Connect with us

Buku

Berteriak karena Buku

Published

on

Penulis menyukai serial detektif semenjak SMP, ketika almarhumah kakak penulis memberikan novel Sherlock Holmes yang tipis (hanya terdiri dari tiga cerita). Penulis sangat menikmati buku tersebut, sehingga dari sanalah penulis berminat untuk mengetahui novel detektif lainnya, karena buku karya Sir Arthur Conan Doyle tersebut hanya berjumlah sembilan seri.

Penulis memutuskan untuk mencoba novel karya Agatha Christie, yang penulis ketahui dari komik Detective Conan, ketika Kogoro Mouri menemani Conan untuk menghadiri pertemuan sesama penggemar Sherlock Holmes. Ketika ditanya sesama peserta seri mana yang menjadi favorit, Mouri justru menjawab buku karya Agatha Christie (itu pun salah judul).

Awal Pertemuan

Sebelum membeli, penulis pinjam satu buku Agatha Christie dari teman saya sejak SD. Yang ia pinjamkan berjudul The Pale House (Misteri Penginapan Tua). Setelah membaca, penulis merasa bahwa judul ini kurang menarik. Plot ceritanya sedikit khayal, begitu pikir penulis saat itu. Secara singkat, penulis merasa kecewa dengan buku tersebut.

Dua Novel Paling Awal

Akan tetapi, penulis tidak berhenti sampai di situ. Ketika mampir di toko buku, penulis melihat novel Agatha Christie berjudul Poirot’s Early Case (Kasus-Kasus Perdana Poirot). Nama Poirot tidak asing bagi penulis karena di Detevtive Conan terdapat kafe yang bernama serupa. Maka, penulis mencoba untuk memberikan “kesempatan kedua”.

Memburu Judul yang Hilang

Keputusan tersebut terbukti tepat. Semenjak itu, penulis terus membeli novel-novel Agatha Christie, hingga rela untuk tidak makan di luar agar dapat membeli bookset Agatha Christie.

Pernah ada kejadian, ketika membeli bookset yang pertama (total ada 8 bookset, tiap bookset berisi sepuluh judul), penulis tidak cermat dalam memilih barang karena terdapat buku yang sama. Waktu itu penulis belum tahu jika buku yang telah dibeli dapat dikembalikan, sehingga judul yang sama tersebut penulis jual kepada teman kuliah.

Judul yang Hilang

Sedangkan judul yang hilang, penulis berusaha mencarinya secara terpisah. Sayangnya, novel yang berjudul Elephant Can Remember (Gajah Selalu Ingat) sangat susah ditemukan, baik di Malang maupun Surabaya. Akhirnya, penulis melakukan barter dengan orang yang sama dengan yang meminjamkan The Pale House (judul ini pun akhirnya jadi milik penulis dengan barter).

78/80

Adanya bundel Agatha Christie sangat membantu penulis untuk mengoleksinya. Kalau tidak salah, setidaknya ada empat atau lima bundel yang penulis beli. Apabila dalam satu bundel terdapat banyak judul yang sudah dimiliki penulis, penulis akan melewatkannya dan memilih untuk melengkapinya satu per satu.

Seringkali, banyak judul yang tidak tersedia di toko buku. Solusinya, pembelian online. Ada yang bekas (namun telah diberi sampul plastik oleh pemilik sebelumnya) ada yang baru. Harganya pun lebih murah dari harga aslinya. Selain itu, dalam even-even obral buku, jika beruntung penulis akan menemukan novel Agatha Christie seharga Rp. 10.000 an.

Hingga kini, penulis berhasil mengumpulkan 78 dari 80 judul buku Agatha Christie. Dua judul yang belum penulis miliki tersebut adalah:

  • (1963) The Clocks – Hercule Poirot
  • (1976) Sleeping Murder – Miss Marple

Untunglah, pihak penerbit sedang mencetak ulang, sehingga tinggal masalah waktu hingga dua judul tersebut dicetak ulang,

Cerita Terbaik

Dari sekian banyak Agatha Christie yang penulis baca, ada beberapa buku yang membuat penulis berteriak “WHAT!” dengan begetar karena twist yang sama sekali tidak diduga. Buku-buku tersebut adalah:

  • (1926) The Murder of Roger Ackroyd – Hercule Poirot
  • (1934) Murder on The Orient Express – Hercule Poirot
  • (1936) The ABC Murders – Hercule Poirot
  • (1938) Hercule Poirot’s Christmas – Hercule Poirot
  • (1939) And Then There Were None – Sir Thomas Legge
  • (1949) Crooked House – Charles Hayward
  • (1967) Endless Night – Sergeant Keene
  • (1975) Curtain, Poirot’s Last Case – Hercule Poirot

Rekomendasi Penulis

Tentu penulis tidak akan memberitahu siapa pelakunya karena mengandung spoiler. Yang jelas, ada yang pelakunya adalah tokoh aku, ada yang korbannya dibunuh oleh tiga belas orang, ada yang pelakunya adalah polisinya, ada yang mati di pulau terpencil satu per satu, ada yang pelakunya anak kecil, bahkan ada yang pelakunya adalah sang detektif!

Maaf, penulis terlalu bersemangat.

 

 

Lawang, 8 April 2018, setelah berkali-kali gagal menang main game Rules of Survival bersama Aqsa dan Rael

Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Dunia Sophie: Novel Grafis Filsafat

Published

on

Salah satu novel yang Penulis baca di awal-awal mengoleksi buku adalah Dunia Sophie karya Jostein Gaarder. Novel ini, menurut Rocky Gerung, dianggap sebagai bacaan wajib anak SMA yang ingin masuk ke dunia filsafat karena Gaarder berhasil merangkumnya dalam satu buku.

Karena sudah cukup lama membacanya, Penulis pun tidak seberapa ingat apa saja isi bukunya. Untungnya, melalui akun Instagram Penerbit Mizan, Penulis jadi mengetahui kalau novel tersebut akan dibukukan dalam bentuk novel grafis alias komik.

Setelah itu, Penulis pun menantikan buku tersebut rilis dan pada akhirnya Penulis langsung membelinya setelah mengetahui sudah ada di rak buku. Lantas, apakah buku ini berhasil mengingatkan Penulis apa isi buku Dunia Sophie?

Detail Buku

  • Judul: Dunia Sophie: Novel Grafis Filsafat
  • Penulis: Jostein Gaarder; Vincent Zabus
  • Art: Nicoby
  • Penerbit: Penerbit Mizan
  • Cetakan: Pertama
  • Tanggal Terbit: Februari 2023
  • Tebal: 264 halaman
  • ISBN: 978-602-441-310-1

Apa Isi Buku Ini?

Sesuai dengan judulnya, buku ini adalah versi komik dari novel Dunia Sophie yang menceritakan petualangan “aneh” seorang remaja bernama Sophie Amundsend untuk mempelajari filsafat dari awal.

Untuk buku pertamanya ini, kita akan diajak membahas filsafat mulai dari zaman Socrates hingga Galileo Galilei. Untuk buku keduanya (sekaligus terakhir) nanti, yang akan dibahas adalah filsafat dari zaman Rene Descartes hingga Sigmund Freud.

Ada 11 bab yang dimiliki oleh buku ini, mulai dari bab pertama yang bertajuk “Siapa Aku?” hingga bab sebelas yang bertajuk “Zaman Barok”. Sophie mempelajari satu per satu ilmu filsafat tersebut dengan bimbingan seseorang, yang lantas akan diketahui bernama Albedo.

Ada bab yang berisi tentang filsafat dari beberapa tokoh sekaligus, tapi ada juga bab yang memang fokus hanya membahas satu tokoh. Ada tiga tokoh yang menjadi bab tersendiri, yakni Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Dalam petualangannya, Sophie seolah-olah bisa bertemu langsung dengan tokoh-tokoh filsafat yang sedang diterangkan oleh Albedo. Sebagai seorang gadis remaja, pelajaran filsafat tersebut berhasil membuatnya merenungkan banyak hal yang sebelumnya tak terpikirkan.

Ada beberapa penyesuaian yang seingat Penulis tidak dibahas di novelnya, seperti concern Sophie terhadap isu lingkungan hingga kesalnya Sophie terhadap Aristoteles yang migonistik alias merendahkan kaum perempuan. Mohon koreksinya jika itu ternyata ada di novelnya.

Menjelang akhir buku, Sophie menyadari kalau dirinya hanyalah tokoh komik, atau bahasa filmnya adalah breaking the 4th wall. Bahkan Albedo yang menjadi “gurunya” pun tidak menyadari hal tersebut. Ini sangat akurat dengan versi novel.

Setelah Membaca Dunia Sophie: Novel Grafis Filsafat

Sesuai dengan tujuan awalnya membeli buku ini, Penulis berhasil teringat apa isi novel Dunia Sophie meskipun baru setengah awalnya saja. Mengingat novel Dunia Sophie cukup tebal, tentu isi buku grafis ini adalah versi pendeknya saja.

Sebagaimana novel-novel yang ditulis oleh Jostein Gaarder, kesan dongeng dan fantasi pun cukup kental di novel Dunia Sophie. Nah, adanya versi komik seperti ini semakin membuat unsur dongen dan fantasinya semakin terasa.

Dengan ilustrasi yang enak untuk dipandang, Penulis begitu menikmati membaca buku ini hingga bisa tandas dalam waktu yang cepat. Mungkin itu juga karena Penulis terbiasa membaca komik Barat seperti Tintin dan Lucky Luke.

Adanya ilustrasi membuat Penulis bisa memahami dengan lebih mudah filsafat-filsafat yang sedang dijelaskan. Penulis juga jadi bisa membayangkan bagaimana rupa para filsuf lintas zaman, meksipun di novel aslinya juga ada ilustrasi filsuf yang sedang dibahas.

Karena sedang mendalami stoik, ada satu quote yang sangat Penulis sukai dari buku ini (Penulis lupa apakah quote tersebut ada di novel aslinya), yakni:

“Berilah aku keberanian untuk mengubah yang bisa diubah, ketenangan untuk menerima yang tak bisa diubah, dan kebijaksanaan untuk membedakan keduanya.”

Sebagai komik, tentu ada unsur joke yang disisipkan sebagai bumbu cerita agar tidak monoton dan kaku. Yang jelas, komik filsafat ini lebih mudah dipahami dibandingkan set novel filsafat yang pernah Penulis dulu dan hingga sekarang tidak pernah ditamatkan.

Jika ada remaja yang tertarik untuk masuk ke dunia filsafat, rasanya Dunia Sophie: Novel Grafis Filsafat bisa menjadi pengantar yang lebih baik dibandingkan novel aslinya yang sangat tebal. Penjelasannya mudah dipahami dan diilustrasikan dengan menarik.


Lawang, 29 Agustus 2023, terinspirasi setelah membaca buku Dunia Sophie: Novel Grafis Filsafat karya Jostein Gaarder

Continue Reading

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca The Leader Who Had No Title

Published

on

Ketika sedang membaca buku The 5 AM Club karya Robin Sharma, Penulis menemukan satu lagi bukunya saat sedang jalan-jalan di toko buku yang berjudul The Leader Who Had No Title.

Meskipun kurang menyukai The 5 AM Club, ada tiga alasan mengapa Penulis memutuskan untuk tetap membelinya. Pertama, karena bukunya cukup tipis. Kedua, mengangkat tema kepemimpinan. Ketiga, karena latar ceritanya tentang seorang penjaga toko buku.

Oleh karena itu, Penulis pun memutuskan untuk membelinya, hitung-hitung sebagai “kesempatan kedua” bagi Robin Sharma. Sayangnya, buku ini pun kurang Penulis sukai karena beberapa alasan yang sama dengan buku sebelumnya.

Detail Buku

  • Judul: The Leader Who Had No Title
  • Penulis: Robin Sharma
  • Penerbit: Penerbit Bentang
  • Cetakan: Pertama
  • Tanggal Terbit: Agustus 2022
  • Tebal: 264 halaman
  • ISBN: 9786022919308

Apa Isi Buku Ini?

Sama seperti The 5 AM Club, Robin Sharma berusaha menerangkan poin-poin yang ingin ia sampaikan melalui sebuah cerita. Kali ini, kita akan mengikuti kisah seorang mantan tentara yang kini menjadi penjaga toko buku bernama Blake Davis.

Blake merasa kalau hidupnya terasa hampa dan sama sekali tidak bermakna, apalagi setelah ia pulang dari medan pertempuran. Lantas, tiba-tiba ia bertemu dengan rekan kerja baru berusia 77 tahun yang bernama Tommy Flinn, yang ternyata merupakan teman ayahnya.

Singkat cerita, Tommy berjanji kepada Blake akan membuat hidupnya berubah total dengan seni memimpin tanpa jabatan. Untuk itu, Tommy pun membawa Blake ke guru-gurunya yang akan memberikan formula tersebut.

Lucunya, keempat orang tersebut sama-sama memiliki akronim untuk menyimpulkan apa inti ajaran mereka. Penulis akan menuliskan keempatnya agar Pembaca mendapatkan garis besar dari isi buku ini.

1. Kita Tidak Butuh Jabatan untuk Memimpin – IMAGE

  • Innovation (Inovasi)
  • Mastery (Menguasai)
  • Autheticity (Autentisitas)
  • Guts (Naluri)
  • Ethics (Etika)

2. Masa-Masa Bergejolak Membentuk Pemimpin Hebat – SPARK

  • Speak with Candor (Bicara Terus Terang)
  • Prioritize (Tentukan Prioritas)
  • Adversity Breeds Opportunity (Kesulitan Melahirkan Kesempatan)
  • Respond Versus React (Respons Versus Reaksi)
  • Kudos to Everyone (Penghargaan untuk Setiap Orang)

3. Semakin Dalam Hubunganmu, Semakin Kuat Kepemimpinanmu – HUMAN

  • Helpfulness (Tolong-menolong)
  • Understanding (Pengertian)
  • Mingle (Membaur)
  • Amuse (Gembira)
  • Nurture (Merawat)

4. Untuk Menjadi Pemimpin Besar, Jadilah Orang Besar Terlebih Dulu – SHINE

  • See Clearly (Lihat dengan Saksama)
  • Health is Wealth (Kesehatan Itu Bernilai)
  • Inspiration Matters (Inspirasi Penting)
  • Neglect Not Your Family (Jangan Abaikan Keluargamu)
  • Elevate Your Lifestyle (Tingkatkan Gaya Hidupmu)

Setelah memperkenalkan Blake kepada empat guru yang mengajarkan ilmu kepemimpinan tersebut, Tommy meninggal dunia tak lama kemudian. Blake pun merasa hidupnya berubah, dan berusaha untuk menyebarkan apa yang diajarkan Tommy kepada orang lain.

Setelah Membaca The Leader Who Had No Title

Dari segi cerita, sebenarnya The Leader Who Had No Title lebih terasa masuk akal dibandingkan The 5 AM Club yang bagi Penulis terasa aneh dan dangkal. Hanya saja, rasanya tetap tidak terlalu realistis dan sangat terkesan utopis.

Hampir semua peristiwa yang terjadi di buku ini terjadi hanya dalam satu hari. Tommy berhasil membawa Blake bertemu dengan empat gurunya (yang lebih muda darinya) dalam satu hari yang sama, dan semuanya bisa ditemui serta punya waktu untuk berbagi ilmu.

Untuk segi isinya sendiri, jujur saja Penulis tidak merasa telah mendapatkan sesuatu yang “mencerahkan hidup” seperti yang dirasakan oleh Blake. Poin-poin yang disampaikan biasa saja seperti seminar kepemimpinan pada umumnya, tidak ada yang spesial.

Apalagi, buku ini menggunakan banyak sekali akronim yang tentu agak sulit dihafalkan oleh orang-orang yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertamanya. Penulis tidak bisa mengingat satu pun “formula” yang dibagikan buku ini.

Alhasil, buku ini pun selesai Penulis baca tanpa banyak meninggalkan kesan yang berarti. Ulasannya pun menjadi cukup pendek, karena tidak banyak hal menarik yang bisa dibahas. Oleh karena itu, Penulis tidak terlalu merekomendasikan buku ini.

Namun, setidaknya buku ini mengajak pembacanya untuk mengembangkan dirinya menjadi versi lebih baiknya, sehingga bisa menginspirasi orang lain. Itulah poin utama dari seni memimpin tanpa jabatan.


Lawang, 7 Agustus 2023, terinspirasi setelah membaca The Leader Who Had No Title karya Robin Sharma

Continue Reading

Buku

[REVIEW] Setelah Membaca The 5 AM Club

Published

on

Menyadari dirinya kesulitan untuk bisa bangun pagi secara konsisten, Penulis pun mencari motivasi untuk bisa melakukannya. Salah satunya adalah dengan membaca buku berjudul The 5 AM Club karya Robin Sharma.

Salah satu alasan lain Penulis memutuskan untuk membeli buku ini adalah karena Maudy Ayunda merekomendasikannya di kanal YouTube-nya. Bahkan, Penulis tidak mengintip isinya ketika di toko buku karena merasa percaya saja dengan rekomendasinya.

Alhasil, Penulis pun terkejut ketika membuka buku ini untuk pertama kalinya karena ternyata buku self-improvement ini dibalut dalam bentuk novel. Sempat tergeletak lama karena terasa membosankan, akhirnya Penulis berhasil menamatkan buku ini.

