Politik & Negara
Beropini Setelah Reformasi

Dari beberapa literatur sejarah yang telah saya baca, memang benar bahwa ketika Orde Baru berkuasa, mengeluarkan opini tidak bisa sembarangan. Pemerintah sangat represif terhadap orang-orang yang vokal melawan dirinya. Tuduhan sebagai antek PKI ataupun mengganggu kestabilan negara menjadi senjata utama mereka dalam memberangus oposisi.
Media menjadi corong pemerintah untuk menyuarakan keberhasilan mereka, sekaligus menutupi keburukan mereka. Siapa yang tidak mau menjadi corong, harus siap-siap dicabut izin penerbitannya oleh Kementerian Penerangan.
Semenjak reformasi, keran berpendapat mulai terbuka kembali. Media-media yang dulunya dibredel dipersilahkan untuk beroperasi kembali. Undang-undang mengenai kebebasan pers disahkan, kalau tidak salah di jaman presiden Habibie. Media pun bisa membuat berita tanpa harus menunggu petunjuk bapak presiden,
Kita, termasuk media, harus berterima kasih kepada mahasiswa dan para aktivis, yang dengan berbagai upaya, berhasil menggoyahkan kursi presiden Soeharto, hingga mencapai puncaknya pada tanggal 21 Mei 1998 ketika beliau mengumumkan pengunduran dirinya.
Media Sebagai Pengkritik Presiden
Karena kebebasan pers dilakukan, maka banyak hal yang bisa dilakukan oleh media, termasuk mengkritik kebijakan presiden. Mungkin yang paling terasa adalah ketika lengsernya Gus Dur sebagai presiden. Media tidak akan segan mem-blow up berita-berita yang menyudutkan Gus Dur. Ini tidak akan mungkin terjadi ketika Orde Baru masih kuat-kuatnya berkuasa.
Begitu pula presiden-presiden selanjutnya, tidak akan lepas dari pemberitaan negatif dari media. Sebagai pilar demokrasi keempat, memang sudah seharusnya media menjadi penyalur informasi antara pemerintah dengan rakyatnya, baik dan buruknya.
Oleh karena itu, akan menjadi pertanyaan besar apabila media hanya memberitakan kebaikan pemerintah saja, seolah mengulang dosa di masa Orde Baru, tanpa memberitakan kekurangan pemerintah yang sejatinya bisa dijadikan pondasi untuk menjadi lebih baik.
Menjadi Viral Agar Di Dengar
Sudah 20 tahun semenjak reformasi, tentu banyak hal yang berubah, termasuk media sebagai lahan untuk beropini. Di era teknologi seperti sekarang, mengeluarkan pendapat lebih sering dituangkan dalam media sosial ketimbang melalui media cetak. Menulis tweet tentu lebih cepat dan praktis jika dibandingkan mengirimkannya ke media cetak agar termuat di koran.
Menjadi viral di media sosial juga bisa sarana yang efektif untuk beropini agar di dengar oleh pemerintah. Mungkin itu yang menjadi alasan mengapa presiden BEM UI memberikan kartu kuning kepada presiden Jokowi. Agar menjadi perhatian, baik pemerintah maupun rakyat, ia melakukan aksi yang tidak biasa.
Hal itu terbukti efektif. Beberapa headline memberitakan aksi tersebut dan menautkannya dengan berbagai topik yang terkait. Mungkin saja saya yang kurang membaca referensi, namun berita yang saya baca lebih banyak menyinggung sisi negatifnya, seperti ucapannya ketika di acara Mata Najwa tentang siapa yang memanfaatkan jalan tol, ataupun etikanya yang dianggap mencoreng muka Universitas Indonesia.
Hampir tidak saya temukan berita dengan headline seperti “kebangkitan mahasiswa dalam beropini” atau sebagainya. Saya sering mendengar opini bahwa mahasiswa jaman sekarang kurang bersuara laiknya mahasiswa di penghujung 90an. Bukankah ini seharusnya bisa dijadikan momentum untuk mengembalikan peran mahasiswa sebagai agent of change?
Kembali ke Masa Orba?
