan sebijak mungkin.
Lawang, 7 Oktober 2024, terinspirasi setelah air di rumah mengalami pengurangan volume
Foto Featured Image: illustrate Digital Ug
-
Film & Serial4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Menonton Deadpool & Wolverine
-
Film & Serial3 bulan ago
Gara-Gara Black Myth: Wukong, Saya Jadi Rewatch Kera Sakti
-
Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Teruslah Bodoh Jangan Pintar
-
Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #22: Chinatown
-
Politik & Negara4 bulan ago
Peringatan Darurat: Apa Memang Sedarurat Itu Situasi Politik Saat Ini?
-
Non-Fiksi3 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Ngomongin Uang
-
Olahraga5 bulan ago
Kemenangan Perdana yang Awkward Bagi Oscar Piastri di Formula 1
-
Musik3 bulan ago
Menatap Era Baru Linkin Park Bersama Emily Armstrong
You must be logged in to post a comment Login