Ketika sedang menelusuri linimasa Instagram, tanpa sengaja Penulis menemukan sebuah pos dari akun @komikin_ajah. Ada yang berbeda dengan pos tersebut sehingga menarik minat Penulis.
Biasanya, akun ini akan mengunggah komik bergenre komedi. Akan tetapi, di pos ini mereka mengunggah gambar berjudul Beberapa Cara Berpikir yang Membuatmu Sulit Menghargai Dirimu Sendiri.
Ketika di-swipe ke kiri, poin-poin yang disampaikan oleh komik karya @petualanganmenujusatu ini sangat related dengan kehidupan Penulis. Pembaca bisa membacanya melalui embed link berikut ini:
Karena merasa related, Penulis pun berpikir untuk menjabarkan poin-poin yang disampaikan berdasarkan pengalaman dan pemikiran Penulis. Harapannya, tulisan ini bisa menjadi motivasi untuk kita semua yang kesulitan untuk menghargai diri kita sendiri.
1. Negative Self-Labeling
Hal pertama yang membuat kita susah untuk menghargai diri kita sendiri adalah adanya negative self-labelingalias mengecap diri kita dengan hal-hal negatif.
Semua sudah mengetahui kalau manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sialnya, kita terkadang terlalu fokus dengan kekurangan diri hingga lupa dengan kelebihan yang dimiliki.
Mungkin kita merasa diri ini emosian, mudah baper, kurang percaya diri, ceroboh, malas, peragu, egois, toxic, dan lain sebagainya. Akibatnya, kita merasa kalau diri kita hanya terdiri dari sifat-sifat negatif tersebut.
Padahal, mungkin kita orang yang suka menolong orang lain, punya empati, tulus, pekerja keras, memiliki etos kerja yang baik, ramah, tidak sombong, dan lainnya. Sikap-sikap positif tersebut seolah tertutup dengan label negatif yang kita sematkan ke diri sendiri.
Jika kita kesulitan untuk menemukan apa kelebihan diri sendiri, tidak ada salahnya minta tolong kepada orang lain untuk menunjukkan apa kelebihan kita. Dengan mengetahui apa kelebihan diri, kita pun bisa menghindari untuk melabeli diri secara negatif.
2. Disqualifying the Positives
Salah satu penyebab mengapa kita dengan mudahnya melabeli diri sendiri secara negatif adalah kita yang kerap melakukan disqualifying the positive atau mengerdilkan hal positif yang terjadi.
Entah mengapa ketika kita meraih achievement atau suatu keberhasilan, ada saja bisikan-bisikan negatif yang seolah melakukan denial kalau kita berhasil meraih atau mendapatkan sesuatu.
Jika tidak begitu, kita akan mencari alasan eksternal yang menyebabkan kita berhasil, seperti berkat bantuan orang lain, keberuntungan, dan lain-lain. Sebenarnya tidak salah, tapi kalau sampai membuat tidak menghargai diri sendiri ya jangan.
Terkadang, kita juga berpikir seperti ini gara-gara omongan dan nyinyiran orang lain. Kita yang cenderung susah untuk mengabaikan perkataan orang pun jadi terpengaruh dan memercayai kata mereka.
Bisa dibilang, poin kedua ini adalah poin yang paling tidak related dengan kehidupan Penulis. Setidaknya, Penulis masih mengapresiasi dirinya ketika berhasil melakukan sesuatu.
3. Personalisation & Blaming
Di antara empat poin yang ada di artikel ini, bisa dibilang personalisation & blamingadalah yang paling sering Penulis lakukan. Setiap ada sesuatu, dikit-dikit akan menyalahkan dirinya sendiri.
Kita perlu menyadari bahwa ada banyak sekali yang tidak bisa kita kendalikan, termasuk orang lain. Yang benar-benar bisa kita kendalikan hanya diri kita sendiri, pikiran kita sendiri, perasaan kita sendiri.
Bisa dibilang, hanya menyalahkan diri sendiri tidak akan memberikan manfaat apa-apa bagi kita. Ia hanya akan merusak diri dan membuat kita melabeli diri secara negatif yang ujung-ujungnya susah untuk menghargai diri sendiri.
Merasa bersalah itu normal, tapi lebih baik kita gunakan untuk interopeksi dan memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik lagi. Percuma saja jika merasa bersalah, tapi tidak ada aksi untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
4. Jumping to Conclusions
Poin-poin yang ada artikel ini memiliki sumber yang sama: overthinking. Kita ini kadang terlalu banyak berpikir sehingga hal-hal yang sederhana dibuat rumit, hingga susah untuk mengapresiasi diri sendiri.
Jumping to conclusionatau kerap membuat kesimpulan terlalu dini adalah buah dari overthinking. Poin di nomor 3 bisa terjadi karena kita langsung loncat ke kesimpulan yang kita buat sendiri.
Parahnya, kesimpulan yang kita buat kerap bernada negatif ke arah diri sendiri. Padahal, tidak ada yang bukti konkrit yang mendukung kesimpulan tersebut. Semua hanya pikiran kita sendiri yang belum tentu benar dan seringnya tidak pernah benar.
Ketika menghadapi sesuatu yang kurang menyenangkan, seperti mood teman yang tiba-tiba berubah, berusahalah untuk mendiamkan otak dan tidak berpikir yang macam-macam. Alihkan perhatian ke hal lain agar kita tidak membuat kesimpulan sembarangan.
Cobalah untuk berhenti berpikir. Tidak semua terjadi karena salah kita. Tidak perlu menyimpulkan sesuatu di dalam otak kita. Biarkan semua mengalir saja, tidak perlu disimpulkan.
Penutup
Sudah lama Penulis menyadari bahwa dirinya kerap melakukan empat poin di atas. Oleh karena itu, Penulis coba mempelajari Stoik melalui beberapa buku seperti Filosofi Terasyang intinya mengajari bahwa banyak hal yang tidak bisa kita kendalikan.
Hanya saja, untuk bisa mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari memang tidak mudah. Bagi kaum pemikir seperti Penulis, berhenti overthinking itu sama susahnya dengan berhentinya orang yang kecanduan opium.
Sifat overthinking tersebut memicu kita untuk susah menghargai diri sendiri. Belum lagi adanya faktor lain seperti lingkungan yang toxic, trauma, ataupun situasi lain yang membuat kita susah untuk melakukannya.
Hanya saja, kitalah yang paling mampu untuk menghargai diri sendiri. Kalau kita saja tidak menghargai diri sendiri, gimana orang lain bisa menghargai kita?
Semoga saja setelah membuat tulisan ini, Penulis dan para Pembaca yang merasa related bisa lebih menghargai diri sendiri. Memang susah, tapi bisa. Ayo kita sama-sama belajar dan mendukung satu sama lain.
Lawang, 11 Agustus 2021, terinspirasi setelah menemukan sebuah pos dari @petualanganmenujusatu
Coba ingat-ingat aktivitas kita dalam sehari-hari mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi di malam hari. Seberapa banyak aktivitas yang melibatkan layar di perangkat elektronik, baik dari ponsel, laptop, hingga televisi?
Penulis sendiri baru-baru ini menyadari bahwa dirinya hampir terpapar layar selama dirinya beraktivitas, mengingat pekerjaan dan hobi menulis Penulis sama-sama menuntut dirinya untuk selalu berada di hadapan layar.
Pada tulisan kali ini, Penulis ini melakukan interopeksi diri mengenai betapa panjangnya durasi dalam satu hari yang dihabiskan untuk menatap layar elektronik yang sejatinya memancarkan blue light.
Penulis akan berbagai dari pengalamannya sendiri (di hari kerja) untuk menjelaskan bagaimana kita sangat sering terpapar layar sejak dari bangun tidur. Penulis tidak akan menggunakan contoh “rutinitas yang ideal,” melainkan menggunakan contoh keseharian yang sering dilakukan.
Pagi hari di saat waktu Shubuh, Penulis akan terbangun karena alarm ponsel dan tablet. Setelah menunaikan ibadah sholat, Penulis akan kembali rebahan dan mengecek ponsel. Terkadang Penulis membaca buku dulu, tapi lebih sering mengecek ponsel.
Seringnya, Penulis akan tertidur lagi sekitar 1-2 jam setelah bangun pagi. Penulis baru akan terbangun lagi menjelang morning concall dan brainstorm yang dilakukan setiap pagi jam 9. Kalau lagi malas, Penulis akan rapat di atas kasur, bisa menggunakan tablet maupun laptop.
Biasanya rapat pagi ini berlangsung sekitar 1 jam. Setelah itu, Penulis akan sarapan yang sering dilakukan sambil menonton YouTube. Selesai sarapan (Penulis sarapan cukup siang), Penulis akan kembali bekerja dan berhenti menjelang Dhuhur untuk mandi, rawat diri, dan sholat Dhuhur.
Antara waktu Dhuhur dan Maghrib adalah waktu utama Penulis untuk bekerja di depan PC. Karena memasang larangan untuk mengecek media sosial atau bermain game di jam kerja, Penulis biasanya beristirahat sambil membaca buku, tidur sejenak, atau sekadar bermain dengan kucing.
Masuk jam istirahat di malam hari, biasanya Penulis habiskan dengan cek media sosial ataupun menonton YouTube di televisi ruang keluarga bersama ibu. Makan malam pun seringnya dilakukan sambil menonton televisi.
Jam 9 ke atas, biasanya Penulis kembali masuk ke kamar dan mulai menulis artikel blog di depan laptop. Setelah selesai, Penulis bisa kembali cek media sosial atau bermain game di tablet. Tak jarang juga Penulis menonton YouTube di televisi kamar sebelum akhirnya tidur.
Dari cerita di atas, bisa dilihat kalau hampir seluruh kegiatan Penulis di hari kerja dilakukan dengan melihat layar, entah itu ponsel, tablet, laptop, maupun PC. Mau serius, mau santai, semua berkaitan dengan layar.
Bisa dibilang, hanya ada lima aktivitas yang tidak melibatkan layar sama sekali, yakni ketika sholat, membaca buku, bermain kucing, mandi, dan tidur. Ini menunjukkan bahwa betapa tergantungnya Penulis terhadap perangkat-perangkat elektronik untuk menjalani kesehariannya.
Penulis merasa kalau ini bukan gaya hidup yang sehat. Meskipun pekerjaannya menuntut untuk sering melihat layar, Penulis harusnya bisa mengimbanginya dengan aktivitas-aktivitas lain yang tidak membutuhkan layar.
Membaca bukujelas menjadi opsi yang paling menyenangkan bagi Penulis. Buku bisa menjadi jeda sejenak dari layar sekaligus sebagai penambah wawasan bagi dirinya. Namun, “daya” baca Penulis sudah tidak seperti dulu. Mentok-mentok satu jam sudah lelah, kecuali sedang membaca novel yang seru.
Selain itu, olahraga outdoor seperti lari pagi juga bisa menjadi aktivitas yang sehat. Dulu Penulis cukup rutin melakukannya, bahkan bisa menyebuhkan insomnia yang dideritanya. Namun, belakangan ini entah mengapa rasanya sangat berat untuk melakukannya.
Mencari hobi offline yang tidak membutuhkan layar juga bisa menjadi alternatif. Contoh yang paling gampang tentu saja bermain board game seperti yang sering Penulis lakukan di akhir pekan bersama circle-nya. Tidak hanya bermain, Penulis juga bisa mengobrol dengan teman-temannya.
Hobi offline lain yang bisa menyita waktu kita adalahmerakit model kit seperti Gundam, LEGO, dan sejenisnya. Masih ada banyak hobi offline lainnya yang bisa dilakukan, seperti berkebun, futsal, memancing, memasak, menggambar, main musik, dan lainnya.
Penulis juga ingin mengurangi kebiasaan makan sambil nonton YouTube. Walau kesannya multitasking, aktivitas makan sebenarnya bisa menjadi jeda yang baik. Apalagi, sudah seharusnya kita fokus dengan makanan yang ada di hadapan kita dan bersyukur masih bisa menikmatinya.
Mungkin karena kebetulan saja pekerjaan Penulis menuntut dirinya untuk melihat layar seharian. Apalagi, Penulis masih work from home sampai sekarang. Jadi, tulisan ini bisa jadi tidak related kepada orang-orang yang pekerjaannya tidak selalu mengharuskan mereka untuk melihat layar.
Namun, bagi para Pembaca yang juga menjalani rutinitas seperti Penulis, semoga saja tulisan ini bisa membantu menyadarkan betapa seringnya mata kita terpapar layar elektronik dan mulai mencari alternatif aktivitas lain yang lebih sehat.
Lawang, 1 Oktober 2024, terinspirasi setelah menyadari bahwa dirinya hampir selalu menatap layar monitor dalam banyak bentuk
Penulis merasa kalau dirinya adalah orang yang pelupa. Bukan tipe yang lupa tanggal ulang tahun seseorang, lebih ke pelupa untuk task apa yang harus diselesaikan. Jika task tersebut tidak dicatat, biasanya akan mudah terlupa begitu saja.
Untuk mengatasi hal ini, Penulis berupaya untuk mengatasinya dengan memanfaatkan aplikasi Microsoft To-Do List yang ter-install di PC maupun ponselnya. Namun, sudah menggunakan ini pun terkadang Penulis lupa untuk mengeceknya!
Penulis berusaha untuk mencari solusi lain. Lantas, Penulis teringat akan isi buku Atomic Habit di mana salah satu cara untuk membuat kebiasaan bisa terbentuk adalah dengan membuatnya mudah terlihat.
Oleh karena itu, Penulis akhirnya memutuskan untuk menulis catatan yang selalu terlihat di depan mata. Bukan di gawai yang Penulis miliki, tapi benar-benar di buku catatan fisik dan ditulis secara manual pula.
Mengapa Masih Perlu Catatan Fisik?
Penulis sudah menyinggung kalau dirinya telah mencoba menggunakan aplikasi Microsoft To-Do List untuk mencatat berbagai task agar tidak lupa dikerjakan. Apalagi, aplikasi tersebut dilengkapi dengan fitur reminder untuk membantu mengingatkan kita.
Untuk pekerjaan-pekerjaan rutin, hal ini memang sangat membantu. Namun, ada yang tidak bisa di-cover oleh aplikasi ini setidaknya untuk Penulis: hal-hal yang muncul secara spontandan tidak terencana.
Contohnya di sini adalah mencatat apa yang perlu dibahas untuk rapat besok. Mungkin task rapat di pagi hari bisa dimasukkan ke dalam aplikasi To-Do List, tapi isinya terkadang muncul secara tiba-tiba saat sedang mengerjakan task lain.
Lalu, mengapa tidak ditambahkan saja catatannya ke dalam aplikasi To-Do List? Jawabannya adalah kembali lagi karena Penulis pelupa, Penulis kemungkinan besar akan lupa untuk mengeceknya! Akibatnya, hal tersebut pun jadi lupa untuk dibahas ketika rapat.
Penulis juga sempat berusaha menggunakan aplikasi Google Keep. Namun, masalahnya tetap sama, aplikasi ini tidak selalu langsung terlihat sehingga Penulis sering lupa untuk mengeceknya, bahkan ketika sudah memasang reminder.
Oleh karena itu, Penulis membutuhkan sebuah media yang akan 24 jam terlihat oleh mata. Buku catatan fisik, yang mungkin sudah terasa old school, akhirnya menjadi pilihan utama. Buku catatan ini akan terus berada di atas meja kerja Penulis dan selalu terbuka saat jam kerja.
Berhubung Penulis punya hobi menulis manual, kegiatan mencatat ini Penulis buat semenarik mungkin dengan menambahkan batas dengan berbagai warna beserta tanggal yang ditulis menggunakan huruf latin. Hobi yang aneh memang untuk seorang laki-laki.
Memang ada kekurangannya mencatat secara manual seperti ini, seperti catatan yang telah dituliskan akan sulit untuk ditelusuri dan diarsipkan. Namun, buku catatan inimemang Penulis gunakan untuk sesuatu yang bersifat spontan dan berjangka pendek.
Setiap pagi, Penulis akan membaca buku catatan ini untuk memastikan tidak ada task atau poin yang harus diselesaikan. Meskipun terkadang masih miss, Penulis merasa metode ini berhasil meminimalisirnya.
Mengapa Tidak Menggunakan Medium Lain?
Sebenarnya, Penulis memiliki tablet yang telah dilengkapi dengan stylus karena pada dasarnya Penulis memang masih suka menulis secara manual, yang juga menjadi salah satu alasan mengapa Penulis membeli tablet tersebut.
Namun, makin ke sini, stylus tersebut makin jarang digunakan. Seandainya menulis di tablet pun, pada akhirnya catatan tersebut akan tenggelam begitu saja dan kerap lupa untuk mengeceknya kembali.
Selain itu, layar tablet akan mengunci secara otomatis jika lama tidak digunakan, sama seperti ponsel. Jika menyalakannya terus seharian dan menonaktifkan mode auto-lock-nya, tentu akan membuat baterainya cepat habis.
Dengan demikian, seandainya Penulis membuat catatan di tablet sebagai pengingat, tentu tidak efektif karena harus berkali-kali menyalakan tablet. Apalagi, tablet ini juga kerap Penulis gunakan sebagai layar kedua
Penulis sempat mengandalkan Sticky Notes sebagai pengingat. Selain bisa ditempel di mana-mana, Sticky Notes kerap berwarna cerah sehingga akan mencuri perhatian kita saat akan bekerja. Tentu ini jadi pengingat yang mudah kita notice, bukan?
Sayangnya, Sticky Notes pun bagi Penulis kurang efektif. Pertama, Sticky Notes harus ditempel di suatu tempat. Kamar Penulis yang sudah penuh dengan barang jelas tidak memiliki tempat kosong untuk hal tersebut.
Kedua, Sticky Notes yang sudah dipasang sulit untuk di-edit. Padahal, Penulis suka menambahkan catatan tambahan menggunakan tinta merah yang biasanya berfungsi sebagai penanda kalau task tersebut sudah diselesaikan atau sudah dibahas dalam rapat.
Ketiga, Sticky Notes bisa berceceran ke mana-mana jika sudah terlalu banyak. Padahal, setiap hari ada cukup banyak hal yang perlu Penulis catat secara manual. Penulis tidak bisa membayangkan bagaimana rupa kamarnya jika menempel terlalu banyak Sticky Notes.
Berdasarkan pengalaman tersebut, Penulis memutuskan untuk memanfaatkan buku catatan dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Penulis menganggap kalau buku catatan ini adalah otak kedua Penulis dalam bentuk fisik.
Lawang, 26 Agustus 2024, terinspirasi setelah menyadari betapa pentingnya catatan yang harus selalu terlihat
Ketika sedang suwung atau menganggur, apa yang akan Pembaca lakukan pertama kali? Kalau Penulis, satu hal yang sangat mungkin dilakukan adalah mengecek ponselnya, entah untuk mengecek pesan WhatsApp yang masuk ataupun scrolling media sosial.
Parahnya lagi, Penulis kerap berganti-ganti platform ketika sudah cek HP. Bosan buka Instagram, pindah ke X. Bosan di X, pindah ke YouTube. Bosan di YouTube, pindah ke Pinterest. Begitu terus hingga screentime ponsel Penulis menjadi berjam-jam.
Penulis sebenarnya menyadari kalau sedikit-sedikit mengecek ponsel merupakan kebiasaan yang buruk karena seolah-olah otak ini tidak boleh diberi jeda sedikit pun dari konsumsi-konsumsi konten. Otak (dan organ tubuh lainnya) ini seolah tidak boleh istirahat.
Padahal, jeda sejenak dari segala kegiatan dan konsumsi konten bagus untuk otak. Membiarkan pikiran mengembara atau merenung terkadang menjadi sesuatu yang kita butuhkan di tengah berbagai tuntutan hidup.
Oleh karena itu, Penulis pun berusaha mengurangi ketergantungan dirinya yang sedikit-sedikit mengecek ponsel. Awalnya memang sangat sulit karena sudah menjadi kebiasaan, tapi lama-kelamaan Penulis mulai terbiasa untuk menjauhinya dan menggantinya dengan aktivitas lain.
Pada tulisan kali ini, Penulis ingin berbagi pengalaman dirinya berusaha mengurangi kebiasaan buruk ini untuk bisa meningkatkan produktivitas dirinya. Penulis tidak membuat daftarnya berdasarkan riset mendalam, hanya dari pengalaman pribadinya saja.
1. Memberikan Batasan ke Aplikasi
Hampir semua media sosial menghadirkan konten tak terbatas yang bertujuan untuk membuat kita betah berlama-lama di platform mereka. Akibatnya, kita suka lupa waktu jika sudah bermain media sosial, terutama jika sedang mengonsumsi konten-konten video pendek.
Penulis termasuk yang kesulitan untuk mengerem kebiasaan buruk ini, sehingga membutuhkan bantuanaplikasi. Untungnya, hampir di semua ponsel pintar saat ini telah memiliki fitur untuk membatasi penggunaan aplikasi dalam jangka waktu panjang.
Namun, Penulis merasa aplikasi bawaan tersebut kurang ketat karena bisa kita ubah dengan mudah. Oleh karena itu, Penulis memutuskan untuk menggunakan aplikasi yang lebih ketat seperti AppBlock dan Opal. Jika batas durasinya sudah lewat, maka Oval tersebut akan otomatis memblokir aplikasi tersebut.
Di ponsel, Penulis memberi batasan penggunaan semua media sosial 1,5 jam per hari, mulai dari YouTube, Instagram, X, TikTok, hingga Threads. Durasi 1,5 jam bukan untuk per aplikasi, tapi kombinasi dari semuanya.
2. Menjauhkan Ponsel dari Jangkauan
Cara pertama yang sering Penulis lakukan adalah menjauhkan ponsel sejauh mungkin dari jangkauannya. Biasanya ini Penulis terapkan ketika kerja, di mana Penulis meletakkan ponselnya di tempat yang tidak kelihatan hingga lupa di mana menaruhnya.
Cara ini cukup efektif jika Penulis ingin mengurangi distraksi ketika jam kerja, apalagi Penulis work from home. Penulis harus bisa mendisiplinkan diri sendiri karena tidak ada orang lain yang mengawasi. Alhasil, screentime Penulis terutama di jam kerja (9-6) bisa berkurang drastis.
Tidak hanya itu, kita juga bisa mematikan notifikasi ponsel dengan mengubahnya ke Mode Hening atau mengaktifkan fitur Do Not Disturb. Dengan begitu, suara-suara notifikasi yang seolah tak ada habisnya itu bisa diredam dan tidak membuat kita merasa penasaran lagi.
3. Install WhatsApp atau Aplikasi Chat di PC/Laptop
Salah satu alasan mengapa Penulis suka mengecek ponselnya adalah karena ingin memeriksa apakah ada pesan WhatsApp yang masuk. Oleh karena itu, Penulis memilih untuk meng-install aplikasi WhatsApp versiPC, sehingga dirinya tak perlu lagi mengecek ponsel.
Kebetulan, di tempat kerja Penulis WhatsApp menjadi media utama untuk berkomunikasi, sehingga tidak mungkin Penulis tidak memeriksa WhatsApp. Bahkan, Penulis menggunakan layar kedua menggunakan tablet untuk selalu menampilkan WhatsApp, karena Penulis juga punya kebiasaan buruk sedikit-sedikit cek WhatsApp.
Tidak hanya WhatsApp, semua aplikasi chat yang Penulis gunakan juga Penulis install di PC, mulai dari Skype hingga Discord. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan urgent untuk mengecek ponsel di jam kerja.
4. Jangan Gunakan Ponsel Sebagai Alarm Pagi
Selain godaan di kala menganggur dan di jam kerja, salah satu godaan terbesar untuk mengecek ponsel adalah di pagi hari. Penulis punya kebiasaan buruk setelah mematikan alarm, Penulis akan membuka aplikasi media sosial sebentar.
Oleh karena itu, Penulis menyarankan untuk menggunakan alarm konvensional di pagi hari, bukan alarm yang ada di ponsel. Kalau perlu, jauhkan juga ponsel dari jangkauan sebelum tidur.
Selain itu, tentukan jam berapa ponsel boleh mulai dicek, misalnya pukul tujuh pagi setelah rutinitas pagi telah selesai dituntaskan. Namun, jika boleh jujur, di antara semua poin yang ada di artikel ini, poin inilah yang sampai sekarang masih Penulis sulit terapkan.
5. Sibukkan Diri dengan Kegiatan Bermanfaat
Salah satu pemicu kita kerap mengecek ponsel adalah karena suwung atau sedang menganggur, seperti yang sudah Penulis singgung di atas. Oleh karena itu, kita harus kreatif mengisi waktu kosong kita dengan aktivitas lain.
Melakukan hobi adalah salah satu cara yang menyenangkan untuk mengisi waktu luang. Kalau Penulis, biasanya akan membaca buku atau menulis artikel. Kedua aktivitas ini lumayan ampuh bagi Penulis untuk tidak mengecek ponsel.
Di malam hari setelah jam kerja, biasanya Penulis menyempatkan diri untuk menemani ibu menonton televisi. Meskipun bukan kegiatan yang produktif, setidaknya menemani ibu menjadi aktivitas yang bermanfaat sekaligus melepas penat setelah seharian bekerja.
***
Berselancar di media sosial untuk mencari hiburan bukan hal yang salah. Yang salah adalah jika dilakukan secara berlebihan hingga lupa waktu. Waktu yang kita miliki di dunia ini terbatas, sehingga sayang jika tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Penulis merasa bahwa dirinya sudah terlalu attach dengan ponsel, sehingga muncul kebiasaan sedikit-sedikit ingin mengecek ponsel. Menyadari kekurangan ini, Penulis pun berusaha untuk melakukan tips-tips yang telah disebutkan di atas.
Semoga saja tulisan ini bisa membantu Pembaca yang juga mengalami kesulitan seperti Penulis.
Lawang, 22 Juli 2024, terinspirasi setelah menyadari kalau dirinya kerap kali mengecek HP-nya setiap tidak ada aktivitas
You must be logged in to post a comment Login