Politik & Negara
Berburu Pembuat “Mural” yang Seharusnya Dilakukan

Beberapa waktu lalu, sempat heboh sebuah berita yang mengabarkan bahwa pihak kepolisian sendang memburu pembuat mural yang menggambarkan sosok Jokowi dengan disertai tulisan 404: Not Found.
Sontak hal ini menimbulkan beragam reaksi dari masyarakat. Kebanyakan menganggap bahwa hal tersebut menunjukkan kalau pemerintah anti kritik dan “takut” dengan mural.
Sebelumnya, ada juga mural bertulisan “Tuhan aku lapar” dan “Wabah sesungguhnya adalah lapar” yang akhirnya dihapuskan oleh pihak kepolisian, meskipun alasannya adalah permintaan dari warga.
Begitu cepatnya reaksi kepolisian terhadap mural jalanan yang mengekspresikan pendapat menjadi berbanding terbalik dengan lambatnya reaksi pihak yang berwajib terhadap “mural” yang sebenarnya lebih berbahaya.
Mural di Alam Indonesia
Jika biasanya mural menggunakan tembok sebagai media, maka “mural” yang satu ini menggunakan bentang alam Indonesia. Jika mural biasanya hanya berukuran meter, “mural” yang satu ini butuh berhektar-hektar tanah.
“Mural” yang dimaksud adalah hutan-hutan gundul yang dilakukan secara ilegal oleh perusahaan. Illegal logging yang dilakukan meninggalkan semacam “karya seni” di mana bekas hutan membentuk semacam pola yang, ironinya, indah.
Penulis mendapatkan ide artikel ini dari sebuah pos milik Greenpeace Indonesia. Pembaca bisa melihatnya di bawah ini:
Daripada berburu orang yang menyuarakan kritik, mengapa tidak berburu para perusak hutan Indonesia? Dampak negatif yang dihasilkan jauh lebih besar dari sekadar mural di tembok yang mungkin bagi sebagian orang justru memperindah lingkungan.
Para pelakunya seolah tak tersentuh hukum dan bebas beroperasi selama bertahun-tahun. Apakah karena mereka membayarkan semacam “upeti” kepada yang berwajib? Rasanya ini sudah menjadi semacam rahasia umum.
Faktanya, data menunjukkan bahwa kerusakan hutan di Indonesia berada di taraf yang cukup mengkhawatirkan.
Data Kerusakan Hutan di Indonesia
Dilansir dari data yang dilaporkan oleh WRI Indonesia pada tahun 2020, kerusakan hutan di Indonesia menempati posisi keempat di dunia setelah Brazil, Kongo, dan Bolivia.
Kita berhasil mencatatkan “prestasi dengan turun satu peringkat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, data menunjukkan bahwa sejak tahun 2017, kerusakan hutan di Indonesia mengalami penurunan yang cukup drastis.

Salah satu penyebab penurunan ini adalah kebakaran hutan dan gambut skala besar yang terjadi pada tahun 2015 silam. Semenjak bencana tersebut, ada pemantauan dan pencegahan kebakaran hutan secara ketat dari Pemerintah Indonesia.
Untuk sementara waktu, penerbitan izin baru untuk perkebunan kelapa sawit dihentikan oleh pemerintah. Moratoium izin perkebunan kelapa sawit juga diberlakukan, meskipun akan berakhir pada tahun 2021 ini. Apakah akan diperpanjang atau tidak, belum ada informasinya.
Berdasarkan data WRI di atas, kerusakan hutan di Indonesia selama 4 tahun terakhir berkisar di angka 200 hingga 400 ribu hektar per tahunnya. Sebagai perbandingan, ada beberapa data kerusakan hutan Indonesia alternatif:
- World Bank: Kerusakah hutan antara 700 ribu hingga 1.2 juta hektar per tahun
- Food and Agriculture Organization (FAO): Kerusakan hutan mencapai 1.315.000 hektar yang setara berkurangnya 1% area hutan setiap tahunnya.
