Setelah UAS, tidak ada kejadian yang istimewa di kelas. Semua berjalan seperti biasa, tidak adalah lagi peristiwa yang membuat kami gempar. Tentu aku tidak memberitahukan perihal foto-foto yang aku dan Kenji temukan kepada teman-teman sekelas. Selain karena pada dasarnya aku tidak suka bercerita, aku tidak menemukan alasan mengapa teman-teman akan merasa tertarik dengan foto tersebut.
Hari ini, ketika mata pelajaran agama, kami disuruh menghafalkan beberapa ayat Al-Quran beserta artinya sebagai persiapan ujian kenaikan kelas. Nanti oleh guru kami, pak Gatot, akan disuruh maju satu per satu untuk diuji tingkat kehafalan kami. Hafalan bukan masalah bagiku, namun aku tidak tahu bagaimana pelafalan yang benar. Oleh karena itu, aku memutuskan pindah ke bangku Sica yang ditinggal pemiliknya untuk belajar kepada Rena, anak yang dianggap paling alim di antara kami.
“Hai Ren, aku mau minta bantuan kau.”
“Wih tumben amat Le? Bukannya kamu jago hafalan ya?”
Aku memberitahukan alasanku datang kepadanya.
“Oh gitu, ya udah sini aku kasih tau.”
Ketika Rena mengajariku, satu per satu teman sekelas ikut bergabung dengan kami, mendengarkan pelajaran dari Rena. Pak Gatot merupakan tipe guru yang tidak betah di kelas, sehingga beliau sedang keluar ruangan sampai waktunya kami dipanggil satu per satu.
***
Kelas selesai setelah semua teman satu kelas berhasil menyelesaikan hafalan. Padahal, jam pelajaran belum berakhir, masih kurang 30 menit sebelum pelajaran selanjutnya. Mungkin guru agama kami tersebut memahami beban kami sebagai anak akselerasi, sehingga beliau memberikan waktu untuk kami beristirahat.
Aku masih duduk di tempat Sica. Sekali-kali aku ingin mencoba bagaimana rasanya duduk di depan, bukan di sudut ruangan. Ternyata, sama saja. Tidak ada yang berbeda, kecuali jarak pandang yang lebih dekat. Malah, menurutku, lebih nyaman duduk tersembunyi di belakang sana.
Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh pundakku. Kutolehkan kepalaku, Rena lah pelakunya.
“Kayaknya betah nih duduk di tempat Sica.”
Untunglah, menguasai ekspresi menjadi salah satu keahlianku, sehingga aku tidak salah tingkah ketika Rena berkata seperti itu.
“Ini mau balik ke bangkuku.” jawabku datar.
“Yeee, gitu aja ngambek. Bercanda Le.”
“Aku memang mau balik Ren.”
“Sini dulu aja, ngobrol sama aku. Kita bahas masa-masa SMP.”
Masa SMP? Sepertinya menarik mengetahui bagaimana diriku di masa kegelapan tersebut dari kacamata orang lain.
“Aku sebenarnya ingin tahu, bagaimana orang lain melihatku ketika SMP.”
“Wah banyak Le sebenarnya, aku sering mendengar kamu dibahas sama teman-teman sekelasku. Kamu yakin enggak akan emosi waktu aku cerita?”
“Yakin.”
“Hmmm, coba aku ingat-ingat,” katanya sambil menengadah ke langit-langit kelas, “rata-rata semua anak membencimu karena arogansimu.”
“Aku sudah tahu.”
“Mereka juga pernah bilang kamu sangat mengerikan kalau sudah berkelahi.”
“Itu juga aku sudah tahu.”
“Mereka kesal banget ke kamu sampai bilang kamu itu…” Rena menutup mulutnya, tidak meneruskan kalimatnya.
“Aku apa?”
“Enggak Le, bukan apa-apa.”
“Aku apa?” kuulangi pertanyaanku dengan nada yang lebih tinggi.
“Enggak Le, beneran.” ia tidak berani memandang mataku.
Aku menggebrak meja Rena dan mengulangi lagi pertanyaanku.
“AKU APA?”
“Leon, tenanglah, kamu membuat Rena ketakutan.” sebuah tangan menyentuh pundakku, seolah memberi energi positif untuk menetralisir emosiku. Siapa lagi kalau bukan Kenji.
Tanpa merespon Kenji, aku bangkit dari meja Sica untuk kembali ke bangkuku, meninggalkan Rena yang sudah setengah menangis.
***
Kejadian tadi membuatku memutuskan untuk keluar kelas setelah kelas sepi, bahkan meminta Kenji untuk pulang terlebih dahulu. Aku ingin sendiri terlebih dahulu, menyesali perbuatan kasarku ke Rena. Mungkin hal yang akan dikatakan Rena hanya akan menyakiti perasaanku, sehingga ia menahan fakta yang ia ketahui. Ia hanya ingin menjaga perasaanku, namun aku justru membentaknya. Besok, aku harus minta maaf ke Rena.
Berangsur-angsur kelas mulai sepi ditinggal penghuninya. Semakin sunyi sekitarku, semakin ramai pikiranku. Keheningan inilah yang kubutuhkan untuk interopeksi diri. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika tidak ada Kenji yang menenangkan diriku. Bukan, Kenji hanya perantara Tuhan untuk mengontrol diriku.
Selang beberapa menit, aku melihat seseorang mengintip kelasku. Orang yang tidak kuharapkan muncul ketika suasana hatiku buruk.
