Connect with us

Pengalaman

Pengalaman Mengejar Beasiswa (dan Gagal Empat Kali)

Published

on

Pada tulisan Dulu Kerja di Mana, penulis sudah bercerita tentang perjalanannya setelah lulus kuliah dan mengapa baru bekerja formal lebih dari satu setengah tahun setelah wisuda.

Alasan terkuatnya adalah penulis yang ingin mengejar beasiswa di luar negeri dan mengejar karir sebagai seorang dosen. Maklum, penulis memiliki passion mengajar hingga menggagas kegiatan SWI Mengajar di lingkungan penulis.

Karena bulan depan sertifikat IELTS penulis akan kedaluwarsa (masa berlakunya 2 tahun), penulis ingin sedikit berbagi pengalaman tentang kegagalan (atau kebelumberhasilan) dalam mengejar beasiswa.

Chevening

Beasiswa pertama yang penulis kejar adalah Chevening. Bagaimana tidak, penulis terobsesi dengan Inggris sejak lama sehingga bisa sekolah di sana tentu menjadi impian.

Apalagi beasiswa Chevening termasuk yang pertama buka, sekitar bulan Agustus sampai November. Pada periode tersebut di tahun 2017, penulis sedang mengambil kursus perisiapan IELTS di Kampung Inggris.

Loh, berarti belum punya sertifkat IELTS, dong? Belum, tapi kita memang bisa mendaftar tanpa IELTS dan mencantumkan keterangan kalau akan menyusulkan hasil tesnya. Toh, tidak ada risiko yang diambil.

Beasiswa Chevening mengharuskan kita memilih tiga jurusan berserta kampusnya. Sebagai orang awam, tentu awalnya penulis mengalami kesulitan kampus mana yang cocok.

Setelah melakukan riset, penulis menemukan ada tiga kampus yang cocok untuk penulis. Kampus tersebut adalah University of Reading (UR)Manchester Metropolitan University (MMU), dan University of Brighton.

Jurusan yang diambil kurang lebih bidangnya sama, yakni Information Management. Ketiga kampus tersebut memiliki jurusan tersebut dan memiliki peringkat yang tidak terlalu tinggi, tapi lebih tinggi dari kampus Indonesia pada waktu itu.

Untuk lebih memahami jurusan yang akan diambil, penulis rela berangkat ke Yogyakarta untuk menghadiri acara Pameran Studi Luar Negeri, salah satu yang terbesar di Indonesia.

Di sana, penulis bertemu dengan perwakilan dari University of Reading dan Manchester Metropolitan University secara langsung. Setelah pertemuan, penulis pun mendaftar ke kampus-kampus tersebut untuk mendapatkan Letter of Acceptance atau LoA.

Alhamdulillah, penulis berhasil mendapatkan LoA conditional dari UR dan MMU yang artinya penulis telah diterima di kampus tersebut.

Penulis tinggal berusaha mendapatkan nilai IELTS dan melengkapi berbagai persyaratan Chevening lainnya, termasuk menjawab empat pertanyaan Chevening.

Empat pertanyaan tersebut adalah tentang Leadership & Influence, Networking, Studying in the UK, dan Career Plan. Penulis juga membuat Motivation Letter. Mungkin kapan-kapan, penulis akan membagikan jawaban-jawaban tersebut di blog ini.

Karena berhasil mendapatkan nilai minimum IELTS (6.5), penulis berhasil menngubah LoA di UR menjadi unconditional. Untuk MMU belum karena surat rekomendasinya dianggap kurang memenuhi syarat.

Sayangnya pada awal tahun 2018, penulis mendapatkan pengumuman kalau belum berhasil mendapatkan beasiswa Chevening yang begitu didambakan.

Sebenarnya, penulis mendapatkan beasiswa sebesar 5.000 poundsterling dari MMU, akan tetapi jumlah uang sekolahnya 13.000 poundsterling. Penulis tidak akan sanggup membayar sisa uang tersebut.

New Zealand ASEAN Scholarship (NZAS)

New Zealand ASEAN Scholarship (Oxbridge)

Sempat drop karena kegagalan pertama, penulis mencoba beasiswa lainnya yang tersedia. Salah satu yang menarik minat penulis adalah New Zealand ASEAN Scholarship (NZAS).

Penulis melakukan pendaftaran di sela-sela pelatihan menjadi volunteer Asian Games, di mana penulis memutuskan untuk ikut setelah kegagalan mendapatkan beasiswa Chevening.

Selandia Baru adalah negara yang menarik. Apalagi, mereka juga menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi sehingga akan membantu banyak.

Sama seperti Chevening, penulis pun melakukan pendaftaran beasiswa. Penulis juga berusaha mendapatkan LoA dari kampus-kampus yang dituju walaupun tidak mendapatkan balasan.

Dibandingkan dengan Chevening, ada banyak pertanyaan yang harus dijawab ketika kita ingin mendaftar. Kalau tidak salah, ada belasan soal esai yang harus penulis selesaikan.

Persiapan yang penulis lakukan untuk mendaftar di kampus ini tidak segigih ketika mendaftar di Chevening, sehingga bisa ditebak jika penulis pun gagal mendapatkan beasiswa NZAS.

Ignacy Łukasiewicz

Ignacy Łukasiewicz (NAWA)

Dua kali kegagalan cukup membuat penulis semakin merasa drop, tapi tidak cukup untuk menghentikan penulis untuk mencoba mendapatkan beasiswa. Ignacy Łukasiewicz dari Polandia menjadi target selanjutnya.

Penulis memilih negara ini bukan tanpa alasan. Penulis memiliki teman yang sudah melakukan studi di sana, sehingga setidaknya penulis memiliki referensi secara langsung. Penulis juga mendaftar di kampus dan jurusan yang sama dengannya.

Selain mengerjakan esai, untuk pertama kalinya penulis diminta untuk membuat surat keterangan sehat. Hal ini tidak dipersyaratkan oleh kedua beasiswa yang penulis coba sebelumnya.

Setelah menyelesaikan berbagai proses administrasi, lagi-lagi penulis harus menelan kekecewaan karena belum berhasil mendapatkan beasiswa. Bedanya, penulis sempat masuk ke dalam daftar cadangan walau akhirnya juga tidak mendapatkan panggilan.

Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)

Tiga kali kegagalan membuat penulis mulai melupakan impiannya untuk mendapatkan beasiswa (dianggap mental lemah enggak apa-apa, kok). Oleh karena itu ketika LPDP mulai membuka pendaftaran, penulis agak setengah hati mengerjakannya.

Kegagalan mendaftar beasiswa yang satu ini bukan karena tidak memenuhi persyaratan, melain karena penulis memutuskan untuk tidak jadi mendaftar.

Salah satu persyaratan mendaftar adalah memiliki surat bebas dari penyakit TBC. Ketika coba pergi ke Rumah Sakit Sumber Waras, ternyata biayanya cukup tinggi dan butuh waktu agak lama.

Mendengar kabar tersebut, penulis memutuskan untuk membatalkan niat mendaftar LPDP. Apalagi, penulis mulai disibukkan dengan berbagai kegiatan Asian Games waktu itu.

Mengapa Bisa Gagal?

Setelah lewat satu tahun, terkadang penulis melakukan kontemplasi untuk mencari alasan mengapa bisa gagal mendapatkan beasiswa hingga empat kali. Jawabannya adalah karena diri penulis sendiri.

Pertama, penulis kurang mempersiapkan diri. Semua serba mendadak dan tidak dipersiapkan secara matang. Apalagi setelah menonton video Jerome Polin, penulis semakin yakin kalau start-nya sedikit terlambat.

Kedua, penulis kurang mencurahkan waktunya untuk belajar. Memang penulis berhasil mendapatkan nilai IELTS yang dipersyaratkan, akan tetapi lebih banyak waktu penulis yang habis untuk hal yang sia-sia.

Seharusnya, penulis mengalokasikan waktunya untuk melakukan riset tentang kampus, jurusan, negara tujuan, target ke depan, rencana karir, dan lain sebagainya.

Hal-hal tersebut tentu akan membantu penulis dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang harus penulis jawab ketika mendaftar. Ini menjadi alasan ketiga mengapa penulis gagal.

Alasan terakhir yang mungkin juga menjadi alasan utama adalah jawaban-jawaban esai penulis yang kurang mengena, terlalu muluk, dan kurang realistis. Penulis menyadari hal ini ketika membaca ulang jawaban-jawaban penulis.

Mungkin ada alasan-alasan lain yang menyebabkan penulis gagal, namun keempat hal tersebut penulis anggap sebagai alasan utamanya. Yang jelas, penulis tidak akan menuduh buku-buku motivasi ataupun orang-orang yang memberi semangat sebagai toxic positivity.

Penutup

Apakah penulis merasa menyesal karena sudah membuang waktunya satu tahun lebih untuk mengejar beasiswa? Jawabannya tentu saja TIDAK.

Selama proses mendapatkan beasiswa, penulis mendapatkan banyak sekali pelajaran kehidupan yang berharga. Banyak sekali hal yang baru penulis ketahui, banyak kejadian yang menjadi pemicu mengapa penulis berada di tempatnya sekarang.

Penulis membuat blog ini juga sebagai upaya mendapatkan beasiswa. Penulis mendaftar sebagai volunteer Asian Games juga ketika sedang mengejar beasiswa.

Oleh karena itu, penulis ingin berbagi pengalaman ini kepada pembaca sekalian. Kalau kata pakde penulis, jangan hanya berlajar dari keberhasilan seseorang, belajarlah dari kegagalannya juga.

Apakah penulis akan menyerah untuk mendapatkan beasiswa? Untuk sementara waktu, iya. Sertifkat IELTS yang penulis miliki akan habis bulan depan, dan penulis harus belajar secara intens lagi untuk bisa mendapatkan sertifikat yang baru.

Penulis masih mendapatkan email dari University of Reading dan Manchester Metropolitan University. Sekarang sudah agak jarang sih, mungkin sudah di-blacklist karena penulis mengundurkan diri tanpa keterangan.

Untuk sekarang, penulis ingin belajar di luar kampus terlebih dahulu. Penulis akan menikmati pekerjaan yang sekarang dimiliki dan akan terus belajar hal baru. Jika ada kesempatan untuk melanjutkan studi lagi, mengapa tidak?

Semoga tulisan ini bisa memberikan inspirasi dan semangat bagi pembaca yang sedang mengejar atau memiliki impian melanjutkan studi di luar negeri.

 

 

Kebayoran Lama, 9 November 2019, terinspirasi setelah teringat sertifikat IELTS-nya akan kedaluwarsa bulan depan

Foto:

Pengalaman

Juni 2024 adalah Bulan Pertama Saya Menulis Tiap Hari Tanpa Putus

Published

on

By

Dalam tulisan “Ini adalah Tulisan Whathefan yang ke-1000,” Penulis telah berbagi bagaimana dirinya belakangan ini telah berusaha untuk menjaga konsistensi untuk bisa menulis satu tulisan setiap hari.

Pada tulisan yang tayang di tanggal 13 Juni 2024 tersebut, Penulis mengatakan bahwa dirinya telah menulis setiap hari tanpa putus sebanyak 19 hari. Alhamdulillah, rentetan tersebut bisa bertahan hingga hari dengan total 37 hari tanpa putus.

Lebih menariknya lagi, bulan Juni 2024 adalah pertama kalinya Penuils menulis setiap hari tanpa putus. Bulan Januari 2018 saat blog ini dimulai memang memiliki lebih dari 40 tulisan, tapi itu tak terhitung karena waktu itu Penulis memang punya beberapa stok tulisan.

Apa Saja yang Ditulis Selama Juni 2024?

Bulan Juni memiliki 30 hari, sehingga jumlah tulisan yang diproduksi pun 30 tulisan. Dalam sebulan, ada banyak tulisan yang Penulis buat dari berbagai topik. Yang jelas, biasanya di weekend Penulis akan membuat ulasan tentang buku yang telah dibaca dan melanjutkan seri board game-nya.

Selama bulan Juni, Penulis membuat ulasan lima buku, yakni A Happy Life, The Devotion of Mr. X, Contagious, Ali Sadikin, dan Hoegeng. Judul pertama dan ketiga sebenarnya sudah cukup lama Penulis baca, sehingga isinya sudah agak lupa. Kalau dua buku biografi yang ditamatkan tergolong baru.

Namun, yang paling spesial tentu novel The Devotion of Mr. X karya Keigo Hirashino. Dalam tulisan tersebut, Penulis telah membahas bagaimana novel detektif yang satu ini bisa menggiring pembacanya kepada satu kesimpulan, sebelum akhirnya di balik di akhir cerita. Novel ini sangat rekomendasi kalau suka cerita detektif.

Selain itu, Penulis juga melanjutkan board game-nya dari koleksi ke-16 hingga ke-19, yakni Bahamas, Unstable Unicorns, King of the Dice, dan Kingdomino. Seharusnya hari Minggu (30/6) kemarin giliran Modern Arts, tapi Penulis undur karena adanya kemenangan George Russel di GP Austria yang menarik.

Berbicara topik olahraga, Penulis hanya menulis dua artikel sepak bola dan tidak ada yang membahas Manchester United. Maklum, liga Eropa sedang masa rehat, dan Penulis juga entah mengapa tidak tertarik untuk mengikuti EURO 2024. Hingga hari ini, Penulis belum menonton satu pertandingan pun.

Penulis juga menulis dua artikel untuk rubrik Musik yang membahas dua grup dari genre yang berbeda, yakni Red Velvet dan Linkin Park. Penulis mencoba membuat format tier list melalui Linkin Park dan ternyata cukup menyenangkan. Mungkin, akan ada band atau musisi lain yang akan Penulis buatkan format tier list-nya.

Topik lain yang sering Penulis bahas adalah tentang Dragon Ball. Ada tiga tulisan di bulan Juni yang membahasnya, pertama tentang Future Trunks, Vegeta, dan alasan mengapa Penulis memutuskan untuk mengoleksi seri komik Dragon Ball Super. Sebenarnya, tulisan ketiga adalah alasan mengapa Penulis jadi sering menulis tentang Dragon Ball.

Penulis juga beberapa kali berbagi artikel produktivitas karena bisa menulis artikel setiap hari. Ada tiga artikel yang terkait dengan hal ini, yakni tentang Penulis yang memanfaatkan Notion dan dua artikel tentang membaca buku.

Topik-topik yang sedang panas juga Penulis bahas jika memang ada angle yang menarik, mulai dari isu dinasti politik yang memanas, bagi-bagi kursi di pemerintahan, pemain judi online yang diwacanakan mendapatkan bansos, hingga bocornya Pusat Data Nasional (PDN).

Selain yang sudah Penulis sebutkan di atas, Penulis membahas hal-hal yang sifatnya evergreen, yang biasanya Penulis gunakan sebagai pengingat untuk dirinya sendiri ketika di masa depan nanti sedang iseng-iseng membaca tulisannya sendiri.

Semoga Bukan Bulan Terakhir Bisa Menulis Tanpa Putus

Penulis tentu berharap kalau bulan Juni bukan bulan pertama dan terakhir di mana Penulis bisa menulis setiap hari di blog ini tanpa putus. Penulis berharap bisa menjaga konsistensi ini di bulan-bulan selanjutnya, karena Penulis juga pernah membahas betapa pentingnya untuk menjaga “rantai kebiasaan” jangan sampai putus.

Sejujurnya, Penulis sendiri heran mengapa dirinya yang dulu sangat mager untuk menulis bisa menjadi kembali termotivasi untuk terus menghasilkan tulisan di blog ini. Keberadaan Notion memang membantu, tapi bukan jadi motivasi utama.

Bisa jadi, salah satu yang menjadi motivasi Penulis untuk bisa rajin menulis adalah adanya apresiasi dari banyak pihak. Mungkin jumlahnya bisa dihitung dengan jari, tapi itu sudah cukup bagi Penulis. Penulis benar-benar berterima kasih kepada Pembaca yang sudah mengapresiasi blog ini.


Lawang, 1 Juli 2024, terinspirasi setelah menyadari kalau bulan Juni kemarin dirinya berhasil menulis selama 30 hari tanpa putus

Continue Reading

Pengalaman

Ini adalah Tulisan Whathefan yang ke-1000

Published

on

By

Sejak Whathefan dibuat pada tanggal 2 Januari 2018, akhirnya sampai juga pada tulisan ke-1000. Butuh waktu kurang lebih 6,5 tahun untuk bisa mencapai milestone ini, atau jika dirinci setara dengan 2.354 hari.

Ketika awal membuat blog ini, target Penulis adalah memproduksi setidaknya 5 tulisan setiap minggunya, yang lantas Penulis tingkatkan menjadi 1 tulisan per hari. Namun, pada kenyataannya Penulis banyak bolongnya karena berbagai alasan, tapi yang paling utama tentu saja rasa malas.

Melihat jumlah hari yang telah blog ini lewati, artinya rata-rata Penulis membutuhkan waktu sekitar 2-3 hari sekali untuk membuat artikel baru, atau jika mau dirinci lagi menjadi setiap 56,5 jam sekali. Apakah itu termasuk cukup produktif untuk seorang penulis, Penulis tidak tahu.

Apapun itu, Penulis tetap berusaha bangga dengan dirinya sendiri karena bisa memproduksi hingga 1.000 artikel. Tentu Penulis tidak akan berhenti menulis di sini dan semoga saja tulisan ke-2000 tidak membutuhkan waktu 6,5 tahun.

Jika Penulis bisa konsisten menulis seperti belakangan ini (sampai artikel ini, Penulis sudah streak sepanjang 19 hari), maka artikel ke-2000 akan tercapai pada tanggal 10 Maret 2027. Permasalahan utama Penulis untuk hal tersebut adalah masalah konsistensi.

Berusaha untuk Bisa Menulis Konsisten Setiap Hari

Dalam tabel distribusi per bulan di atas, bisa dilihat kalau jumlahnya naik turun secara signifikan. Bahkan, total dalam tahun pun trennya menurun terus. Membuat 100 artikel dalam satu tahun pun tak sanggup dalam dua tahun terakhir.

Karena hal tersebut, Penulis bisa dibilang sebagai penulis yang kurang konsisten. Ada saat-saat di mana Penulis seolah kehilangan semangat dan gairah untuk menulis terutama beberapa bulan ke belakang ini, yang sejatinya merupakan hobinya.

Bayangkan saja, jumlah artikel yang Penulis produksi dalam 19 hari terakhir lebih banyak dibandingkan periode November 2023 hingga Februari 2024 (empat bulan), di mana di periode tersebut Penulis hanya berhasil membuat 8 tulisan saja.

Pernah ada dalam satu bulan, Penulis hanya bisa menulis 2-3 artikel (seperti di awal tahun ini), bahkan sempat tidak menulis sama sekali (terjadi dua kali pada bulan Oktober 2020 dan Desember 2023).

Ketika direnungkan, tentu ada faktor-faktor lain yang membuat Penulis jadi tidak bersemangat menulis untuk blog ini. Namun, faktor utamanya tetap saja rasa malas dan kalah dari keinginan bermalas-malasan di atas kasur sambil main ponsel.

Menyadari hal ini, Penulis pun berusaha untuk mencari solusi bagaimana agar dirinya bisa tetap konsisten menulis. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan Notion yang telah Penulis bahas secara terpisah sebelumnya, yang terbukti sangat membantu Penulis.

Jika dikatakan terkadang ada buntu saat menulis, memang benar. Namun, ide terkadang memang harus dikejar, bukan ditunggu. Seringnya sepanjang pengalaman Penulis, selama dirinya berada di depan layar dan mulai mengetik, nanti jari-jari ini akan mengalir dengan sendirinya.

Apa Saja yang Telah Ditulis di Whathefan

Sesuai dengan tagline-nya, Penulis benar-benar menulis apapun yang sedang terpikirkan dan diinginkan. Apa yang Penulis suka, akan Penulis tulis. Alhasil, jumlah rubrik dari blog ini pun terus bertambah menyesuaikan dengan apa yang ingin Penulis tulis.

Penulis tak punya catatan pasti tentang “sejarah rubrik” di blog ini, tapi yang jelas dua rubrik terbaru di blog ini adalah Permainan dan Olahraga. Permainan Penulis buat karena sedang menekuni hobi baru di dunia board game, sedangkan olahrga karena Penulis merupakan penggemar sepak bola dan Formula 1.

Beberapa rubrik lain yang bukan rubrik “orisinal” adalah Musik, Produktivitas (yang merupakan sempalan dari Pengembangan Diri), dan Tentang Rasa. Buku pun dulu tidak Penulis pisah antara Fiksi dan Non-Fiksi.

Selama 6,5 tahun, tentu ada rubrik atau kategori yang paling sering Penulis isi. Yang paling banyak adalah kategori Buku (Fiksi dan Non-Fiksi) dengan 94 tulisan, disusul Film & Serial (86), Sosial Budaya (83), dan Pengembangan Diri (82).

Selain itu, Penulis juga berencana untuk menghilangkan kategori Karang Taruna karena sudah tidak pernah diisi lagi, mengingat Penulis sudah pensiun. Kemungkinan, Penulis akan menggabungkannya dengan rubrik Pengalaman saja.

Selain itu, selama beberapa tahun terakhir Penulis tidak pernah membuat karya sastra satu pun, baik itu novel, cerpen, maupun sajak. Entah mengapa Penulis menjadi seperti miskin imajinasi. Mungkin faktor usia membuat Penulis menjadi pribadi yang semakin realistis.

Apakah ke depannya Penulis akan menambah kategori baru? Bisa saja, jika ada hal baru yang ingin Penulis tulis. Mungkin Penulis akan banyak menulis tentang game, walau rasanya topik tersebut bisa dimasukkan ke dalam kategori Permainan.

Whathefan adalah Blog Gado-Gado yang Belum Profit

Banyak yang bilang blog yang baik adalah yang memiliki niche tertentu. Nah, kalau Whathefan kan beda karena gado-gado. Seninnya bisa membahas tentang politik, Selasanya nulis K-Pop, terus Rabunya nulis sepak bola. Benar-benar semau gue.

Sejak awal Penulis memang tidak menjadikan blog ini sebagai sumber pemasukan. Memang Penulis memasang AdSense, tapi tidak pernah dikelola dengan benar sehingga sampai hari ini pun uang AdSense-nya belum bisa dicairkan karena jumlahnya kecil sekali.

Padahal dalam setahun, biaya yang harus Penulis keluarkan untuk blog (biaya domain dan hosting) ini mencapai sekitar Rp900 ribu. Karena blog ini telah berusia 6 tahun, maka kurang lebih Penulis sudah mengeluarkan sekitar Rp5,4 juta.

Namun, Penulis sama sekali tidak pernah merasa rugi karena bagi Penulis hal tersebut merupakan sebuah investasi. Tanpa berniat sombong, salah satu faktor Penulis diterima di dua tempat kerja adalah karena kehadiran blog ini yang menjadi semacam portofolio Penulis.

Oleh karena itu, sebisa mungkin Penulis akan mempertahankan blog ini selama mungkin, bahkan kalau bisa sampai Penulis tidak mampu lagi menulis. Meskipun sering terhalang masalah inkonsistensi, Penulis akan terus berusaha untuk bisa menghasilkan tulisan di blog ini.


Lawang, 13 Juni 2024, terinspirasi setelah mencapai milestone 1.000 artikel di blog ini

Continue Reading

Pengalaman

Bagaimana Rasanya Berpuasa di Tanah Rantau?

Published

on

By

Tahun 2024 ini menjadi tahun keempat di mana Penulis (alhadulillah) bisa berpuasa di rumah. Sebelumnya pada rentang tahun 2019-2020, Penulis mengalami yang namanya berpuasa di tanah rantau, di mana untuk sahur dan buka puasa harus dilakukan sendirian.

Meskipun tergolong sebentar (karena hanya sekitar dua tahun), Penulis merasa kalau berpuasa di tanah rantau memiliki sensasinya sendiri. Yang biasanya kita dibangunkan dan makanan telah disiapkan oleh ibu, kini harus tergantung dengan diri sendiri.

Oleh karena itu, pada tulisan kali ini Penulis ingin berbagi sedikit mengenai bagaimana rasanya berpuasa di tanah rantau. Semoga saja tulisan ini bisa bermanfaat untuk sesama kaum muslimin yang baru merasakan bagaimana puasa di tanah rantau tahun ini.

Sahur di Tanah Rantau

Warteg Andalan (Google Maps)

Di sekitar kos Penulis di Jakarta, bisa dibilang ada berbagai jenis makanan yang dijual, mulai dari warteg hingga masakan padang. Hal ini memudahkan Penulis untuk mencari makan ketika jam sahur.

Yang menjadi andalan Penulis tentu saja warteg dengan lauk tempe orek ditambah sayur singkong. Menu yang murah meriah ini tentu menjadi berkah untuk anak rantau yang harus serba menghemat.

Namun, yang menjadi permasalahan utama ketika sahur sebenarnya bukan menu makanannya, melainkan rasa malas untuk keluar kos. Bangun dini hari untuk keluar kos terkadang terasa berat, walau tempat membeli makanannya sebenarnya sangat dekat.

Jika sudah mager tingkat maksimal, biasanya mi instan menjadi solusi utama, ditemani dengan secangkir teh panas yang dibuat menggunakan Heater. Solusi lainnya adalah memesan makanan secara online, yang secara biaya jelas lebih mahal.

Penulis bukan tipe orang yang bisa memasak dan kurang minat memelajarinya. Penulis baru mulai memasak kecil-kecilan ketika pandemi, di mana Penulis tidak bisa pulang ke Malang. Berbagai peralatan masak pun dibeli, mulai dari Magic Jar, panci, hingga saringan.

Yang dimasak pun hanya makanan instan yang tinggal digoreng, seperti nugget dan sosis. Kalau makanan organik, paling mentok ya tempe dan telur, yang sama-sama tinggal digoreng. Jangan harap ada sayur karena tidak ada satupun menu yang bisa Penulis masak.

Buka Puasa di Tanah Rantau

Dulu Hampir Buka Puasa Setiap Hari di Sini (Google Maps)

Untuk masalah buka puasa, Penulis merasa bersyukur karena mendapatkan “jatah” dari kantor. Ini terjadi di tahun 2019, karena di tahun 2020 pandemi COVID-19 terjadi sehingga Penulis harus buka puasa di kos.

Jatah menu buka puasa dari kantor bisa dibilang cukup bervariasi, karena setiap harinya akan mendapatkan menu yang berbeda. Biaya makan per karyawan pun bisa dipastikan lebih dari 15 ribu per kepala, karena makanan yang dihidangkan berasal dari walaraba populer.

Barulah ketika akhir pekan Penulis harus mencari menu buka puasa sendiri. Namun, Penulis jarang membeli makan sebelum jam buka. Biasanya, Penulis justru baru mencari makan selepas Isya karena biasanya tempat makan sudah mulai sepi pembeli.

Menu buka puasanya pun berkisar di tempat-tempat makan di sekitar kos. Namun, jika sedang senggang, maka Penulis akan berbuka puasa di mal untuk menikmati menu yang lebih lezat atau memesannya melalui layanan online jika sedang mager.

Ketika memesan makanan online, sesekali Penulis akan memesan dua porsi, di mana satunya diperuntukkan untuk abang yang mengantarkannya. Selain berbagi di bulan puasa, biasanya potongan di aplikasi baru bisa dipakai ketika mencapai nominal tertentu.

Selama merantau, Penulis bisa dibilang jarang mengikuti buka bersama (bukber), lha mong tiap hari memang bukber bareng teman-teman kantor. Ketika akhir pekan, tentu mereka lebih memilih berbuka bersama orang-orang rumah.

Penutup

Jika dibandingkan dengan puasa di tanah rantau, memang berpuasa di rumah terkesan lebih “membosankan” karena cukup monoton. Kalau tidak makan masakan ibu atau beli makanan di sekitar rumah. Kalau mau beda, paling menunggu momen bukber.

Namun, tentu Penulis tetap bersyukur bisa berpuasa di rumah bersama keluarga dan orang-orang yang dicintai. Ini bukan tentang apa yang dimakan, melainkan momen berharga yang dihabiskan dengan siapa.

Berpuasa di tanah rantau mengajari Penulis untuk bersyukur karena selama ini mendapatkan privilege sehingga bisa berpuasa dengan “mudah.” Semua sudah tersedia, kita tinggal makan saja tanpa perlu keluar rumah.

Suasana sahur dan buka bersama keluarga juga menjadi hal yang membuat kita baru merasa kehilangan ketika merantau sendirian. Meskipun ada teknologi video call, hal tersebut tidak akan bisa menggantikan pertemuan fisik.

Berada di tanah rantau membuat kita menyadari hal tersebut, yang mungkin selama ini terabaikan. Bisa berpuasa di rumah bersama keluarga rasanya jauh lebih menyenangkan, terutama setelah sempat berpuasa sendiri di tanah rantau.

Untuk para Pembaca yang baru berpuasa sendiri di tanah rantau, semangat! Puasa di tanah rantau itu seru kok, walaupun kita harus bisa melawan rasa malas untuk keluar rumah ataupun memasak sendiri.


Lawang, 12 Maret 2024, terinspirasi karena menyadari dirinya sudah empat tahun mendapatkan kesempatan untuk berpuasa di rumah

Foto Featured Image: Chatelaine

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan