Connect with us

Buku

Setelah Membaca Guru Aini

Published

on

Andrea Hirata adalah salah satu penulis buku favorit Penulis. Penulis tidak perlu membaca sinopsis ceritanya untuk membeli buku-buku terbarunya. Selain karena memang tidak ada, Penulis sudah terlanjur jatuh cinta dengan gaya bercerita Hirata.

Oleh karena itu, Penulis tidak perlu berpikir dua kali untuk pre-order novel terbaru Hirata, Guru Aini. Apalagi, novel ini merupakan prekuel dari novel Orang-Orang Biasa dan mengangkat tema pendidikan. Amboi!

Apa Isi Buku Ini?

Jika di tetralogi Laskar Pelangi ada si jenius Lintang, maka di novel ini ada seorang jenius matematika bernama Desi Istiqomah. Kepintarannya ini akan membuatnya mudah diterima di perguruan negeri jurusan apapun, termasuk kedokteran.

Sayangnya, Desi telah menentukan pilihan hidupnya. Setelah lulus SMA, ia ingin mengabdi untuk negeri dengan menjadi seorang guru matematika karena terinspirasi oleh gurunya sendiri, Bu Guru Marlis.

Desakan dari ibu dan guru sekolahnya sama sekali tidak bisa mengubah keputusan yang sudah dibuat oleh Desi. Hanya sang ayah yang mendukung cita-cita mulia tersebut.

Desi tetap bersikukuh untuk mengambil program D-3 yang bertujuan untuk mencetak guru-guru matematika baru. Ia tak peduli jika harus ditempatkan di tempat terpencil sekalipun.

Pada akhirnya, Desi pun berhasil melanjutkan pendidikannya dan menjadi guru matematika. Sebagai lulusan terbaik, Desi berhak untuk memilih untuk ditempatkan di mana. Akan tetapi, ia menolak priviliege tersebut dan memilih tetap ikut undian.

Awalnya, ia mendapatkan tempat mengajar di dekat pelabuhan besar. Melihat teman dekatnya ditempatkan di daerah yang sangat terpencil, Desi pun memutuskan untuk bertukar tempat dengannya.

Maka dengan bekal sepasang sepatu olahraga yang dibelikan oleh ayahnya, Desi melakukan perjalanan berat menuju sebuah pulau terpencil bernama Tanjong Tampar.

Di tempat tersebut, ia bersumpah tidak akan ganti sepatu menemukan anak jenius matematika di pulau tersebut. Desi hampir berhasil ketika mendapatkan seorang murid bernama Debut Awaludin.

Sayangnya, Debut menyia-nyiakan kejeniusannya dan memilih untuk bergabung dengan segerombolan anak kurang pintar yang bernama Rombongan 9. Desi pun dibuat patah hati melihat kejadian ini dan mengubah peringainya selama bertahun-tahun ke depan.

Di sisi lain, ada seorang anak bernama Aini yang sama sekali tidak berbakat matematika. Jika disuruh mengerjakan soal ke depan, perutnya akan langsung terasa sakit.

Kejadian ini terus berlangsung hingga ia masuk SMA. Untungnya, ia tidak masuk ke kelas Bu Desi yang terkenal karena kegalakannya di kelas.

Aini, yang merupakan anak dari salah satu anggota Rombongan 9 bernama Dinah, menjalani kehidupan SMA-nya bersama teman-temannya sejak SD. Sayang, sekolahnya terganggu karena ayahnya sakit keras. Ia pun terpaksa tinggal kelas.

Sakit ayahnya membuat Aini sadar bahwa dirinya tidak bisa terus seperti ini. Ia merasa dirinya lah yang bisa mengobati ayahnya dengan menjadi seorang dokter. Langkah pertamanya adalah menguasai matematika dan diajar langsung oleh Bu Desi.

Apakah Aini bakal diterima oleh Bu Desi menjadi murid kelasnya? Bagaimana cara agar Aini, yang seolah alergi dengan matematika, bisa menguasai matematika? Langsung aja cus baca novelnya!

Setelah Membaca Guru Aini

Salah satu alasan mengapa Penulis menggemari karya-karya Andrea Hirata adalah gaya bertutur khas melayu yang dimiliki, serta candaan-candaan ringan yang membuat kita akan tersenyum. Kedua hal tersebut dimiliki oleh novel Guru Aini yang satu ini.