- Greenpeace: 3.8 juta hektar per tahun, di mana mayoritas disebabkan oleh penebangan liar
Mana data yang benar? Entahlah, tidak ada yang tahun secara pasti. Yang jelas., kerusakan hutan di Indonesia benar-benar terjadi dan pelakunya masih melenggang dengan bebas, mungkin dengan tumpukan uang.
Salah Prioritas Ala Pemerintah
Berhubung yang membuat pos adalah Greenpeace, wajar jika yang disorot adalah masalah kerusakan hutan. Viralnya pemburuan pembuat mural mereka jadikan kesempatan untuk menyadarkan masyarakat mengenai tingginya kerusakan hutan di Indonesia.
Di mata Penulis, contoh dari Greenpeace tersebut menjadi salah satu indikator kalau pemerintah kita kerap salah menentukan prioritas mereka. Yang sepele diseriusin, yang serius disepelekan.
Pembuat mural bernada kritik yang sepele diburu, tapi pembuat “mural” berhektar-hektar dilepas begitu saja. Yang mencuri karena lapar dihukum panjang, yang korupsi demi nafsu duniawi diberi potongan masa tahanan.
Di saat butuh kekuatan untuk memberantas korupsi, KPK malah terkesan dilemahkan. Di saat butuh kesigapan pemerintah dalam menanggulangi pandemi Covid-19, pemerintah malah terkesan sibuk dengan istilah yang kerap berubah-ubah.
Semoga saja, ke depannya pemerintah bisa lebih bijak dalam menentukan prioritas mereka. Kami ingin ada perubahan dalam tubuh pemerintah di mana yang jelas-jelas bersalah mendapatkan hukuman yang setimpal.
Lawang, 23 Agustus 2021, terinspirasi dari pos Instagram Greenpeace Indonesia
Foto: Greenpeace Australia Pacific
Sumber Artikel:
Politik & Negara
Merindukan Banyak Pilihan Capres-Cawapres

Melalui pengumuman semalam, akhirnya tiga pasangan calon presiden (capres) dan wakilnya (cawapres) resmi diumumkan. Prabowo Subianto resmi mendeklarasikan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakilnya.
Prabowo dan Gibran resmi menyusul Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang sudah terlebih dahulu mendeklarasikan diri dan mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Jika diingat-ingat, ini adalah kali pertama pemilihan umum presiden (pilpres) memiliki lebih dari dua calon sejak tahun 2009. Dalam dua kali pilpres di tahun 2014 dan 2019, pesertanya selalu hanya dua.

Sejarah Singkat Capres-Cawapres di Pilpres Indonesia
Tentu ini menjadi angin segar karena pada akhirnya kita memiliki lebih banyak pilihan, walaupun tidak akan sebanyak pilpres tahun 2004 yang memiliki lima pasangan capres-cawapres.
Saat itu, tokoh-tokoh yang mendaftar untuk menjadi capres-cawapres adalah Wiranto-Salahuddin Wahid, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, serta Hamzah Haz-Agum Gumelar.

Pilpres 2004 harus dilakukan dalam dua kali putara, di mana SBY dan Megawati menjadi dua calon peraih suara tertinggi. Pada akhirnya, SBY berhasil mengalahkan Megawati yang notebene incumbent dan menjadi presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat.
Di pilpres tahun 2009, seperti yang sudah disinggung di atas, jumlahnya mengecil menjadi tiga pasangan capres-cawapres. Mungkin karena saat itu Presiden SBY adalah seorang incumbent yang secara matematis agak sulit untuk dikalahkan.
Pasangan capres-cawapres pada tahun tersebut adalah Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dan Jusuf Kalla-Wiranto. Kali ini, SBY berhasil memenangkan pilpres hanya dalam satu putaran.

Setelah itu, di pilpres 2014 dan 2019, hanya ada dua pasangan yang bisa kita pilih. Pertarungan antara capresnya pun sama, yakni antara Joko Widodo melawan Prabowo Subianto. Yang berbeda hanyalah wakilnya saja. Hasilnya seperti yang kita tahu, Jokowi selalu menang.
Terhalang Presidential Threshold?
Salah satu alasan mengapa pilihan capres-cawapres kita sedikit adalah adanya presidential threshold. Ketika aturan ini disahkan pertama kali di tahun 2003, ambangnya masih 15% jumlah kursi DPR atau 20% dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.
Nah, angka ini berubah mulai tahun 2009, di mana ambangnya menjadi 25% kursi di DPR atau 20% suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. Oleh karena itu, tak heran jika di tahun 2009 jumlah calonnya mengecil menjadi tiga saja.
Di tahun 2019, peraturan berubah menjadi 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Alasannya, mulai tahun 2019 pemilu serentak diberlakukan. Ini juga berlaku untuk pilpres 2024 mendatang.
Sudah banyak pihak yang berusaha menggugat presidential threshold karena dianggap membatasi demokrasi. Apalagi, sekarang kita menggunakan perhitungan kursi di periode sebelumnya. Namun, hingga hari ini belum ada gugatan yang berhasil menang.
Memang, untuk bisa mencalonkan diri sebagai presiden, kita membutuhkan “kendaraan” berupa partai politik agar memiliki suara yang kuat di DPR ketika akan membuat keputusan. Calon independen alias bukan dari partai jelas akan kesulitan dalam hal ini.
Alhasil, kita pun harus menerima kalau jumlah capres-cawapres kita di pemilu-pemilu yang akan datang tidak akan berjumlah banyak selama aturan presidential threshold masih berlaku. Pertanyaannya, apakah pasangan capres-cawapres yang maju benar-benar yang terbaik?
Penutup
Mengingat Jokowi sudah menjabat selama dua periode, artinya kita akan memiliki presiden baru di tahun 2024 mendatang. Ada dua nama baru pada diri Anies dan Ganjar, ada pula Prabowo yang akan mengikuti kontestasi pilpres untuk keempat kalinya.
Ketika belum mulai saja, sudah banyak drama politik yang terjadi. Pertama adalah keluarnya Partai Demokrat dari Koalisi Perubahan yang mengusung Anies karena dipilihnya Muhaimin Iskandar sebagai cawapres tanpa seizin mereka.
Selain itu, permainan politik Jokowi juga cukup mengejutkan. Tidak hanya berdiri di dua kaki dengan mendukung Prabowo dan Ganjar, pada akhirnya anaknya menjadi cawapres dari Prabowo. Putusan MK yang kontroversial memuluskan langkah tersebut.
Banyak pihak yang mengkritik terpilihnya Gibran sebagai cawapres Prabowo karena dianggap sebagai upaya Jokowi untuk memperkuat dinasti politiknya. Prabowo juga dianggap sangat terlihat membutuhkan suara dari para pendukung Jokowi garis keras.
Jika di awalnya saja sudah banyak drama, entah apa yang akan terjadi pada beberapa bulan ke depan hingga pemilu dilaksanakan. Permainan politik dari masing-masing pihak tampaknya akan seru, bagai melihat permainan catur yang menegangkan.
Lawang, 23 Oktober 2023, terinspirasi setelah tiga capres-cawapres resmi mendeklarasikan diri
Politik & Negara
Ketika Para Artis Terjun ke Dunia Politik

Seperti yang sudah Penulis bahas dalam tulisan 2024 Mau Pilih Siapa?, tahun depan akan menjadi tahun politik. Jika melihat situasi dan kondisi sekarang, bukan tidak mungkin suasananya akan terasa lebih “panas” dari tahun-tahun sebelumnya.
Selain menantikan calon-calon presiden yang akan dimunculkan, hal yang menarik lainnya adalah mengetahu siapa saja calon legislatif (caleg) yang bisa kita pilih nantinya. Apalagi, tahun depan dipastikan akan banyak artis dan public figure yang turut serta.
Pada tulisan kali ini, Penulis akan membahas sedikit mengenai fenomena artis yang terjun ke dunia politik. Apakah peranan mereka hanya sekadar pendulang suara, atau mereka benar-benar memiliki kapabilitas untuk mewakili rakyat?
Mengapa Para Artis Ingin Menjadi Caleg?
Begitu melihat panjangnya daftar nama artis dan public figure yang akan mencalonkan diri sebagai caleg, Penulis benar-benar terkejut. Rasanya, belum pernah daftarnya sepanjang ini. Pembaca bisa melihatnya melalui posting dari Finfolk Money di bawah ini:
Memang ada beberapa nama lama seperti Kris Dayanti, Rieke Diah Pitaloka, Nurul Arifin, hingga Desy Ratnasari. Namun, jujur Penulis menemukan banyak nama baru di sini. Pemilu 2024 tampaknya menjadi debut mereka di dunia politik, jika seandainya terpilih.
Berbondong-bondongnya mereka untuk mencalonkan diri pun menimbukan tanda tanya besar: Apakah mereka yang selama ini berprofesi sebagai entertainer memiliki kemampuan untuk berpolitik yang terkenal rumit dan penuh intrik?
Jika mau berprasangka buruk, kemungkinan besar para artis tersebut direkrut untuk mendulang suara partai yang mengusung mereka. Dengan popularitas yang dimiliki, bukan tidak mungkin masyarakat memiliki tokoh yang mereka tahu.
Kalau mau dibandingkan dengan para kader partai biasa, jelas para selebriti akan lebih dikenal oleh masyarakat. Tanpa membawa embel-embel kampanye pun, kehadiran mereka pasti mampu untuk menarik massa.
Dari sisi artisnya, mungkin mereka merasa masa mereka di dunia hiburan sudah hampir habis, sehingga memutuskan untuk banting setir ke profesi yang lebih menjanjikan. Apalagi, caleg memang memiliki gaji dan tunjangan yang cukup menggiurkan.
Jika mau berprasangka baik, bisa jadi para artis tersebut merasa ada begitu banyak masalah di negara ini dan ingin berkontribusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Kalau mau memperbaiki sistem, ya harus masuk ke dalam sistemnya.
Dengan pengaruh dan ketenaran yang dimiliki, bisa jadi suara mereka lebih didengar. Bisa jadi ide-ide yang keluar dari para tokoh ini bisa menjadi solusi dari sebuah permasalahan. Bisa jadi mereka adalah sosok sesungguhnya yang pantas untuk menjadi wakil rakyat.
Pertanyaannya, mana yang benar? Tergantung. Semua tentu memiliki motivasinya masing-masing hingga rela meninggalkan dunia keartisan dan memilih untuk terjun ke dunia politik. Jadi, mungkin lebih baik kita seimbangkan saja antara prasangka baik dan buruknya.
Apakah Para Artis Boleh Menjadi Caleg?
Lantas, apakah para artis boleh bergabung dengan partai politik dan menjadi caleg? Tentu saja boleh, mengingat semua warga Indonesia pada dasarnya memiliki hak yang sama, walau belum tentu semua orang memiliki kesempatan tersebut.
Hanya saja, Penulis memang sedikit merasa khawatir kalau para artis ini hanya digunakan “alat” agar partai politik bisa meraup lebih banyak suara. Dengan nama besar yang sudah dimiliki, mereka rasanya tidak perlu memasang baliho di mana-mana.
Selain itu, Penulis juga mempertanyakan kapabilitas mereka karena menjadi seorang wakil rakyat merupakan pekerjaan yang berat. Jika mereka selama ini berkarir sebagai entertainer, kapan mereka memiliki waktu untuk belajar politik dan lain-lain?
Memang ada beberapa artis yang terbukti berhasil menjadi anggota dewan selama bertahun-tahun, bahkan terus terpilih di setiap pemilu. Namun, rasanya persentasenya tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan politisi asli.
Masyarakat kita harusnya juga sudah cukup cerdas dalam berpolitik. Dalam memilih caleg, tentu yang harus dipertimbangkan adalah program, visi misi, maupun track record-nya selama ini. Jangan sampai memilih caleg hanya berdasarkan popularitasnya saja.
Jika nanti mereka memang banyak yang terpilih, Penulis hanya bisa berdoa agar mereka amanah dan mampu mengemban tanggung jawab dengan sebaik mungkin. Semoga mereka bisa lebih baik dari anggota-anggota dewan sebelumnya.
Jika mereka terbukti mampu menjadi wakil rakyat yang baik, bukan tidak mungkin di masa depan akan lebih banyak lagi artis dan public figure yang mengikuti jejak mereka.
Lawang, 23 Mei 2023, terinspirasi setelah menyadari kalau ada banyak artis yang mencalonkan diri sebagai caleg di Pemilu 2024 mendatang
Foto Featured Image:
Politik & Negara
2024 Mau Pilih Siapa?

Tak terasa tahun 2024 akan segera datang. Presiden Joko Widodo telah menggenapi masa jabatannya selama dua periode. Artinya, suasana politik akan “memanas” dalam beberapa bulan mendatang, hingga saatnya pemilihan presiden (pilpres).
Dalam beberapa tahun terakhir, sudah mulai terasa tokoh-tokoh yang mengampanyekan diri agar lebih dikenal oleh publik, sehingga mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk dicalonkan menjadi presiden.
Untuk itu, Penulis pun ingin sedikit membahas mengenai peta politik di 2024 secara kasar dan siapa saja yang akan muncul ke permukaan, sembari membahas sejarah pesta demokrasi kita yang bisa dibilang masih berusia muda ini.
Partai Penguasa Belum Tentu Menang Lagi

Ketika seorang presiden yang sudah dua kali menjabat akhirnya lengser, tentu publik akan merasa penasaran siapa sosok baru yang akan menggantikannya. Ini karena dalam era demokrasi, presiden petahana memang selalu bisa menang lagi.
Setelah 32 tahun dipimpin oleh Soeharto, kita memiliki 3 presiden dalam rentang 6 tahun (1998 – 2004), yaitu B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati Sukarnoputri. Barulah setelah itu, kita mengalami era politik yang relatif stabil.
Dalam era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), beliau berhasil memenangkan pemilu di tahun 2004 dan 2009, bersama wakil presiden yang berbeda. Begitu pula di era Joko Widodo, yang berhasil memenangkan pemilu di tahun 2014 dan 2019 juga dengan berbeda wakil.
Menariknya, dalam 20 tahun tersebut, kita bisa melihat kalau partai politik (parpol) yang menang pilpres belum tentu bisa memenangkan pemilu lagi. Sebagai gantinya, justru pihak oposisi yang berhasil “merebut” kekuasaan.
SBY bersama Partai Demokrat gagal mempertahankan kursi mereka, bahkan di tahun 2014 memutuskan untuk netral dan tidak mencalonkan presiden. Pada akhirnya, Joko Widodo dan PDI Perjuangan yang merupakan oposisi berhasil meraih pucuk kekuasaan di negeri ini.
Nah, tentu menarik apakah di tahun 2024 mendatang, PDI Perjuangan mampu kembali mendudukkan kader mereka di kursi kepresidenan, atau kejadian di tahun 2014 akan kembali terulang?
Setidaknya PDI Perjuangan sudah menentukan siapa calon presiden (capres) dari partai mereka, yang akan Penulis bahas pada bagian selanjutnya. Tinggal ditunggu saja, siapa yang akan menjadi pesaing PDI Perjuangan di Pemilihan Presiden 2024 mendatang.
Siapa Saja Calon Presiden 2024?

Seperti yang sudah Penulis singgung di awal, sudah ada banyak nama yang terlihat ingin menyalonkan diri sebagai presiden, entah secara implisit maupun eksplisit. Anehnya, mereka yang sering Penulis lihat di baliho justru jarang dibicarakan oleh publik.
Kita telah melihat baliho Puan Maharani dari PDI Perjuangan dengan tagline Sayap Kebhinekaan. Namun, kita semua tahu PDI Perjuangan pada akhirnya menyalonkan Ganjar, bukan Puan.
Penulis juga kerap melihat baliho Muhaimin Iskandar alias Cak Imin dari PKB. Setiap musim pemilihan presiden, selalu ada wajahnya terpampang di mana. Bedanya, kali ini beliau dengan pede mencantumkan kata “Presiden”, bukan “Wakil Presiden” seperti di tahun 2019 silam.
Selain mereka berdua, Penulis juga sering melihat sosok Airlangga Hartarto, ketua umum Partai Golkar, di jalan-jalan. Menteri BUMN saat ini, Erick Thohir, juga kerap terlihat, bahkan sampai muncul di mesin ATM bank negara.
Menariknya, mereka semua belum ada yang telah dideklarasikan secara resmi oleh parpol. Sampai saat ini, baru ada dua sosok, yaitu Anies Baswedan yang diusung oleh Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat, serta Ganjar Pranowo dari PDI Perjuangan.
Selain itu, bau-baunya Prabowo Subianto juga akan dicalonkan oleh Partai Gerindra lagi untuk ketiga kalinya sebagai capres. Nama Ridwan Kamil juga kerap dimunculkan, walau belum mendapatkan dukungan dari partai mana pun.
Penutup
Berhubung pendaftaran capres masih lama (sekitar bulan Oktober), tentu peta politik ini masih bisa berubah. Apalagi, masih banyak partai politik yang belum secara tegas menentukan akan mengusung atau mendukung capres siapa.
Jika melihat daftar-daftar nama yang ada, kemungkinan besar hanya akan ada tiga capres yang akan maju, yaitu Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. Adanya Presidential Threshold tentu menjadi alasan utamanya.
Belum ada nama wakil presiden yang telah resmi digandeng oleh mereka. Namun, pergerakan PPP dengan “merekrut” Sandiaga Uno tampaknya memunculkan peluang kalau duet Ganjar-Sandi akan terjadi. Erick Thohir juga diisukan untuk menemani Ganjar.
Lantas, siapa yang akan Penulis pilih di 2024 berdasarkan nama-nama yang sudah ada? Penulis pribadi belum menentukan pilihannya karena masih menantikan program-program yang ditawarkan oleh para capres.
Kalau Pembaca, apakah sudah menentukan pilihan? Siapapun pilihan kita nanti, semoga saja kita bisa menjaga suhu politik kita di tahun politik 2024 bisa tetap dingin. Semoga siapapun yang terpilih, bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik lagi. Amin.
Lawang, 9 Mei 2023, terinspirasi setelah seringnya melihat beberapa tokoh mulai mempromosikan diri menjadi presiden
Foto Featured Image: ERA.ID
-
Anime & Komik4 bulan ago
Rame-Rame Ganti Foto Profil Luffy Gear 5
-
Film & Serial4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Menonton Oppenheimer
-
Tokoh & Sejarah4 bulan ago
Bagaimana Oppenheimer (Secara Tidak Langsung) Membantu Indonesia Merdeka
-
Buku5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca The 5 AM Club
-
Pengembangan Diri3 bulan ago
Belajar Melepas Perasaan Bersalah dari Kosan 95
-
Film & Serial4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Menonton Secret Invasion
-
Anime & Komik3 bulan ago
Pemimpin Boneka ala Mizukage Keempat
-
Renungan4 bulan ago
Bagaimana Jika Perang Nuklir Benar-Benar Terjadi?
You must be logged in to post a comment Login