Dengan adanya kebebasan berpendapat, sesuatu yang kita dapatkan setelah banyak darah tumpah demi menuntut rezim turun, tentu membuat ruang untuk diskusi terbuka lebar. Kita tidak perlu takut lagi diculik agar suara kita dibungkam.
Atau itukah yang sedang terjadi sekarang? Beberapa orang secara misterius terluka bahkan tewas di tangan orang-orang yang, bagi sebagian orang, hanya rekayasa kelompok tertentu. Mulai dari Novel Baswedan, ahli IT Hermansyah, hingga ustad yang dipukuli oleh “orang gila”.
Benarkah beropini di era sekarang lebih bebas dibandingkan dengan jaman Orde Baru? Atau secara terselubung, kebebasan kita mulai dibatasi kembali? Bahkan dalam penerbitan penelitian saja, berdasarkan kata Rocky Gerung, harus membutuhkan ijin dari Kementerian Dalam Negeri. Menurut saya, ini seperti peran Kementerian Penerangan di jaman Orba yang lama dipegang oleh Harmoko.
Akankah kita kembali ke era Orde Baru? Ataukah itu hanya kekhawatiran yang berlebihan?
Menentukan Sikap Sebagai Seorang Rakyat
Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, kita sebagai rakyat seharusnya bisa melihat kinerja pemerintah secara obyektif, seperti pada tulisan saya yang berjudul Ketika Demokrasi Menjadi Subyektif. Beri apresiasi ketika meraih prestasi, kritik jika masih terdapat aspek yang perlu diperbaiki.
Hanya karena kita menjadi pendukung tokoh tersebut, bukan berarti kita harus menutup mata atas segala kesalahannya. Memberi kritik yang membangun merupakan bentuk dukungan yang sejati. Apa yang dilakukan oleh kawan-kawan mahasiswa kita, merupakan bentuk penyampaian opini yang extraordinary agar mereka di dengar.
Tidak ada yang salah dengan memberikan kritik, selama diutarakan secara santun dan beretika. Begitu pula yang dikritik, alangkah lebih baik jika kritik tersebut dijadikan bahan sebagai interopeksi diri dan membuka diri untuk perbaikan. Bukannya marah karena merasa dihina.
NB: Secara tidak sengaja, tulisan ini bersamaan dengan Hari Pers Nasional. Jadi, selamat Hari Pers Nasional!
Lawang, 9 Februari 2018, setelah mendesain ulang website kodingdong.com
Sumber Foto: https://www.halogensoftware.com/blog/upward-feedback-how-to-give-your-boss-your-honest-opinion
Politik & Negara
Ketika Para Artis Terjun ke Dunia Politik

Seperti yang sudah Penulis bahas dalam tulisan 2024 Mau Pilih Siapa?, tahun depan akan menjadi tahun politik. Jika melihat situasi dan kondisi sekarang, bukan tidak mungkin suasananya akan terasa lebih “panas” dari tahun-tahun sebelumnya.
Selain menantikan calon-calon presiden yang akan dimunculkan, hal yang menarik lainnya adalah mengetahu siapa saja calon legislatif (caleg) yang bisa kita pilih nantinya. Apalagi, tahun depan dipastikan akan banyak artis dan public figure yang turut serta.
Pada tulisan kali ini, Penulis akan membahas sedikit mengenai fenomena artis yang terjun ke dunia politik. Apakah peranan mereka hanya sekadar pendulang suara, atau mereka benar-benar memiliki kapabilitas untuk mewakili rakyat?
Mengapa Para Artis Ingin Menjadi Caleg?
Begitu melihat panjangnya daftar nama artis dan public figure yang akan mencalonkan diri sebagai caleg, Penulis benar-benar terkejut. Rasanya, belum pernah daftarnya sepanjang ini. Pembaca bisa melihatnya melalui posting dari Finfolk Money di bawah ini:
Memang ada beberapa nama lama seperti Kris Dayanti, Rieke Diah Pitaloka, Nurul Arifin, hingga Desy Ratnasari. Namun, jujur Penulis menemukan banyak nama baru di sini. Pemilu 2024 tampaknya menjadi debut mereka di dunia politik, jika seandainya terpilih.