Walaupun begitu, Penulis menangkap kritik sosial pada karya yang satu ini mengenai pemerataan pendidikan kita. Perjalanan berat yang dialami oleh Bu Desi ke Pulau Tanjong Tampar menunjukkan hal tersebut.

Tidak hanya itu, pihak sekolah juga terlihat kesulitan mencari tenaga mengajar, khususnya matematika. Ada guru yang diminta menunda pensiunnya, ada guru yang mengajar bukan bidangnya, dan lain sebagainya.

Alur ceritanya sendiri berjalan cepat, hampir tidak ada adegan yang digunakan untuk mengulur-ulur durasi. Penulis bisa menamatkan novel ini kurang dari tiga jam.

Hanya saja, Penulis merasa novel ini kurang padat dan sebenarnya bisa dijadikan satu buku dengan novel Orang-Orang Biasa. Perbedaan tema mungkin menjadi alasan mengapa akhirnya novel ini dibagi menjadi dua tulisan.

Kekurangan lain dari novel ini, sama seperti Orang-Orang Biasa, adalah tebalnya bagian katalog karya-karya Andrea Hirata di 1/8 belakang buku. Seolah sinopsis di bagian sampul belakang tidak cukup menunjukkan eksistensi sang penulis.

Sebagai seorang penulis yang telah memiliki nama, seharusnya hal-hal seperti ini tidak perlu dilakukan karena hanya akan membuat pembaca merasa risih.

Kita semua tahu novel Laskar Pelangi telah dicetak di banyak negara, kita tidak perlu tahu lagi setiap membeli novel-novel karyanya. Penulis tidak tahu apakah ini bagian dari promosi penerbit atau sekadar bentuk narsistik sang penulis.

Terlepas dari kekurangannya, Penulis merekomendasikan novel ini untuk semua kalangan, terutama yang tertarik dengan bidang pendidikan.

Nilainya: 4.2/5.0

 

 

Kebayoran Lama, 8 Februari 2020, terinspirasi setelah menamatkan buku Guru Aini karya Andrea Hirata

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang

Published

on

By

Jika disuruh menyebutkan salah satu penulis favoritnya, maka Penulis akan menyebutkan nama Seno Gumira Ajidarma. Tidak hanya karya sastranya yang ada banyak, Penulis juga membaca beberapa kumpulan tulisan esainya.

Beberapa buku non-fiksi dari Seno yang sudah Penulis baca adalah Jokowi, Sengkuni, Machiaveli, Obrolan Sukab, Tiada Ojek di Paris, dan Affair (yang sebenarnya belum selesai dibaca). Nah, buku terbaru dari Seno yang baru Penulis tamatkan adalah Orang Makan Orang.

Sebagaimana yang tertulis di bagian Catatan Penulis, buku ini bersifat “sekuel” dari buku Jokowi, Sengkuni, Machiavelii. Oleh karena itu, buku ini menjadi kumpulan tulisannya dari berbagai media yang tayang dari tahun 2017 hingga 2023.

Detail Buku Orang Makan Orang

  • Judul: Orang Makan Orang
  • Penulis: Seno Gumira Ajidarma
  • Penerbit: Penerbit Mizan
  • Cetakan: Pertama
  • Tanggal Terbit: Januari 2024
  • Tebal: 277 halaman
  • ISBN: 9786024413347
  • Harga: Rp89.000

Sinopsis Buku Orang Makan Orang

“Tiada apa pun yang dengan sendirinya benar—perjuangan makna, dengan segala kibulnyalah, yang meng-ada-kannya.”

Karena selalu dimaknai secara sempit sebagai pertarungan antarpartai politik demi memperebutkan kekuasaan, politik sering kali dianggap sebagai dunia kibul-kibul. Bahkan, dianggap sebagai tempat yang buruk untuk hidup.

Padahal, perebutan untuk menang dan berkuasa, dalam segala arti dan dengan segala cara, juga berlangsung di luar dunia politik. Dari sidang pengadilan sampai bencana pandemi, dari sinema sampai agama, dari wayang sampai sejarah, dari ekonomi sampai susastra, dari dunia militer sampai kriminal, dari humor sampai sepak bola, dari panggung politik itu sendiri sampai di dalam rumah tangga.

Dalam buku Orang Makan Orang ini, Seno Gumira Ajidarma mencoba menunjukkan siasat, konsep, dan ideologi dari berbagai manuver dalam kehidupan politik sehari-hari—sekadar agar manipulasi itu terbongkar. Manipulasi demi tujuan politik mana pun perlu diketahui, sebab manipulasi itu tentu tersembunyi—sehingga tiada kesetaraan antara yang tahu dan tidak tahu.