Detail Buku

  • Judul: The 5 AM Club
  • Penulis: Robin Sharma
  • Penerbit: Penerbit Bhuana Ilmu Populer (BIP)
  • Cetakan: Ke-2
  • Tanggal Terbit: Agustus 2019
  • Tebal: 450 halaman
  • ISBN: 9786232161368

Apa Isi Buku Ini?

Secara garis besar, hanya ada empat karakter yang ada di buku ini, yaitu Sang Pemikat, Miliuner, Pengusaha, dan Seniman. Sepanjang novel, hanya sang Miliuner yang memiliki nama, yakni Mr. Riley.

Di awal buku, diceritakan kalau Sang Pemikat sedang mengadakan sebuah “seminar motivasi”, di mana Pengusaha dan Seniman menjadi salah satu pesertanya. Miliuner juga hadir, walaupun ia menyamar menjadi seorang gelandangan nyentrik.

Ketika sedang mengisi seminar tersebut, tiba-tiba Sang Pemikat jatuh sakit dan acara pun berhanti. Lantas, terjadi pembicaraan tiga arah antara Pengusaha, Seniman, dan Miliuner. Singkat cerita, Pengusaha dan Seniman pun diundang oleh Miliuner ke Mauritania.

Selama di pulau tersebut, Miliuner dan Sang Pemikat (yang ternyata merupakan guru dari Miliuner) pun membagikan ilmu-ilmu terkait bagaimana bangun pagi pukul 5 pagi sangat berpengaruh dalam hidup yang sukses. Beberapa di antaranya adalah:

  • Prinsip 20/20/20, di mana satu jam pertama setelah bangun jam 5 pagi adalah 20 menit aktivitas fisik seperti olahraga, 20 menit refleksi diri dan ibadah, dan 20 menit belajar
  • Prinsip 90/90/1, di mana selama 90 hari ke depan, fokuskan 90 menit untuk mengerjakan 1 hal yang paling penting
  • Prinsip 60/10, di mana setiap bekerja/belajar selama 60 menit, ambil istirahat selama 10 menit

Di sela-sela penjabaran tersebut, terselip cerita dari para karakternya, termasuk kisah cinta antara Pengusaha dan Seniman, perjalanan keliling dunia mereka, bagaimana masalah perusahaan si Pengusaha akhirnya dibantu oleh Miliuner, dan lain sebagainya.

Setelah Membaca The 5 AM Club

Penulis memiliki ekspektasi yang cukup tinggi terhadap buku ini, mengingat Maudy Ayunda merekomendasikannya. Kenyataannya, bisa dibilang buku ini cukup mengecewakan di berbagai aspeknya.

Pertama dari segi penceritaan, bisa dibilang jalan ceritanya cukup buruk dan sama sekali tidak realistis. Coba bayangkan, seberapa besar kemungkinan kita diajak oleh seorang Miliuner “berlibur” ke pulau eksotis sembari mendapatkan ilmunya? Near zero.

Selain itu, permasalahan kantor yang dialami oleh Pengusaha juga terasa cuma “tempelan”. Ending dari permasalahan tersebut juga klise, di mana si Miliuner membantu penyelesaian tersebut dengan sangat mudahnya.

Pengembangan karakter Pengusaha dan Seniman pun terasa tidak smooth dan berubah secara drastis hanya dengan mendengar beberapa nasihat dari orang yang baru dikenal. Kisah cinta mereka juga sama sekali tidak berkesan.

Untuk segi self-improvement-nya, bisa dibilang buku ini terlalu bertele-tele. Poin-poin yang ingin disampaikan sebenarnya tidak terlalu banyak, sehingga ada banyak bagian yang seolah hanya untuk mempertebal buku saja.

Bagian 20/20/20 bisa dibilang menjadi bagian yang paling “berguna”, meskipun tentu untuk penerapannya bisa berbeda-beda. Penulis sendiri biasanya memiliki rutinitas pagi yang dibagi menjadi 30 menit ibadah, 45 menit olahraga, dan 30 menit baca buku.

Oleh karena itu, rasanya Penulis susah untuk merekomendasikan buku ini. Apalagi, buku ini cukup tebal dengan isi yang tidak seberapa. Jika ingin bangun pagi, yang paling penting adalah NIAT.


Lawang, 16 Juli 2023, terinspirasi setelah membaca buku The 5 AM Club karya Robin Sharma

Continue Reading

Fanandi's Choice