Pengembangan Diri
Cara Menghargai Diri Sendiri

Ketika sedang menelusuri linimasa Instagram, tanpa sengaja Penulis menemukan sebuah pos dari akun @komikin_ajah. Ada yang berbeda dengan pos tersebut sehingga menarik minat Penulis.
Biasanya, akun ini akan mengunggah komik bergenre komedi. Akan tetapi, di pos ini mereka mengunggah gambar berjudul Beberapa Cara Berpikir yang Membuatmu Sulit Menghargai Dirimu Sendiri.
Ketika di-swipe ke kiri, poin-poin yang disampaikan oleh komik karya @petualanganmenujusatu ini sangat related dengan kehidupan Penulis. Pembaca bisa membacanya melalui embed link berikut ini:
Karena merasa related, Penulis pun berpikir untuk menjabarkan poin-poin yang disampaikan berdasarkan pengalaman dan pemikiran Penulis. Harapannya, tulisan ini bisa menjadi motivasi untuk kita semua yang kesulitan untuk menghargai diri kita sendiri.
1. Negative Self-Labeling

Hal pertama yang membuat kita susah untuk menghargai diri kita sendiri adalah adanya negative self-labeling alias mengecap diri kita dengan hal-hal negatif.
Semua sudah mengetahui kalau manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sialnya, kita terkadang terlalu fokus dengan kekurangan diri hingga lupa dengan kelebihan yang dimiliki.
Mungkin kita merasa diri ini emosian, mudah baper, kurang percaya diri, ceroboh, malas, peragu, egois, toxic, dan lain sebagainya. Akibatnya, kita merasa kalau diri kita hanya terdiri dari sifat-sifat negatif tersebut.
Padahal, mungkin kita orang yang suka menolong orang lain, punya empati, tulus, pekerja keras, memiliki etos kerja yang baik, ramah, tidak sombong, dan lainnya. Sikap-sikap positif tersebut seolah tertutup dengan label negatif yang kita sematkan ke diri sendiri.
Jika kita kesulitan untuk menemukan apa kelebihan diri sendiri, tidak ada salahnya minta tolong kepada orang lain untuk menunjukkan apa kelebihan kita. Dengan mengetahui apa kelebihan diri, kita pun bisa menghindari untuk melabeli diri secara negatif.
2. Disqualifying the Positives

Salah satu penyebab mengapa kita dengan mudahnya melabeli diri sendiri secara negatif adalah kita yang kerap melakukan disqualifying the positive atau mengerdilkan hal positif yang terjadi.
Entah mengapa ketika kita meraih achievement atau suatu keberhasilan, ada saja bisikan-bisikan negatif yang seolah melakukan denial kalau kita berhasil meraih atau mendapatkan sesuatu.
Jika tidak begitu, kita akan mencari alasan eksternal yang menyebabkan kita berhasil, seperti berkat bantuan orang lain, keberuntungan, dan lain-lain. Sebenarnya tidak salah, tapi kalau sampai membuat tidak menghargai diri sendiri ya jangan.
Terkadang, kita juga berpikir seperti ini gara-gara omongan dan nyinyiran orang lain. Kita yang cenderung susah untuk mengabaikan perkataan orang pun jadi terpengaruh dan memercayai kata mereka.
Bisa dibilang, poin kedua ini adalah poin yang paling tidak related dengan kehidupan Penulis. Setidaknya, Penulis masih mengapresiasi dirinya ketika berhasil melakukan sesuatu.
3. Personalisation & Blaming

Di antara empat poin yang ada di artikel ini, bisa dibilang personalisation & blaming adalah yang paling sering Penulis lakukan. Setiap ada sesuatu, dikit-dikit akan menyalahkan dirinya sendiri.
Parahnya, kita menyalahkan diri terhadap sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan. Teman balas singkat, merasa kita merusak mood-nya. Bertengkar sama pasangan, kita terus merasa bersalah sudah membuat dia marah.
Kita perlu menyadari bahwa ada banyak sekali yang tidak bisa kita kendalikan, termasuk orang lain. Yang benar-benar bisa kita kendalikan hanya diri kita sendiri, pikiran kita sendiri, perasaan kita sendiri.
Bisa dibilang, hanya menyalahkan diri sendiri tidak akan memberikan manfaat apa-apa bagi kita. Ia hanya akan merusak diri dan membuat kita melabeli diri secara negatif yang ujung-ujungnya susah untuk menghargai diri sendiri.
Merasa bersalah itu normal, tapi lebih baik kita gunakan untuk interopeksi dan memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik lagi. Percuma saja jika merasa bersalah, tapi tidak ada aksi untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
4. Jumping to Conclusions

Poin-poin yang ada artikel ini memiliki sumber yang sama: overthinking. Kita ini kadang terlalu banyak berpikir sehingga hal-hal yang sederhana dibuat rumit, hingga susah untuk mengapresiasi diri sendiri.
Jumping to conclusion atau kerap membuat kesimpulan terlalu dini adalah buah dari overthinking. Poin di nomor 3 bisa terjadi karena kita langsung loncat ke kesimpulan yang kita buat sendiri.
Parahnya, kesimpulan yang kita buat kerap bernada negatif ke arah diri sendiri. Padahal, tidak ada yang bukti konkrit yang mendukung kesimpulan tersebut. Semua hanya pikiran kita sendiri yang belum tentu benar dan seringnya tidak pernah benar.
Ketika menghadapi sesuatu yang kurang menyenangkan, seperti mood teman yang tiba-tiba berubah, berusahalah untuk mendiamkan otak dan tidak berpikir yang macam-macam. Alihkan perhatian ke hal lain agar kita tidak membuat kesimpulan sembarangan.
Cobalah untuk berhenti berpikir. Tidak semua terjadi karena salah kita. Tidak perlu menyimpulkan sesuatu di dalam otak kita. Biarkan semua mengalir saja, tidak perlu disimpulkan.
Penutup
Sudah lama Penulis menyadari bahwa dirinya kerap melakukan empat poin di atas. Oleh karena itu, Penulis coba mempelajari Stoik melalui beberapa buku seperti Filosofi Teras yang intinya mengajari bahwa banyak hal yang tidak bisa kita kendalikan.
Hanya saja, untuk bisa mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari memang tidak mudah. Bagi kaum pemikir seperti Penulis, berhenti overthinking itu sama susahnya dengan berhentinya orang yang kecanduan opium.
Sifat overthinking tersebut memicu kita untuk susah menghargai diri sendiri. Belum lagi adanya faktor lain seperti lingkungan yang toxic, trauma, ataupun situasi lain yang membuat kita susah untuk melakukannya.
Hanya saja, kitalah yang paling mampu untuk menghargai diri sendiri. Kalau kita saja tidak menghargai diri sendiri, gimana orang lain bisa menghargai kita?
Semoga saja setelah membuat tulisan ini, Penulis dan para Pembaca yang merasa related bisa lebih menghargai diri sendiri. Memang susah, tapi bisa. Ayo kita sama-sama belajar dan mendukung satu sama lain.
Lawang, 11 Agustus 2021, terinspirasi setelah menemukan sebuah pos dari @petualanganmenujusatu
Foto: Giulia Bertelli
Pengembangan Diri
Belajar Melepas Perasaan Bersalah dari Kosan 95

Hari ini (24/8), Penulis kembali membuka aplikasi Webtoon setelah sudah cukup lama tidak menggunakannya. Salah satu komik yang ingin Penulis baca adalah kelanjutan dari Kosan 95 yang sedang memasuki babak akhirnya.
Terakhir kali membaca, ceritanya sedang berfokus pada karakter Budi yang merupakan salah satu anggota kos. Waktu kecil, ia berteman baik dengan Faisal dan Fani (saudara kembar, anggota Kosan 95 juga), yang dijauhi teman-teman sebayanya karena dianggap anak haram.
Budi menjadi kawan pertama mereka yang benar-benar terlihat baik, peduli, dan tulus. Namun, tiba-tiba Budi menghilang begitu saja dari kehidupan Faisal dan Fani, yang pada akhirnya menimbulkan perasaan bersalah pada Budi untuk waktu yang sangat lama.
SPOILER AHEAD!!!
Ringkasan Cerita hingga Budi Merasa Bersalah

Alasan awal Budi berteman dengan Faisal dan Fani adalah untuk membantu ayahnya, yang bekerja untuk keluarga Jaya. Ayahnya memiliki misi untuk memata-matai Faisal dan Fani, di mana mereka adalah bagian dari keluarga Sundari yang merupakan saingan keluarga Jaya.
Setelah misi tersebut selesai, Budi pun meninggalkan Faisal dan Fani, meskipun ia sebenarnya sangat menyayangi mereka. Nasib pun mempertemukan mereka kembali, di mana Budi langsung kabur karena ada perasaan bersalah setelah apa yang ia lakukan di masa lalu.
Budi berpikir kalau dirinya tidak bisa bertemu dan berhubungan lagi dengan Faisal dan Fani karena ia telah menyakiti mereka. Meskipun ia kerap sedih karena perasaan bersalah tersebut, ia merasa takut ketika akhirnya dipertemukan dengan mereka berdua.
Namun, akhirnya Budi memutuskan untuk menerima tawaran keluarga Jaya untuk bergabung dengan Kosan 95, agar ia memiliki kesempatan untuk menebus dosanya kepada Faisal dan Fani.
Sayangnya, yang ada perasaan bersalah tersebut justru terus tumbuh karena ia belum menemukan jawaban mengenai bagaimana cara menebus kesalahannya. Apalagi, ternyata hubungan Faisal dan Fani pun memburuk karena suatu hal.
Saat bertemu dengan Fani pertama kali di Kosan 95, Fani langsung meminta tolong untuk membantunya berbaikan dengan Faisal. Hubungan buruk mereka langsung terbukti ketika Faisal langsung mengusir Fani begitu melihatnya.
Hal tersebut membuat Budi semakin merasa bersalah. Masa-masa awal Budi di Kosan 95 pun penuh dengan konflik batin. Ia menyesal karena di masa lalu dirinya lebih banyak diam, ketika ada banyak hal yang sebenarnya bisa ia lakukan untuk Faisal dan Fani.
Bagaimana Budi (dan Fani) Berusaha Menghilangkan Perasaan Bersalahnya

Selama bertahun-tahun, perasaan bersalah itu terus menghinggapi Budi seolah tak bisa disingkirkan. Ia merasa tidak bisa menebus kesalahan tersebut dan layak untuk mendapatkan maaf.
Budi pun mendapatkan nasehat dari Pak Agus, penjaga Kosan 95, yang mengatakan kalau Budi harus bisa menjadi penengah antara Faisal dan Fani layaknya teman yang bersikap adil. Pak Agus juga mengatakan kalau konflik yang terjadi antara mereka bukan salah Budi.
Pak Agus juga mengingatkan kalau Budi harus merelakan apa yang telah terjadi di masa lalu dan jangan berlarut-larut di dalam penyesalan tanpa akhir. Daripada seperti itu, lebih baik fokus dengan melakukan apa yang bisa diperbaiki sekarang dan terus maju.
Akhirnya seiring berjalannya waktu, Budi merasa bahwa penebusan dosa yang mungkin bisa ia lakukan adalah membuat Faisal dan Fani berdamai seperti dulu lagi. Mereka bertiga pernah akrab dan saling berbagi tawa, dan ia ingin hal tersebut bisa terjadi lagi saat ini.
Sebenarnya bukan cuma Budi yang memiliki perasaan bersalah, karena Fani pun juga merasa bersalah ke Faisal. Alasan mereka menjadi renggang adalah karena Fani justru tidak percaya kepada Faisal di saat saudara kembarnya tersebut sedang membelanya.
Merasa dirinya begitu egois, Fani pun menyesal dan terus berusaha untuk memperbaiki hubungannya dengan Faisal. Berbagai hal ia berusaha lakukan dan berikan untuk menyenangkan Faisal, meskipun kerap mendapatkan respons yang kurang mengenakkan.
Belajar Melepas Perasaan Bersalah dari Kosan 95

Dari kisah hubungan antara Budi, Faisal, dan Fani di atas, kita bisa belajar beberapa hal mengenai cara melepas perasaan bersalah yang membelenggu kita. Penulis yakin, kebanyakan dari kita pernah mengalami perasaan yang dialami oleh karakter-karakter Kosan 95.
Sebagai manusia, tentu kita pernah berbuat salah, baik ke diri sendiri maupun orang lain. Bagi sebagian orang, berbuat salah ke orang lain bisa menimbulkan perasaan bersalah yang begitu dalam, seolah tidak ada hal yang bisa dilakukan untuk menghilangkannya.
Penulis sendiri pernah merasa seperti itu dan mencoba berbagai cara, mulai dari minta maaf, berusaha memperbaiki keadaan, mengubah diri menjadi lebih baik, dan lain sebagainya. Kurang lebih sama seperti yang sedang dilakukan oleh Budi dan Fani.
Namun, sama seperti yang dirasakan Budi, perasaan bersalah itu masih saja hinggap. Pada akhirnya Penulis menyadari kalau pada akhirnya kitalah yang harus bisa memaafkan dan berdamai dengan diri sendiri atas kesalahan yang sudah diperbuat.
Seperti yang dikatakan oleh Pak Agus, pada akhirnya kita harus merelakan apa yang sudah terjadi dan fokus dengan hari ini. Terbelenggu dengan perasaan bersalah yang kita buat sendiri hanya akan menghambat kita untuk melangkah maju.
Jika kita sudah bisa melakukan hal tersebut, proses memaafkan dan berdamai dengan diri sendiri pun akan lebih mudah kita lakukan. Nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terlanjur. Mari kita sama-sama belajar untuk melepaskan perasaan bersalah yang ada di dalam diri kita.
Lawang, 24 Agustus 2023, terinspirasi setelah membaca Webtoon Kosan 95
Pengembangan Diri
Hasil Itu Ada di Luar Kendali Kita

Berapa kali dalam kehidupan kita mengalami kegagalan? Berapa kali apa yang kita harapkan tidak menjadi kenyataan? Tak peduli sekeras apapun berusaha, tak peduli selantang apapun berdoa, ternyata hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Penulis juga termasuk orang yang pernah mengalami kegagalan. Gagal diterima bekerja di NET TV, gagal mendapatkan beasiswa hingga empat kali, hingga gagal dalam menjaga hubungan baik dengan orang lain.
Ujung-ujungnya, Penulis jadi menyalahkan diri sendiri karena merasa usahanya masih kurang maksimal. Seolah selalu ada kekurangan di dalam diri Penulis yang membuatnya gagal. Perasaan menyesal dan bersalah pun muncul, yang memicu negative self-talk.
Namun, seiring dengan bertambahnya usia, Penulis semakin memahami bahwa sebenarnya ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa kita kendalikan. Hasil dari sesuatu yang kita kejar adalah salah satunya.
Usaha (dan Doa) Bisa Kita Kendalikan
Dalam beberapa tahun terakhir, Penulis berusaha mendalami sebuah filsafat bernama stoisme atau stoik. Alasannya sederhana, karena Penulis merasa kalau penerapan dari filsafat ini sangat cocok untuk orang yang mudah overthinking seperti Penulis.
Diawali dari membaca buku Filsafat Teras, Penulis pun berusaha mencari referensi lain baik dari buku, posting di media sosial, maupun video. Salah satu hal yang benar-benar Penulis pelajari adalah mengenai dikotomi kendali.
Penulis baru menyelesaikan membaca novel grafis Dunia Sophie, di mana Penulis menemukan satu kutipan yang dapat menggambarkan tentang apa itu dikotomi kendali. Berikut adalah kutipan tersebut:
“Berilah aku keberanian untuk mengubah apa yang bisa kuubah, ketenangan untuk menerima yang tak bisa diubah, dan kebijaksanaan untuk membedakan keduanya.”
Secara sederhana, stoisme mengajak kita untuk membedakan mana yang bisa kita kendalikan (yang sejatinya hanya diri kita sendiri) dan mana yang tidak bisa kita kendalikan (apapun yang ada di luar kita).
Nah, dalam menyikapi sebuah kegagalan dalam hidup, kita harus memahami yang bisa kita kendalikan adalah usaha dan doa yang kita lakukan. Kita bisa mengendalikan diri mau berusaha dan berdoa sekeras apa. Apapun hasilnya nanti, itu sudah di luar kendali kita.
Hasil Tidak Bisa Kita Kendalikan
Kadang kita merasa, padahal sudah berusaha keras, padahal sudah berdoa hingga bangun di tengah malam, tapi kok masih gagal. Terkadang kita lupa, kalau hasil itu tidak bergantung pada apa yang telah kita lakukan. Banyak faktor lain yang memengaruhi sebuah hasil.
Katakanlah sebagai contoh upaya untuk mendapatkan beasiswa. Ketika mendapatkan pengumuman kalau kita gagal, muncul perasaan tidak percaya karena kita merasa sudah berusaha semaksimal mungkin.
Namun, kita lupa bahwa hasil ujian itu jauh di luar kendali kita. Bisa jadi ada peserta beasiswa lain yang berusaha lebih keras dari kita, lebih punya persiapan yang lebih panjang, punya privilege yang tidak kita miliki, atau bahkan murni karena keberuntungan.
Hasil yang tidak seusai dengan harapan, tidak sepenuhnya gara-gara kita. Sekali lagi, ada banyak faktor eksternal yang mungkin tidak akan pernah kita tahu. Itu yang membuat hasil tidak akan pernah bisa kita kendalikan.
Selain itu, terkadang ketika akan mencoba sesuatu, kita sudah khawatir duluan dengan bagaimana hasilnya nanti. Sudah, yang penting usaha dulu, gimana hasilnya urusan nanti. Mong itu enggak bisa kita kendalikan, buat apa terlalu dipusingkan.
Oleh karena itu, ada baiknya kita memfokuskan perhatian kita terhadap apa yang bisa kita kendalikan. Cukup fokus berusaha dan berdoa sebaik mungkin. Setelah itu, kita hanya bisa mempasrahkan diri kepada Tuhan tentang hasilnya.
Penutup
Salah satu alasan mengapa Penulis begitu tertarik dengan stoisme adalah karena Penulis merasa penerapannya sesuai dengan agama Penulis. Di dalam agama, kita diminta untuk berusaha dan berdoa, lantas berpasrah diri kepada Tuhan.
Hidup yang tidak sesuai dengan ekspektasi memang menyebalkan. Seperti kata orang, mau sebagus apapun manusia merencanakan, tetap Tuhan yang menentukan. Maka, buat apa kita terlalu memusingkan jika hasil yang kita terima tidak sesuai dengan keinginan?
Tentu manusiawi jika ada perasaan kecewa dan sedih jika hal tersebut terjadi. Namun, jangan terlalu berlarut-larut. Lebih baik kita mempersiapkan diri, sesuatu yang bisa kita kendalikan, untuk melanjutkan hidup. Usaha itu bisa kita kendalikan, hasil tidak.
Lawang, 4 Juli 2023, terinspirasi setelah menyadari kalau hasil, dalam apa pun, berada di luar kendali kita
Foto Featured Image: Andrew Neel
Produktivitas
Smartphone adalah Distraksi Terberat untuk Produktivitas

Banyak orang yang menginginkan hidup produktif. Namun, tidak banyak orang yang berhasil melakukannya. Beberapa alasannya adalah rasa malas, kurang motivasi, hingga adanya distraksi atau gangguan yang menghambat kita untuk produktif.
Rasa malas atau kurang motivasi berasal dari internal, sehingga cara mengatasinya pun mau tidak mau harus dari diri sendiri. Kita harus bisa mengendalikan diri kita sendiri untuk bisa mengusir hal-hal yang menghambat produktivitas tersebut.
Nah, lain halnya dengan adanya distraksi yang kerap datang dari luar atau eksternal diri kita. Bentuknya pun macam-macam. Namun, ada satu distraksi yang Penulis anggap sebagai yang terbesar sekaligus terbesar, yaitu adanya smartphone alias ponsel pintar.
Mengapa Smartphone adalah Distraksi Terbesar?

Selama beberapa tahun terakhir, smartphone kita terus berevolusi menjadi sebuah gawai yang sangat canggih, hingga seolah-olah kita bisa melakukan semua hal menggunakannya. Ini semakin dilengkapi dengan berbagai aplikasi yang jumlahnya mungkin mencapai jutaan.
Salah satu dampak terbesar yang dihasilkan oleh smartphone adalah meningkatnya interaksi antarmanusia hingga seolah tak berbatas ruang dan waktu. Kita bisa melihat berbagai kejadian di seluruh dunia hanya dalam kedipan mata saja melalui media sosial.
Ada banyak pilihan media sosial yang bisa kita gunakan, mulai Facebook, Twitter, Instagram, TikTok, hingga Pinterest. Sarana hiburan untuk menonton tayangan visual pun banyak, mulai yang gratis seperti YouTube hingga yang berbayar seperti Netflix, Disney+, Vidio, dan lainnya.
Jangan lupakan juga judul-judul game yang bisa membuat kita melupakan kehidupan kita sejenak di dunia nyata. Ada yang menyukai game kompetitif seperti Mobile Legends dan PUBG Mobile, ada juga yang suka bertualang di Genshin Impact.
Masih banyak yang bisa kita lakukan melalui smartphone, seperti membaca berita, membaca komik, melihat meme, membuat konten viral, dan lain sebagainya. Banyaknya aktivitas yang bisa dilakukan inilah yang membuat smartphone menjadi distraksi yang luar biasa.
Bayangkan, setelah merasa bosan dengan Instagram, beralik ke TikTok. Begitu bosan, pindah lagi ke Twitter. Bosan lagi, pindah main game. Capek, refreshing dengan menonton YouTube. Putaran aktivitas ini seolah tak pernah berhenti mengisi hari-hari kita.
Apalagi, kini semakin banyak platform yang menyediakan fitur infinity scroll di mana kita secara tak terbatas diberikan konten video pendek. Berdasarkan pengalaman Penulis, fitur ini kerap membuat kita merasa lupa waktu karena tidak tahu kapan harus berhenti.
Bagaimana agar Smartphone Tidak Menjadi Sebuah Distraksi?

Ketika sedang bekerja atau belajar, kita kerap beralih ke smartphone kita dengan dalih “refreshing” karena merasa suntuk. Niatnya hanya 5 menit, tahu-tahu bertambah menjadi 50 menit. Pekerjaan pun akhirnya tertunda, menumpuk, atau bahkan tidak selesai.
Penulis kerap berniat untuk menjalani hari yang produktif, seperti menulis beberapa artikel blog, membaca buku self-improvement, atau mulai menulis novel lagi. Namun, jika sudah main smartphone dan rebahan, niat tersebut pun sirna begitu saja, kalah oleh rasa malas.
Berdasarkan poin di atas, Penulis pun menganggap kalau smartphone adalah distraksi terbesar dalam produktivitas. Oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa cara agar kita bisa menghindari distraksi tersebut semaksimal mungkin.
Kalau yang mau ekstrem, Penulis di jam kerja biasanya menjauhkan smartphone sejauh mungkin dari jangkauan. Dengan membuatnya “tidak terlihat”, rasa penasaran ingin mengeceknya pun bisa menjadi berkurang.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan ketika merasa suntuk atau penat? Lakukan aktivitas fisik yang tidak melibatkan smartphone. Beberapa hal yang Penulis lakukan adalah baca buku, bermain bersama kucing, duduk melihat tanaman, hingga rebahan sejenak.
Seandainya tidak bisa menahan diri untuk mengecek smartphone, mungkin kita butuh bantuan aplikasi seperti Forest dan AppBlock. Bisa juga menggunakan fitur bawaan dari smartphone yang mengatur berapa jam maksimal kita menggunakan aplikasi tertentu.
Penulis merasa terbantu dengan aplikasi-aplikasi ini agar Penulis bisa berhenti membuka aplikasi-aplikasi tertentu di jam profuktif. Namun, terkadang diri kita pun “nakal” dan justru memilih untuk menghapus aplikasi-aplikasi tersebut.
Jadi, pada dasarnya semua kembali ke diri sendiri, apakah kita benar-benar ingin menghilangkan distraksi tersebut atau tidak. Kalau keinginan dan tekad kita benar-benar kuat, bahkan tanpa bantuan aplikasi pun kita bisa menyingkirkan distraksi tersebut.
Penutup
Selain smartphone, tentu masih ada distraksi lain mengingat kebanyakan aplikasi-aplikasi yang ada di smartphone juga tersedia di laptop. Namun, setidaknya laptop tidak bisa digunakan sambil rebahan karena kurang nyaman dan berat.
Oleh karena itu, Penulis benar-benar berusaha membatasi penggunaan smartphone hariannya karena terbukti sangat sering membuat hari Penulis menjadi tidak produktif. Entah sudah berapa banyak waktu yang terbuang karena smartphone ini.
Penulis pun memiliki target agar penggunaan smartphone dalam sehari tidak melebihi 5 jam. Sejauh ini, target ini relatif bisa dicapai di weekday karena adanya rutinitas pekerjaan. Di weekend, angka penggunaan bisa naik walau tidak terlalu banyak.
Dengan mengurangi penggunaan smartphone, Penulis berharap bisa menjadi pribadi yang lebih produktif lagi, memiliki pola hidup yang lebih teratur, dan mampu melakukan banyak hal yang lebih bermanfaat.
Lawang, 12 Juni 2023, terinspirasi karena merasa smartphone adalah distraksi terbesar ketika dirinya ingin memiliki hidup yang produktif
Foto Featured Image: MarketWatch
- Musik4 bulan ago
Maskulinitas pada Musik Dewa
- Buku4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Funiculi Funicula: Kisah-Kisah yang Baru Terungkap
- Anime & Komik4 bulan ago
Alasan Saya Tidak Suka One Piece
- Musik5 bulan ago
9 Personel Twice dan Impresi Saya ke Mereka
- Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #6 King of New York
- Pengembangan Diri5 bulan ago
Pada Akhirnya, Kebaikan yang Kita Lakukan akan Kembali ke Diri Sendiri
- Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Funiculi Funicula: Before the Coffee Gets Cold (Spoiler Version)
- Sosial Budaya4 bulan ago
Hype Konser Coldplay di Indonesia: Beneran Nge-fans atau Sekadar FOMO?
You must be logged in to post a comment Login