Isi Buku Orang Makan Orang

Sebagai kumpulan esai, buku ini terdiri dari 57 tulisan yang tayang dalam rentang tahun 2017 hingga 2023. Sesuai dengan subjudulnya (Kibul-Kibul Budaya Politik), mayoritas isinya membahas tentang isu politik yang sedang hangat ketika esai tersebut dibuat.

Salah satu yang paling Penulis ingat (dan menjadi bahan tulisan Bagaimana Jokowi Mengalahkan Lawan-Lawannya Tanpa Berperang) adalah “Arogansi (Politik) Jawa” di halaman yang dimuat pada Koran Tempo tahun 2019.

Dalam tulisan tersebu, Seno menyorot bagaimana Jokowi sebagai orang Jawa berusaha menerapkan filsafat Jawa yang ingin merangkul lawan-lawannya demi menjaga kekuasaannya. Hal tersebut bisa kita lihat pada peta politik Indonesia saat ini.

Namun, bisa dibilang kalau buku ini tak sepenuhnya membahas politik. Bahkan, bisa dibilang kalau 2/5 isinya justru menyorot sosial budaya dan tak memiliki keterkaitan dengan dunia politik.

Contohnya adalah beberapa kali Seno membahas mengenai karya-karya sastra klasik, yang mungkin tidak diketahui banyak orang. Di bagian akhir, Seno bahkan membahas banyak tentang sebuah karya berjudul Domba-Domba Revolusi.

Salah satu topik sosial budaya yang menarik perhatian Penulis adalah “Wayang, Agama, dan Paimo.” Pada tulisan yang di KumparanPlus tahun 2022 tersebut, Seno menjelaskan kalau goresan yang terdapat pada wayang merupakan yang kaligrafi Islam.

Hal ini masuk akal, mengingat wayang merupakan salah satu media yang digunakan para wali untuk menyebarkan agama Islam. Namun, Penulis tak menyangka kalau para wali sampai sedetail itu.

Setelah Membaca Orang Makan Orang

Jika boleh jujur, sebenarnya tak semua penulisannya Seno bisa Penulis pahami. Terkadang, struktur bahasa atau kalimatnya sulit untuk dimengerti seolah menggunakan bahasa sastra. Anehnya, Penulis tetap menyukai tulisan-tulisannya.

Begitu juga dengan buku Orang Makan Orang yang satu ini. Tidak semua tulisan esainya Penulis paham, terutama yang membahas tentang karya sastra klasik. Sudah tidak mengerti buku apa yang dibahas, poin yang ingin disampaikan pun sulit Penulis cerna.

Namun, Penulis tidak menyalahkan Seno sebagai penulis buku ini. Penulis saja yang kemampuan memahaminya tidak cukup tinggi untuk mencapai levelnya Seno. Apalagi, pengetahuan Penulis tentang sastra klasik juga sangat cetek.

Dari 57 topik yang dibahas di buku ini, mungkin yang bisa Penulis pahami hanya setengahnya. Namun, tetap saja Penulis bisa menikmati buku ini yang dibuktikan dengan tamatnya buku ini dan rilisnya artikel ini.

Salah satu hal yang membuat tulisan Seno menarik adalah banyaknya fakta menarik yang ia sajikan dalam tulisannya. Jadi, meskipun tidak benar-benar memahami keseluruhan tulisannya, setidaknya ada insight menarik yang berhasil Penulis dapatkan.

Fakta yang disajikan bukan fakta sembarangan yang bisa ditemukan di Google. Kalau masalah riset, Seno memang tak perlu diragukan lagi. Penulis pernah membahas mengenai hal ini pada artikel ulasan novel Jazz, Parfum, dan Insiden yang ditulis oleh Seno.

Namun, sebenarnya Penulis berharap isinya berisi tulisan politik semua, tanpa ada campuran tulisan sosial budaya. Apalagi, di subjudulnya tertulis “Kibul-Kibul Budaya Politik” yang membuat Penulis berpikir kalau buku ini benar-benar akan total membahs politik.

Terlepas dari hal tersebut, buku ini Penulis rekomendasikan untuk Pembaca yang gemar membaca tulisan-tulisan esai yang tayang di surat kabar. Buku ini akan terasa berat bagi Pembaca yang tidak terbiasa membaca buku.

Skor: 7/10


Lawang, 8 Juli 2024, terinspirasi setelah membaca Orang Makan Orang karya Seno Gumira Ajidarma

Continue Reading

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan

Published

on

By

Mungkin sudah banyak yang mengetahui kalau polisi yang tak bisa disuap di Indonesia, menurut Gus Dur, hanya ada tiga: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng. Karena muncul dari mulut mantan presiden Republik Indonesia, tentu nama Hoegeng berhasil menarik perhatian banyak orang, termasuk Penulis.

Oleh karena itu, Penulis pun akhirnya ingin mengetahui lebih dalam tentang sosok Hoegeng dan membeli buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan yang ditulis oleh Suhartono. Buku ini disusun berdasarkan dari kisah yang diceritakan mantan sekretaris Hoegeng, yaitu Soedharto.

Mengingat bukunya yang cukup tipis, Penulis tidak terlalu berharap kalau isinya akan menceritakan kisah hidup Hoegeng secara rinci dan lengkap. Namun, mengingat buku ini diterbitkan oleh Kompas yang terkenal akan kualitasnya, Penulis pun memutuskan untuk membacanya.

Detail Buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan

  • Judul: Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan
  • Penulis: Suhartono
  • Penerbit: Penerbit Buku Kompas
  • Cetakan: Ketujuh (Edisi Revisi)
  • Tanggal Terbit: September 2022
  • Tebal: 182 halaman
  • ISBN: 9789797097691
  • Harga: Rp75.000

Sinopsis Buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan

“Di Indonesia hanya ada tiga polisi yang tak bisa disuap: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng” — KH Abdurrahman Wahid

Generasi muda kini mungkin tak lagi tahu, Hoegeng yang dimaksud Presiden Abdurrahman Wahid dalam kata katanya di atas adalah almarhum Jenderal (Pol.) Hoegeng Iman Santoso, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) di zaman transisi Orde Lama menuju Orde Baru. Sebagai polisi, Hoegeng dikenal jujur, sederhana, dan tak kenal kompromi. Karenanya, seperti polisi tidur, ia tak bisa disuap.

Namun, bagaimana kiprah Hoegeng ketika ia dipercaya Presiden Soekarno menjadi Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet dan Menteri Iuran Negara, serta Kepala Jawatan Imigrasi Indonesia pada periode tahun 1961-1966?

Buku ini tak hanya menuturkan keteladanan Hoegeng sebagai polisi dan birokrat. Juga ada kisah hubungan Hoegeng dan Soedharto Martopoespito yang berakhir tragis. Cengkeraman kekuasaan Orde Baru memutuskan hubungan akrab di antara keduanya. Setelah Hoegeng bergabung dengan kelompok Petisi 50, sebagai PNS di kantor Menko Polkam, Dharto tak pernah berani lagi berhubungan secara pribadi dengan mantan atasannya itu.

Ditulis oleh Suhartono, wartawan harian Kompas berdasarkan kisah Soedharto Martopoespito, mantan sekretaris Hoegeng.

Isi Buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan

Berbeda dengan kebanyakan buku biografi pada umumnya yang menjelaskan kisah biografi secara kronologis, buku ini tidak menceritakan kisah hidup Hoegeng seperti itu. Bisa dibilang, format yang digunakan mirip dengan Seri Tokoh Tempo.

Edisi revisi ini menambahkan tiga bab yang diletakkan di depan lima bab sebelumnya. Ketiga bab tersebut berfungsi sebagai pelengkap, karena lima bab asli buku ini benar-benar murni dari hasil wawancara dengan mantan sekretaris Hoegeng.

Tiga bab tambahan tersebut berjudul 1) Antara Hoegeng dan Bung Karno 2) Legenda versus Realitas 3) Diusulkan Pahlawan Nasional. Sedangkan lima bab aslinya sendiri berjudul 4) Mengenal Hoegeng 5) Kesederhanaan Tanpa Pamrih 6) Kenangan Tugas Masa Lalu 7) Pegangan Hidup 8) Hari-Hari Bersama Keluarga 9) Silahturami yang Terputus.

Bisa dilihat dari judul bab-bab tersebut jika format buku ini bukan kronologis seperti kebanyakan buku biografi. Sebagian besar buku ini menyorot sepak terjang Hoegeng ketika memiliki sekretaris Soedarto. Di luar itu, tidak banyak hal yang dibahas.

Tentu ada bagian-bagian yang menjelaskan bagaimana Hoegeng sebagai polisi, menteri, bahkan anggota Petisi 50 bersama Ali Sadikin dan lainnya. Namun, sekali lagi, buku ini lebih banyak menyorot hubungan personal antara Hoegeng dan Soedharto.

Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan

Setelah membaca buku ini, jujur saja Penulis merasa kecewa karena isinya yang kurang mendalam dan justru terlalu fokus dengan hubungan Hoegeng dan mantan sekretarisnya. Memang hal tersebut disebutkan dalam sinopsis, tapi Penulis tidak menyangka itu justru mendominasi isi buku ini.

Kalau boleh jujur, buku ini lebih cocok berjudul Hoegeng di Mata Mantan Anak Buahnya. Judul tersebut terasa lebih menggambarkan isi buku ini, seperti buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya. Pembaca jadi mendapatkan gambaran kalau isi bukunya ya memang menurut perspektif orang lain.

Kalau buku ini, dari judulnya tentu pembaca akan berekspektasi kalau isinya akan banyak mengulas kiprah Hoegeng sebagai polisi dan menteri. Memang dibahas, tapi sangat basic seperti informasi yang bisa ditemukan di Wikipedia.

Fakta-fakta menarik yang menunjukkan kesederhanaan Hoegeng pun rasanya sudah banyak dibahas entah di situs web maupun media sosial. Tidak ada yang spesial dengan isi buku ini, kecuali jika pembacanya mungkin belum pernah mendengar nama Hoegeng sama sekali.

Di sisi lain, mungkin hal tersebut membuat buku ini mudah dipahami karena isinya ya memang sederhana. Kalau untuk sekadar sebagai penambah insight tentang sosok Hoegeng yang luar biasa, buku ini bisa melakukannya.

Setidaknya, setelah membaca buku Hoegeng ini, kita bisa mendapatkan gambaran bagaimana sosok polisi jujur yang satu ini seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi kita semua. Hoegeng sudah seharusnya menjadi standar bagi para pejabat publik di Indonesia.

Untuk kisah hidup Hoegeng, Penulis jelas akan memberikan skor 10/10 untuk beliau. Akan tetapi, untuk kualitas bukunya sendiri, Penulis akan memberikan skor yang cukup rendah untuk ukuran buku terbitan Kompas.

Skor: 4/10


Lawang, 29 Juni 2024, terinspirasi setelah membaca buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan karya Suhartono

Continue Reading

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Ali Sadikin

Published

on

By

Jika disuruh menyebutkan satu saja gubernur Jawa Timur yang melegenda, Penulis tidak akan bisa menyebutkan satu nama pun. Namun, kalau pertanyaannya diganti gubernur Jakarta, Penulis akan langsung menjawab Ali Sadikin.

Penulis tidak benar-benar ingat dari mana nama Ali Sadikin muncul di kehidupan Penulis. Yang Penulis tahu, beliau adalah sosok gubernur yang sangat terkenal dan banyak prestasinya. Seperti apa kebijakan yang ia buat hingga bisa menjadi sosok populis tidak Penulis ketahui.

Nah, kebetulan Tim TEMPO merilis buku biografi singkatnya, yang menyadi edisti terbaru Seri Buku Tempo setelah sekian lama. Mengingat Penulis mengoleksi serinya, tentu saja Penulis membaca buku ini, sekalian belajar apa saja terobosan yang pernah dilakukan oleh Ali Sadikin.

Detail Buku Ali Sadikin

  • Judul: Ali Sadikin: Gubernur Jakarta yang Melampaui Zaman
  • Penulis: Tim TEMPO
  • Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
  • Cetakan: Pertama
  • Tanggal Terbit: November 2023
  • Tebal: 130 halaman
  • ISBN: 9786231341167
  • Harga: Rp75.000

Sinopsis Ali Sadikin

Sejarah Jakarta tak bisa dilepaskan dari sosok Ali Sadikin. Ditunjuk langsung sebagai Gubernur DKI Jakarta (menjabat 1966-1977) oleh Presiden Sukarno, Bang Ali-begitu dia biasa disapa-dinilai mampu mengatasi berbagai problem yang melanda ibu kota. Selama 11 tahun menjabat gubernur, Bang Ali tidak hanya meletakkan fondasi perkembangan Jakarta, tetapi juga menunjukkan bagaimana seharusnya kota yang bermartabat sekaligus hijau dibangun.