Berbondong-bondongnya mereka untuk mencalonkan diri pun menimbukan tanda tanya besar: Apakah mereka yang selama ini berprofesi sebagai entertainer memiliki kemampuan untuk berpolitik yang terkenal rumit dan penuh intrik?
Jika mau berprasangka buruk, kemungkinan besar para artis tersebut direkrut untuk mendulang suara partai yang mengusung mereka. Dengan popularitas yang dimiliki, bukan tidak mungkin masyarakat memiliki tokoh yang mereka tahu.
Kalau mau dibandingkan dengan para kader partai biasa, jelas para selebriti akan lebih dikenal oleh masyarakat. Tanpa membawa embel-embel kampanye pun, kehadiran mereka pasti mampu untuk menarik massa.
Dari sisi artisnya, mungkin mereka merasa masa mereka di dunia hiburan sudah hampir habis, sehingga memutuskan untuk banting setir ke profesi yang lebih menjanjikan. Apalagi, caleg memang memiliki gaji dan tunjangan yang cukup menggiurkan.
Jika mau berprasangka baik, bisa jadi para artis tersebut merasa ada begitu banyak masalah di negara ini dan ingin berkontribusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Kalau mau memperbaiki sistem, ya harus masuk ke dalam sistemnya.
Dengan pengaruh dan ketenaran yang dimiliki, bisa jadi suara mereka lebih didengar. Bisa jadi ide-ide yang keluar dari para tokoh ini bisa menjadi solusi dari sebuah permasalahan. Bisa jadi mereka adalah sosok sesungguhnya yang pantas untuk menjadi wakil rakyat.
Pertanyaannya, mana yang benar? Tergantung. Semua tentu memiliki motivasinya masing-masing hingga rela meninggalkan dunia keartisan dan memilih untuk terjun ke dunia politik. Jadi, mungkin lebih baik kita seimbangkan saja antara prasangka baik dan buruknya.
Apakah Para Artis Boleh Menjadi Caleg?
Lantas, apakah para artis boleh bergabung dengan partai politik dan menjadi caleg? Tentu saja boleh, mengingat semua warga Indonesia pada dasarnya memiliki hak yang sama, walau belum tentu semua orang memiliki kesempatan tersebut.
Hanya saja, Penulis memang sedikit merasa khawatir kalau para artis ini hanya digunakan “alat” agar partai politik bisa meraup lebih banyak suara. Dengan nama besar yang sudah dimiliki, mereka rasanya tidak perlu memasang baliho di mana-mana.
Selain itu, Penulis juga mempertanyakan kapabilitas mereka karena menjadi seorang wakil rakyat merupakan pekerjaan yang berat. Jika mereka selama ini berkarir sebagai entertainer, kapan mereka memiliki waktu untuk belajar politik dan lain-lain?
Memang ada beberapa artis yang terbukti berhasil menjadi anggota dewan selama bertahun-tahun, bahkan terus terpilih di setiap pemilu. Namun, rasanya persentasenya tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan politisi asli.
Masyarakat kita harusnya juga sudah cukup cerdas dalam berpolitik. Dalam memilih caleg, tentu yang harus dipertimbangkan adalah program, visi misi, maupun track record-nya selama ini. Jangan sampai memilih caleg hanya berdasarkan popularitasnya saja.
Jika nanti mereka memang banyak yang terpilih, Penulis hanya bisa berdoa agar mereka amanah dan mampu mengemban tanggung jawab dengan sebaik mungkin. Semoga mereka bisa lebih baik dari anggota-anggota dewan sebelumnya.
Jika mereka terbukti mampu menjadi wakil rakyat yang baik, bukan tidak mungkin di masa depan akan lebih banyak lagi artis dan public figure yang mengikuti jejak mereka.
Lawang, 23 Mei 2023, terinspirasi setelah menyadari kalau ada banyak artis yang mencalonkan diri sebagai caleg di Pemilu 2024 mendatang
Foto Featured Image:
Politik & Negara
2024 Mau Pilih Siapa?

Tak terasa tahun 2024 akan segera datang. Presiden Joko Widodo telah menggenapi masa jabatannya selama dua periode. Artinya, suasana politik akan “memanas” dalam beberapa bulan mendatang, hingga saatnya pemilihan presiden (pilpres).
Dalam beberapa tahun terakhir, sudah mulai terasa tokoh-tokoh yang mengampanyekan diri agar lebih dikenal oleh publik, sehingga mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk dicalonkan menjadi presiden.
Untuk itu, Penulis pun ingin sedikit membahas mengenai peta politik di 2024 secara kasar dan siapa saja yang akan muncul ke permukaan, sembari membahas sejarah pesta demokrasi kita yang bisa dibilang masih berusia muda ini.
Partai Penguasa Belum Tentu Menang Lagi

Ketika seorang presiden yang sudah dua kali menjabat akhirnya lengser, tentu publik akan merasa penasaran siapa sosok baru yang akan menggantikannya. Ini karena dalam era demokrasi, presiden petahana memang selalu bisa menang lagi.
Setelah 32 tahun dipimpin oleh Soeharto, kita memiliki 3 presiden dalam rentang 6 tahun (1998 – 2004), yaitu B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati Sukarnoputri. Barulah setelah itu, kita mengalami era politik yang relatif stabil.
Dalam era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), beliau berhasil memenangkan pemilu di tahun 2004 dan 2009, bersama wakil presiden yang berbeda. Begitu pula di era Joko Widodo, yang berhasil memenangkan pemilu di tahun 2014 dan 2019 juga dengan berbeda wakil.
Menariknya, dalam 20 tahun tersebut, kita bisa melihat kalau partai politik (parpol) yang menang pilpres belum tentu bisa memenangkan pemilu lagi. Sebagai gantinya, justru pihak oposisi yang berhasil “merebut” kekuasaan.
SBY bersama Partai Demokrat gagal mempertahankan kursi mereka, bahkan di tahun 2014 memutuskan untuk netral dan tidak mencalonkan presiden. Pada akhirnya, Joko Widodo dan PDI Perjuangan yang merupakan oposisi berhasil meraih pucuk kekuasaan di negeri ini.
Nah, tentu menarik apakah di tahun 2024 mendatang, PDI Perjuangan mampu kembali mendudukkan kader mereka di kursi kepresidenan, atau kejadian di tahun 2014 akan kembali terulang?
Setidaknya PDI Perjuangan sudah menentukan siapa calon presiden (capres) dari partai mereka, yang akan Penulis bahas pada bagian selanjutnya. Tinggal ditunggu saja, siapa yang akan menjadi pesaing PDI Perjuangan di Pemilihan Presiden 2024 mendatang.
Siapa Saja Calon Presiden 2024?

Seperti yang sudah Penulis singgung di awal, sudah ada banyak nama yang terlihat ingin menyalonkan diri sebagai presiden, entah secara implisit maupun eksplisit. Anehnya, mereka yang sering Penulis lihat di baliho justru jarang dibicarakan oleh publik.
Kita telah melihat baliho Puan Maharani dari PDI Perjuangan dengan tagline Sayap Kebhinekaan. Namun, kita semua tahu PDI Perjuangan pada akhirnya menyalonkan Ganjar, bukan Puan.
Penulis juga kerap melihat baliho Muhaimin Iskandar alias Cak Imin dari PKB. Setiap musim pemilihan presiden, selalu ada wajahnya terpampang di mana. Bedanya, kali ini beliau dengan pede mencantumkan kata “Presiden”, bukan “Wakil Presiden” seperti di tahun 2019 silam.
Selain mereka berdua, Penulis juga sering melihat sosok Airlangga Hartarto, ketua umum Partai Golkar, di jalan-jalan. Menteri BUMN saat ini, Erick Thohir, juga kerap terlihat, bahkan sampai muncul di mesin ATM bank negara.
Menariknya, mereka semua belum ada yang telah dideklarasikan secara resmi oleh parpol. Sampai saat ini, baru ada dua sosok, yaitu Anies Baswedan yang diusung oleh Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat, serta Ganjar Pranowo dari PDI Perjuangan.
Selain itu, bau-baunya Prabowo Subianto juga akan dicalonkan oleh Partai Gerindra lagi untuk ketiga kalinya sebagai capres. Nama Ridwan Kamil juga kerap dimunculkan, walau belum mendapatkan dukungan dari partai mana pun.
Penutup
Berhubung pendaftaran capres masih lama (sekitar bulan Oktober), tentu peta politik ini masih bisa berubah. Apalagi, masih banyak partai politik yang belum secara tegas menentukan akan mengusung atau mendukung capres siapa.
Jika melihat daftar-daftar nama yang ada, kemungkinan besar hanya akan ada tiga capres yang akan maju, yaitu Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. Adanya Presidential Threshold tentu menjadi alasan utamanya.
Belum ada nama wakil presiden yang telah resmi digandeng oleh mereka. Namun, pergerakan PPP dengan “merekrut” Sandiaga Uno tampaknya memunculkan peluang kalau duet Ganjar-Sandi akan terjadi. Erick Thohir juga diisukan untuk menemani Ganjar.
Lantas, siapa yang akan Penulis pilih di 2024 berdasarkan nama-nama yang sudah ada? Penulis pribadi belum menentukan pilihannya karena masih menantikan program-program yang ditawarkan oleh para capres.
Kalau Pembaca, apakah sudah menentukan pilihan? Siapapun pilihan kita nanti, semoga saja kita bisa menjaga suhu politik kita di tahun politik 2024 bisa tetap dingin. Semoga siapapun yang terpilih, bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik lagi. Amin.
Lawang, 9 Mei 2023, terinspirasi setelah seringnya melihat beberapa tokoh mulai mempromosikan diri menjadi presiden
Foto Featured Image: ERA.ID
Politik & Negara
Formula E di Pusaran Politik Indonesia

Di awal bulan Juni ini, Jakarta untuk pertama kalinya menjadi salah satu tuan rumah ajang balapan mobil listrik Formula E yang berada di bawah naungan FIA (Fédération Internationale de l’Automobile), badan yang juga menaungi Formula 1 alias F1.
Sebagai penggemar F1, Penulis pun merasa tertarik untuk menonton balapan ini karena diadakan di Indonesia. Meskipun tidak pernah mengikuti Formula E, justru ini menjadi kesempatan untuk bisa mengenal cabang balapan yang satu ini.
Ada banyak hal baru yang Penulis ketahui tentang Formula E dan apa saja perbedaannya dengan F1. Contoh, tidak adanya jumlah lap, adanya zona Attack Mode dan voting penggemar yang bisa menambah kecepatan, dan masih banyak lagi lainnya.
Setelah melalui balapan yang terselenggara sekitar 45 menit tersebut, Mitch Evans berhasil menjadi juara. Penulis sendiri merasa menikmati balapan tersebut, terutama di 15 menit terakhir yang banyak menyajikan aksi salip menyalip.
Sayangnya, Penulis merasa kalau ajang sekelas Formula E ini harus berada di pusaran politik dengan begitu kencangnya, bahkan mulai dari jauh-jauh hari ketika banyak pihak yang meragukan kalau Jakarta sanggup menjadi tuan rumah.
Dipermasalahkan Sejak Awal

Bagi yang mengikuti “kisah” Formula E ini dari awal, pasti tahu kalau penyelenggaraannya sudah penuh dengan drama sejak inisiasinya. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, jelas menjadi salah satu yang paling sering disorot sekaligus diserang oleh lawan politiknya.
Masalah yang paling sering disinggung adalah Commitment Fee yang berjumlah 560 miliar (dari yang awalnya mencapai 2,3 triliun rupiah, mengalami penurunan karena adanya pandemi COVID-19).
Meskipun uang tersebut digunakan untuk kontrak selama tiga musim Formula E, jumlah tersebut dianggap terlalu besar, apalagi menggunakan APBD. Pihak yang paling vokal menolak pengadaan Formula E ini tentu saja Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Mereka kerap menyebutkan kalau Jakarta masih memiliki segudang permasalahan seperti banjir dan macet, sehingga dana tersebut tentu sangat sayang jika digelontorkan untuk “hanya” menggelar Formula E.
Selain itu, lokasi balapan yang awalnya ingin di sekitar Monas mendapatkan penolakan dari banyak pihak dengan berbagai alasan seperti ingin melindungi cagar budaya. Akhirnya, lokasi balapan pun dipindah ke area Ancol, dekat Jakarta International Stadium (JIS).
Kambing dan Terperosoknya Giring

Setelah sempat mengalami penundaan karena adanya pandemi, akhirnya Formula E di Jakarta akan diadakan pada pertengahan tahun 2022. Nah, pada awal tahun, ada sebuah kejadian yang menjadi viral akibat video yang direkam oleh Ketua Umum PSI, Giring Ganesha.
Ia melakukan semacam sidak ke lokasi yang akan menjadi sirkuit Formula E. Pada saat itu, kondisinya memang terlihat sama sekali belum layak untuk menjadi sebuah sirkuit. Masih banyak kambing, dan kaki Giring sempat terperosok ke dalam lumpur.
Hasil sidak ini pun memunculkan pesimisme publik terhadap Formula E: Apakah bisa hanya dalam beberapa bulan sirkuit dengan standar internasional akan bisa selesai dibangun?
Ternyata, pengerjaan sirkuit sangat cepat. Hanya dalam waktu tiga bulan (bahkan kurang), sirkuit Jakarta International E-Prix Circuit (JIEC) selesai dibangun. Pihak Jakpro dan Formula E seolah mampu menjawab keraguan publik tersebut.
Beda Perlakuan MotoGP dan Formula E

Hal lain yang disorot dari penyelenggaraan Formula E ini tentu saja dukungan dari pemerintah. Berbeda dengan penyelenggaraan MotoGP di Mandalika, tidak ada satupun sponsor dari BUMN.
Ketua Pelaksana Formula E Jakarta Ahmad Sahroni sempat mengungkapkan kekecewaannya atas absennya BUMN sebagai sponsor. Bahkan untuk masalah listrik, Sahroni mengungkapkan bahwa pihaknya membayar penuh, meskipun sempat ditawari pemotongan harga.
Alasannya pun bermacam-macam. Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan sudah banyak event yang harus disponsori seperti G20. Dirut PT Pertamina Nicke Widyawati menyebutkan bahwa model bisnis Formula E (yang merupakan mobil listrik) tidak sesuai dengan Pertamina.
Sebenarnya alasan-alasan tersebut masih masuk akal. Pemerintah memang terlihat seperti sedang mengalami masalah keuangan, sehingga harus pandai berhemat. Di sisi lain, Pertamina memang belum memiliki produk yang bisa digunakan untuk mobil listrik.
Hanya saja, memang cukup disayangkan jika BUMN yang bisa mewakili negara malah absen di ajang sebesar Formula E yang diliput oleh ratusan media dari luar negeri. Sebagai gantinya, ada 31 sponsor swasta seperti MS Glow yang masuk.
Jadi Komoditas Politik Banyak Pihak

Setelah melalui berbagai hal, akhirnya Formula E di Jakarta pun berhasil digelar pada hari Sabtu, 4 Juni 2022. Banyak yang menganggap panitia telah sukses menggelar ajang tersebut dan ternyata antusiasme publik pun cukup besar.
Menariknya, ada banyak sekali orang partai yang ikut hadir dalam acara tersebut. Kalau mau berprasangka buruk, mereka seolah ingin “memanfaatkan” kesuksesan Formula E untuk mendapatkan semacam exposure dan lebih dikenal oleh masyarakat.
Jelas, ini menjadi portofolio yang bagus bagi Anies Baswedan jika benar-benar ingin maju menjadi calon presiden (capres) di 2024. Selain itu, Ahmad Sahroni yang juga merupakan kader Partai Nasdem juga tampaknya menjadi semakin populer.
Lantas, bagaimana tanggapan dari pihak PSI yang selama ini paling kencang menolak Formula E? Giring mengatakan bahwa mungkin Formula E tidak akan terlaksana jika kakinya tidak masuk ke dalam lumpur. Menurutnya, itu menjadi motivasi bagi panitia.
Tidak hanya itu, ia juga menolak untuk menyebut Formula E di Jakarta sukses jika tidak ada parameter yang pasti dari sisi ekonomi. MotoGP memang berhasil menyumbang triliunan rupiah menurut klaim Sandiaga Uno, sehingga wajar Formula E diharapkan mampu meraih keuntungan seperti itu.
Kader PSI yang lain, Muhammad Guntur Romli, melalui akun Twitter-nya mengatakan bahwa Formula E (dan pembangunan JIS) adalah upaya Anies untuk menutupi kegagalannya dalam mengurus Jakarta.
Bahkan, setelah acaranya selesai, keriuhan politisnya masih lebih ramai daripada keriuhan acaranya sendiri.
Penutup
Komedian sekaligus sutradara Ernest Prakasa menyebutkan kalau wajar jika brand tidak mau mensponsori Formula E karena ajang tersebut kalah tenar dibandingkan MotoGP. Bahkan, ia menyebutkan siapa yang mengikuti Formula E selain pihak panitia.
Meskipun terkesan nyinyir, sebenarnya pernyataan Ernest memang ada benarnya. Ajang Formula E baru dimulai tahun 2014, berbeda dengan MotoGP yang sudah dihelat sejak tahun 1949 atau Formula 1 yang digelar sejak tahun 1950.
Hanya saja, menurut Penulis justru ketidakpopuleran tersebut jadi motivasi untuk menyelenggarakannya agar bisa menjadi populer. Dengan diadakannya Formula E tahun ini, masyarakat pun jadi tahu banyak tentang ajang ini.
Apalagi, Formula E memiliki kampanye untuk meningkatkan penggunaan kendaraan listrik (terlepas dari sisi bisnis juga tentunya) yang akan menggantikan kendaraan berbahan bakar fosil di masa depan.
Oleh karena itu, Penulis yang memang dasarnya penggemar F1 pun mendukung pengadaan Formula E, sama seperti ketika mendukung ajang MotoGP di Sirkuit Mandalika. Negara kita negara besar, harus mampu menyelenggarakan event internasional seperti itu.
Memang Penulis sedikit merasa risih dengan kencangnya nuansa politis di penyelenggaraan Formula E. Penulis ingin menikmati ajang ini sebagai penggemar olahraga balap tanpa embel-embel apapun.
Namun, Penulis menganggap kalau kita tak akan pernah bisa terlepas dari hal tersebut. Setiap ada kesempatan untuk menaikkan elektabilitas, pasti akan diambil oleh para politikus. Jadi, Penulis pun harus terbiasa dengan hal tersebut.
Lawang, 13 Juni 2022, terinspirasi setelah mengikuti pelaksanaan Formula E dari awal hingga akhir, lengkap dengan segala keriuhannya.
Foto: Formula E
Sumber Artikel:
- Jakpro: Commitment Fee Formula E Turun dari Rp 2,3 Triliun Jadi Rp 560 Miliar karena Kondisi Pandemi Covid-19 (kompas.com)
- Tak Ada BUMN di Daftar Sponsor Formula E, Ahmad Sahroni Sindir PLN? Halaman all – Kompas.com
- Pertamina Absen di Balapan Formula E, Kok Castrol Bisa? – Kabar24 Bisnis.com
- Kronologi Ernest Prakasa Komentari Formula E hingga Dibully, Permintaan Maaf Bikin Tambah Panas (suara.com)
- Musik4 bulan ago
Maskulinitas pada Musik Dewa
- Buku4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Funiculi Funicula: Kisah-Kisah yang Baru Terungkap
- Anime & Komik4 bulan ago
Alasan Saya Tidak Suka One Piece
- Musik5 bulan ago
9 Personel Twice dan Impresi Saya ke Mereka
- Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #6 King of New York
- Pengembangan Diri5 bulan ago
Pada Akhirnya, Kebaikan yang Kita Lakukan akan Kembali ke Diri Sendiri
- Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Funiculi Funicula: Before the Coffee Gets Cold (Spoiler Version)
- Sosial Budaya4 bulan ago
Hype Konser Coldplay di Indonesia: Beneran Nge-fans atau Sekadar FOMO?
You must be logged in to post a comment Login