“Lo, Leon, belum pulang?” tanya Malik dengan melangkah masuk menuju arahku.
“Ada urusan apa?” kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan.
“Aku hanya kangen kelas lamaku kok, ternyata masih ada yang belum pulang.”
Aku tidak merespon perkataannya. Aku tidak akan lupa wajah asli yang tersembunyi dari topeng manisnya tersebut.
“Oh ya Le, kamu tau enggak sih kalau kita satu SMP?”
Aku sempat terkejut mendengar pertanyaan ini. Untunglah, seperti kataku tadi pagi, aku pandai menyembunyikan ekspresi.
“Tidak.”
“Wah aku tersinggung lo Le, padahal aku sering memperhatikan dirimu waktu SMP. Anak jenius yang sering dipuji oleh guru, walaupun kamu selalu menyendiri.”
Aku tetap diam tidak merespon dirinya.
“Mungkin jika aku mengalami kejadian seperti yang kamu alami, aku juga akan menjadi penyendiri seperti dirimu.”
Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku mendengar pernyataannya. Kutatap kedua matanya, yang tetap berada di balik topeng munafik tersebut.
“Apa maksudmu?”
“Mungkin tidak semua tahu Le tentang tragedi keluargamu tersebut, tapi aku tahu.”
“Aku tidak paham maksudmu.”
Sebenarnya aku tahu ke mana arah pembicaraannya, namun aku tidak percaya ada orang lain yang mengetahui kejadian tersebut.
“Aku ada di sana Le, ketika ambulan datang menuju rumahmu dan membawa tubuh ibumu. Kamu lupa, aku tinggal di depan rumahmu waktu itu sebelum pindah.”
Aku terdiam, sama sekali tidak bisa memberikan reaksi kepada Malik. Ia tetap memasang wajah penuh perhatian, walaupun aku merasa ada tawa di balik itu.
“Aku berusaha untuk menghiburmu Le, menjadi temanmu, namun kamu tidak pernah menghiraukanku.”
Perlahan aku ingat sedikit memori tentang Malik ketika aku kecil. Ya, wajahnya memang nampak familiar jika diperhatikan baik-baik.
“Kau kakak dari Ucup?”
“Nah itu kamu ingat, tapi mungkin kamu belum dengar kabarnya. Ucup meninggal satu tahun yang lalu, aku kehilangan adikku.”
Meskipun tidak pernah akrab dengan teman satu kampung, aku merasa sedih mengetahui fakta bahwa satu dari mereka telah tiada. Meskipun demikian, tidak ada ucapan belasungkawa pun yang keluar dari mulutku.
“Seandainya aku tidak pindah rumah, mungkin kamu sudah kuajak tinggal bersamaku Le.”
“Seandainya begitu, aku akan menolaknya.”
“Begitu ya, hahaha, kalau gitu aku balik dulu ya.”
Ia segera berbalik dan melangkah keluar kelas, mungkin topengnya hampir lepas menghadapiku. Segala kebaikan yang ia ucapkan kepadaku tak lebih dari sekadar omong kosong. Aku tak akan pernah menerima kebaikan yang palsu seperti itu.
“Oh iya, omong-omong,” Malik yang sudah di ambang pintu berbalik, “aku berusaha memberitahu teman-teman yang lain alasan mengapa kamu seperti itu. Harapanku, dengan mengetahui kondisimu, pikiran mereka akan berubah. Sayangnya, aku salah, itu tidak mengubah pikiran mereka tentangmu.”
Kali ini aku langsung berdiri menghampirinya dan menarik kerahnya.
“Maksudmu, kau menyebarkan aib keluargaku?”
“Aib? Itu bukan aib Le, itu kejadian nyata. Mereka berhak tau apa yang terjadi.”
“Kau tidak punya hak untuk menyebarkan kejadian itu, brengsek.”
“Lalu bagaimana? Itu sudah terjadi. Lagipula, itu tidak akan terjadi seandainya kamu tidak mengasingkan diri Le. Aku ulangi lagi, aku hanya berusaha untuk membantu.”
“Kau sama sekali tidak membantu.”
“Kalau gitu, aku minta maaf, okay, aku minta maaf.”
Aku melepas tarikanku dengan sedikit mendorongnya. Ia agak terbatuk setelah kulepaskan. Setelah diperlakukan seperti itu, topengnya tetap tidak mau terlepas di hadapanku.
“Kau juga cerita itu kepada teman sekelasku?”
“Hanya kepada yang membicarakanmu di belakang. Aku rasa tidak perlu menyebutkan siapa. Yang jelas, teman-teman sekelasmu tidak pernah membicarakanmu lagi semenjak perubahanmu.”
Aku meninggalkannya begitu saja, kembali masuk ke dalam kelas. Rahasia yang selama ini berusaha kusembunyikan ternyata disebar begitu saja oleh Malik. Percuma saja selama ini aku diam, ada mulut-mulut orang lain yang menyebarkan aibku. Berawal dari satu orang, menyebar perlahan ke orang lain seperti virus. Aku merasa tahu apa yang akan diucapkan oleh Rena tadi pagi.
“Mereka kesal banget ke kamu sampai bilang kamu itu tidak diinginkan oleh orangtuamu.”
Aku meletakkan kepala di mejaku, dan tanpa bisa kutahan, aku mulai terisak menangis meratapi nasibku sebagai anak yang tidak diinginkan oleh orangtuanya.
You must be logged in to post a comment Login