Bagi Bang Ali, Jakarta harus menjadi ibu kota yang mencerminkan kebanggaan nasional, sesuai cita-cita Bung Karno. Untuk itu, dia berupaya mewujudkan Jakarta yang manusiawi, berbudaya, nyaman, dan tertib. Dia membangun berbagai fasilitas publik dan memperbaiki kampung kumuh, berupaya mengatasi banjir dengan menyiapkan kawasan hijau yang mengelilingi ibu kota, membangun tempat berkumpul bagi para seniman, dan ikut mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.

Namun, kepemimpinan Bang Ali bukan tanpa kontroversi. Dia, misalnya, melegalkan perjudian dan memungut pajaknya untuk mengubah wajah kota yang suram menjadi metropolis. Bang Ali tidak peduli meski dicaci maki dan dijuluki-gubernur maksiat-. Setelah tidak menjabat gubernur, dia bergabung dengan kelompok Petisi 50 dan tak ragu menunjukkan sikap politik yang berseberangan dengan Presiden Soeharto.

Apa Isi Buku Ali Sadikin?

Seperti biasa, Seri Buku Tempo tidak menjabarkan kisah sosok yang diangkat secara kronologis. Hanya beberapa kejadian penting saja yang diulas, atau dalam konteks Ali Sadikin, lebih banyak menyorot kebijakan yang pernah ia buat.

Ada dua bab utama dalam buku ini, yakni “Nahkoda Koppig Ibu Kota” yang menjabarkan sepak terjang Ali selama menjadi gubernur, dan “Oposan Setelah Jabatan” yang menceritakan kisah Ali yang menjadi oposisi dari Presiden Soeharto.

Hampir semua daftar kebijakan yang dibuat oleh Ali sebenarnya sudah disebutkan di bagian sinopsis di atas. Isi bukunya mengelaborasi kebijakan-kebijakan tersebut secara lebih detail, baik yang positif maupun yang kontroversial.

Salah satu raihan positif yang pernah Ali selama menjabat sebagai seorang gubernur adalah melakukan revitalisasi kota Jakarta menjadi lebih modern, mirip dengan yang dilakukan oleh Napoleon III ke Paris.

Kebijakan yang paling kontroversial tentu saja bagaimana ia melegalkan perjudian untuk menambah anggaran daerah. Uang pemasukan dari sektor tersebut ia gunakan untuk membangun Jakarta menjadi kota modern.

Untuk bagian kedua, sebenarnya lebih menjelaskan posisi Ali yang memutuskan untuk berseberangan dengan Soeharto. Waktu itu, bahkan ada yang menyebut kalau Ali dan Soeharto seolah menjadi matahari kembar.

Ali juga bergabung dengan kelompok Petisi 50 yang berisi beberapa tokoh, termasuk Hoegeng yang buku biografinya juga baru saja Penulis tamatkan (artikel review-nya akan menyusul minggu depan).

Setelah Membaca Buku Ali Sadikin

Penulis selalu suka dengan buku-buku Seri Buku Tempo yang menyorot banyak tokoh nasional secara singkat, tapi penuh dengan fakta menarik yang disusun secara cermat dan berkualitas. Bahasanya pun menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.

Buku Ali Sadikin ini pun juga masih mempertahankan hal tersebut. Namun, Penulis merasa kalau edisi yang kali ini agak repetitif hingga terkesan dipanjang-panjangkan agar memenuhi syarat untuk diterbitkan menjadi sebuah buku.

Info yang disampaikan cuma itu-itu saja, seolah baca sinopsisnya saja sudah cukup. Entah mengapa Penulis merasa elaborasi di setiap bagiannya terasa kurang mendalam. Ini sangat berbeda dengan beberapa Seri Buku Tempo lain yang pernah Penulis baca.

Apakah itu karena kisah hidup Ali Sadikin memang kurang memiliki banyak cerita menarik? Rasanya tidak. Keputusan Tempo untuk mengangkat kisah Ali Sadikin sudah cukup menjadi bukti bagaimana ia memang seorang tokoh nasional yang layak dipelajari kisah hidupnya.

Setidaknya, Penulis jadi mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengapa Ali Sadikin dianggap sebagai seorang mantan gubernur Jakarta yang legendaris. Kiprahnya selama menjabat telah menjadi standar untuk gubernur-gubernur selanjutnya.

Skor: 7/10


Lawang, 22 Juni 2024, terinspirasi setelah membaca buku Ali Sadikin dari Tim Tempo

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan