Sosial Budaya
Streamer Game Terseret Pusaran Judi Online

Penulis merasa prihatin ketika membaca berita mengenai adanya beberapa streamer game terkenal yang ternyata ikut mempromosikan judi online. Parahnya lagi, beberapa dari “oknum” tersebut justru merasa bangga dan tidak merasa berdosa.
Pada tulisan kali ini, Penulis tidak akan menjelaskan secara detail mengenai kasus ini atau siapa saja streamer yang terlibat. Kalau penasaran, Pembaca bisa membaca kronologi kejadiannya melalui tautan berikut ini.
Alih-alih, Penulis akan membahas mengenai opininya terkait kejadian ini sekaligus mengutarakan keprihatinannya. Mungkin tulisan ini akan sedikit terasa keras, karena Penulis benar-benar merasa geram akan kejadian ini.

Rangkuman Singkat Kasus Streamer Game yang Terseret Judi Online
Singkat cerita, ada seorang pro player yang mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menerima donasi atau saweran ketika live streaming dari situs judi online. Tak lama kemudian, hal tersebut pun ramai dibahas oleh para streamer yang merasa tersindir.
Ada yang justru mengolok-olok si pro player, ada yang bilang kalau donasi tersebut tidak bisa dikontrol, ada yang menyetujui pendapat tersebut tapi tetap menggunakan uang saweran dari situs judi online, dan lain sebagainya.
Lantas, ada seorang content creator yang diundang ke sebuah podcast ternama. Ia pun membongkar bagaimana situs judi online menggunakan teknik marketing yang unik, di mana mereka melakukan saweran kepada para streamer game terkenal.
Setelah melakukan saweran dengan jumlah yang tidak sedikit, nantinya para streamer tersebut akan berteriak kegirangan sembari menyebutkan nama web judi online tersebut, termasuk slogan-slogan yang sudah dititipkan.
Sontak netizen pun langsung heboh. Meskipun ada penggemar sang streamer yang masih berusaha membela, mayoritas netizen bersuara agar para streamer yang mempromosikan judi online bisa ditindak oleh pihak kepolisian karena meresahkan.
Para streamer yang terlibat pun terlihat panik dan buru-buru meminta maaf sembali melakukan klarifikasi. Lucunya, streamer yang dulu mengolok-olok si pro player anti judi pun terlihat kicep, berbeda 180 derajat sebelum kasus ini di-blow up.
Hilangnya Moralitas
Indonesia sendiri sedang darurat kasus judi online, di mana jumlah uang yang berputar mencapai 200 triliun. Semua kalangan bisa saja terjebak, mulai dari kelas buruh hingga anggota dewan yang (katanya) terhormat.
Mirisnya lagi, banyak public figure termasuk artis dan para streamer game yang ikut mempromosikan judi online dengan berbagai cara, tanpa peduli bagaimana konsekuensinya terhadap penonton mereka.
Apa yang membuat Penulis paling prihatin adalah kebanyakan penonton dari para streamer game tersebut adalah bocah-bocah yang belum terlalu bisa membedakan mana yang baik mana yang salah.
Sebelumnya, Penulis sendiri sudah merasa kurang simpati kepada para streamer ini karena sebagian dari mereka kerap menunjukkan perilaku yang toxic dan ditiru oleh penontonnya. Sekarang makin ditambah dengan kasus judi online ini.
Melalui platform X (Twitter), Penulis menemukan sebuah cerita kalau ada pengguna X yang memergoki bocah SMP sedang bermain judi slot. Ketika ditanya tahu dari mana permainan tersebut, sang bocah menjawab kalau ia tahu dari para streamer game yang ia tonton.
Tentu hal ini sangat memprihatinkan, karena efek yang terjadi bukanlah hal sepele. Mereka secara sadar memperkenalkan judi online kepada banyak kalangan, termasuk bocah-bocah penonton mereka yang masih duduk di bangku sekolah.
Di mana moralitas mereka? Tidak mungkin mereka tidak tahu kalau mayoritas penonton mereka masih bocah. Penulis tidak habis pikir, bagaimana bisa sejumlah uang bisa membuat mereka buta dan tidak berpikir efek jangka panjangnya.
Kalau saja mereka mendengarkan hati nuraninya, pasti mereka tidak akan melakukan hal tersebut. Beberapa streamer lain ada yang secara tegas menolak donasi dari situs judi. Ada juga yang menerima donasinya, tapi diam dan mempromosikan situs judi yang memberi.
Penutup
Penulis meyakini kalau para streamer tersebut sebenarnya termasuk kalangan yang berkecukupan, sehingga seharusnya bisa lebih bijaksana dalam menyikapi jika ada donasi dari situs judi (walau banyak yang menebak sebenarnya kedua belah pihak telah janjian).
Sekarang, para streamer tersebut sedang berusaha membersihkan nama agar tidak diperkarakan ke pihak kepolisian. Banyak yang sudah meminta maaf, mengaku salah, hingga memberikan klarifikasi.
Semoga saja ke depannya para public figure di tanah air lebih memiliki kesadaran untuk mengutamakan moralitas dibandingkan materi yang tidak seberapa. Ada tanggung jawab moral yang harus mereka emban, karena banyaknya mata yang menonton mereka.
Lawang, 9 Oktober 2023, terinspirasi setelah melihat banyaknya streamer game yang ikut mempromosikan judi online
Foto Featured Image: Poornima University
Sosial Budaya
Dear Gen Z, Saingan Kerja Kalian Nanti Bukan Manusia, tapi AI

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan Artificial Intelligence (AI) begitu masif hingga ke tahap yang menakutkan. Banyak orang menyuarakan ketakutan bagaimana AI bisa menggantikan peran manusia di berbagai bidang pekerjaan.
Salah satu contohnya adalah bagaimana Writers Guild of America (WGA) dan The Screen Actors Guild-American Federation of Television and Radio Artists (SAG-AFTRA) melakukan aksi mogok karena, salah satu alasannya, menentang adanya AI ini di tempat kerja mereka.
Jika menengok ke situs https://www.insidr.ai/, ada begitu banyak tools AI yang bisa digunakan untuk mempermudah dan mempercepat pekerjaan, sehingga kebutuhan manpower di sebuah perusahaan bisa dikurangi untuk memangkas biaya.
Pertanyaannya, sebagai generasi yang akan langsung berhadapan dengan AI, apakah para Gen Z sudah siap untuk bersaing?
Baru Mau Kerja, Langsung Lawan AI

Jika mengacu pada pendapat Jean Twenge, Gen Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1995 hingga 2012. Sedangkan menurut Pew Research Center, range tahun lahir Gen Z adalah antara tahun 1997 hingga 2012.
Berdasarkan tahun lahir tersebut, tentu Gen Z yang lahir di tahun 90-an kemungkinan besar sudah merasakan bagaimana persaingan di dunia kerja. Untuk yang lahir di tahun 2000 ke atas, mayoritas baru kerja atau baru lulus dari bangku kuliah.
Nah, apesnya, mereka masuk ke dunia kerja di saat AI sedang booming. Pekerjaan yang dulunya terlihat aman dan tak akan tergantikan oleh mesin nyatanya bisa saja digantikan. Dari bidang Penulis saja, pekerjaan menulis dan mendesain sudah bisa dikerjakan oleh AI.
Artinya, para Gen Z terutama yang lahir di tahun 2000 ke atas harus menghadapi kenyataan kalau saingan mereka di dunia kerja bukan hanya manusia, tapi juga harus melawan AI. Persaingan kerja yang aslinya sudah ketat menjadi jauh lebih ketat lagi.
Para bos perusahaan tentu mempertimbangkan untuk menggunakan AI jika memang terbukti lebih cepat dan murah. Bayangkan jika manusia membutuhkan 1 jam untuk menulis satu artikel pendek, mungkin AI hanya butuh sekian menit atau bahkan detik saja.
Untuk urusan akting saja sudah ada wacana untuk menggunakan AI, sehingga SAG-AFTRA melakukan aksi mogok yang dampaknya begitu luar biasa. Menurut World Economic Forum, tahun 2025 diprediksi akan ada 85 juta pekerjaan yang akan berpotensi diganti oleh AI.
Bahkan sebelum AI ini ramai seperti sekarang, banyak bidang pekerjaan yang telah digantikan oleh mesin. Contoh yang paling mudah adalah pegawai gerbang tol yang diganti Gardu Tol Otomatis (GTO) dan mesin order otomatis di restoran cepat saji.
Penulis belum mendalami secara menyeluruh bidang apa saja yang sangat berpotensi untuk digantikan AI. Namun, contoh yang Penulis sebutkan membuktikan kalau tidak ada bidang yang benar-benar aman untuk digantikan.
Lawan AI, Kita Harus Apa?

Pada tulisan Mario Savio dan Pidatonya akan Bahaya Mesin (AI), Penulis sudah menuliskan bahwa salah satu cara untuk bisa survive dari persaingan kerja melawan AI ini adalah dengan terus mengasah skill kita, terutama yang sekiranya tidak tergantikan oleh AI.
Bisa dibilang, hingga saat ini manusia masih unggul untuk masalah kreativitas dan imajinasi. AI masih terasa terbatas untuk kedua hal tersebut, meskipun tidak menutup kemungkinan beberapa tahun lagi mereka bisa menyusul kemampuan kita.
Perlu dicatat kalau AI yang ada sekarang baru permulaan saja. Di masa depan, akan terus hadir AI-AI yang lebih canggih. Bahkan, sudah ada istilah Artificial General Intellegence (AGI) yang berusaha meniru konsep berpikir manusia serealistis mungkin. Terdengar seram, bukan?
Kabar baiknya, kemunculan AI kemungkinan besar juga akan melahirkan ladang pekerjaan baru. Masih menurut World Economic Forum, diproyeksikan akan ada 93 juta lapangan pekerjaan baru yang tercipta karena kemunculan AI.
Lho, bukannya tadi katanya kita harus bersaing dengan AI? Iya, itu benar, untuk pekerjaan-pekerjaan yang bisa diotomatisasi dengan AI. Namun, jangan lupa kalau AI masih membutuhkan orang untuk mengoperasikannya.
Iya, AI Masih Butuh Manusia untuk Dioperasikan.

Secanggih-canggihnya tools AI, mereka belum bisa mengoperasikan dirinya sendiri. Bahkan, autoblogging.ai yang mampu menghasilkan artikel berkualitas saja masih butuh manusia untuk memasukkan prompt atau perintah agar bisa generate tulisan.
Secanggih-canggihnya tools untuk membuat gambar tertentu, mereka belum bisa membuat gambar berdasarkan imajinasinya sendiri. Mereka membutuhkan imajinasi manusia untuk bisa menghasilkan gambar yang telah diperintahkan.
Oleh karena itu, selain terus melakukan upgrade diri dengan mempelajari skill-skill tertentu, kita juga harus bisa beradaptasi dengan cara belajar untuk menguasai tools-tools AI tersebut. Istilah kerennya adalah AI Prompter.
Secara sederhananya, AI Prompter bertanggung jawab untuk menuliskan sebuah perintah AI agar bisa memberikan hasil terbaik secara spesifik. Untuk bisa menguasainya, dibutuhkan beberapa basic skill seperti kemampuan menulis dan analitikal.
Selain AI Prompter tentu masih banyak ladang pekerjaan di seputar AI. Hanya saja, Penulis belum benar-benar memahaminya, sehingga tidak memasukkannya di tulisan ini. Yang jelas, AI bisa menjadi ancaman sekaligus peluang untuk kita.
Penutup
Bisa menguasai AI, termasuk menjadi seorang AI Prompter, adalah bentuk adaptasi kita sebagai manusia atas perubahan zaman. Kita harus bisa menerima kenyataan untuk hidup berdampingan dengan AI.
Menolak kehadiran AI sama dengan bagaimana pedagang di Tanah Abang menolak TikTok Shop dan ojek pangkalan menolak kemunculan ojek online. Kemunculan AI adalah disrupsi di berbagai bidang industri yang tak terhindarkan.
Maka dari itu, pilihan yang kita miliki sekarang adalah menyerah dengan keberadaan AI atau justru membalikkan keadaan dengan berusaha menguasai AI. Kita harus bisa memanfaatkan AI agar tidak terlindas zaman begitu saja.
Foto Featured Image: LinkedIn
Sumber Artikel:
Sosial Budaya
Pro dan Kontra Boikot Produk (Pendukung) Israel

Semenjak serangan Hamas yang terjadi pada tanggal 7 Oktober 2023 silam, tensi dunia terhadap konflik yang berkepanjangan antara Palestina dan Israel pun meninggi. Banyaknya korban yang berjatuhan membuat aksi protes terjadi di mana-mana.
Salah satu gerakan yang paling masif dilakukan adalah BDS Movement, yang merupakan singkatan dari Boycott, Divestment, Sanction. Ini sudah terjadi di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia sendiri yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak.
Namun, boikot yang dilakukan terhadap produk-produk pendukung Israel menuai pro dan kontra. Ada yang menganggap ini sebagai bentuk keberpihakan, ada yang menganggap ini tidak berpengaruh dan hanya menyusahkan tenaga kerja kita sendiri
Dalam tulisan kali ini, Penulis akan memberikan berbagai perspektif yang sudah dirinya pelajari dalam beberapa waktu terakhir ini. Disclaimer, tulisan ini tidak bertujuan untuk menggiring opini para Pembaca sekalian.
Selain itu, Penulis juga tidak akan membahas mengenai penyebab konflik Palestina dan Israel karena sudah pernah menuliskannya di tulisan lain. Untuk Pembaca yang belum sempat membacanya, tautannya Penulis letakkan di bawah ini:
Apa Itu Boikot dan Mengapa Dilakukan?

Secara sederhana, boikot adalah sebuah aksi yang dilancarkan oleh sejumlah massa untuk tidak membeli sebuah produk buatan atau yang berafiliasi dengan pihak yang diboikot. Dalam kasus ini, boikot ditargetkan kepada produk-produk buatan Israel dan yang mendukung Israel.
Boikot bisa dikatakan sebagai langkah untuk menekan Israel dari segi ekonomi atas tindakannya yang semakin menekan Gaza setelah serangan Hamas, dengan dalih ingin memberantas pasukan Hamas sampai ke akarnya.
Alhasil, sejumlah produk yang secara terang-terangan mendukung Israel pun mulai terkena dampaknya. Beberapa gerai makanan cepat saji di negara mayoritas muslim seperti Timur Tengah terlihat sepi, bahkan nyaris kosong.
Di Indonesia sendiri, dari yang sejauh Penulis amati baik di sekelilingnya maupun di media sosial, ajakan gerakan boikot ini juga terjadi cukup masif. Apalagi, telah beredar nama-nama produk yang masuk ke dalam daftar boikot.
Apakah Boikot Efektif?

Lantas, apakah boikot benar-benar efektif? Penulis, hingga artikel ini ditulis, belum menemukan data yang menjelaskan berapa kerugian yang diderita oleh Israel semenjak adanya boikot ini.
Namun, sebagian orang berpendapat kalau boikot ini memang sejak awal tidak menargetkan untuk melemahkan ekonomi Israel yang sejatinya cukup kuat dan mendapatkan backing-an dari negara-negara Barat. Boikot ini adalah tentang keberpihakan.
Penulis membuat analogi seperti ini. Misal Penulis memiliki dua orang tetangga, yang satu sahabat Penulis dan yang satu lagi pemilik toko kelontong. Penulis sering membeli di toko tersebut. Akan tetapi, suatu ketika si pemilik toko berkonflik dan menyerang sahabat Penulis.
Merasa tidak terima, Penulis pun memutuskan untuk tidak membeli lagi di toko tersebut. Penulis melakukan boikot karena solidaritas kepada sahabat Penulis yang disakiti. Toko tersebut kehilangan satu konsumennya atas konsekuensi yang dilakukan pemiliknya.
Lantas, apakah toko tersebut akan menjadi bangkrut begitu saja? Tentu tidak, karena masih ada banyak pembeli lainnya yang tetap membeli di sana karena berbagai alasan seperti harganya yang terjangkau. Penulis tidak lagi membeli di sana karena berpihak ke sahabatnya.
Itu pula yang terjadi saat ini di antara konflik Palestina dan Israel. Kaum Pro-Palestina melakukan boikot terhadap produk-produk yang menyatakan dukungan kepada Israel secara terang-terangan dan memberikan bantuan dalam peperangan.
Apa yang dilakukan oleh mereka adalah bentuk solidaritas kepada Palestina. “Karena kamu mendukung Israel yang merupakan musuh Palestina, maka kami tidak akan membeli lagi produk-produkmu,” kurang lebih seperti itu premisnya.
Kalaupun ada yang berniat ingin melumpuhkan ekonomi Israel, ya tidak apa-apa. Ketika Nabi Ibrahim dibakar, sekelompok semut berusaha memadamkannya dengan tenaganya yang kecil, menyiprat-nyipratkan air ke api tersebut.
Usaha mereka pun ditertawakan oleh burung gagak karena dianggap tidak akan memberikan pengaruh apa-apa. Namun, semut berkata, “Walaupun upayaku ini tidak terlalu berdampak, setidaknya Allah tahu di mana kami berpihak.”
Boikot kok Pilih-Pilih?

Bagi mereka yang kontra terhadap boikot, sering muncul pertanyaan, “Kalau begitu, boikot semuanya dong, jangan pilih-pilih!” Sebenarnya ekspresi ini wajar saja, di mana pihak pro-boikot dituntut untuk menunjukkan konsistensinya.
Seperti yang kita tahu, produk-produk teknologi dan digital seperti Google, Microsoft, Meta (Facebook) juga menjadi salah satu pendukung Israel yang paling vokal. Namun, produk-produk mereka masih digunakan untuk mereka yang mengklaim dirinya pro-boikot.
Mengutip dari berbagai ustaz yang Penulis lihat di media sosial (yang merupakan buatan Meta dan Google), pada dasarnya boikot yang dilakukan ini adalah meminimalisir penggunaan produk yang menjadi pendukung Israel.
Harus diakui kalau ada banyak sektor yang di mana kita sangat tergantung padanya. Contoh gampangnya adalah Instagram dan YouTube yang sudah menjadi keseharian kita. Apakah ada media lain yang sebanding dan bisa menggantikannya? Sampai saat ini belum ada.
Contoh lainnya adalah Windows buatan Microsoft atau Android buatan Google. Apakah ada sistem operasi alternatif yang bisa jadi penggantinya? Belum ada. Lantas, apakah kita bisa hidup tanpa produk tersebut? Bagi sebagian orang termasuk Penulis, jawabannya tidak.
Mengutip perkataan kawan Penulis, kita bisa menggunakan produk-produk tersebut untuk menyerukan kebaikan. Kita buat hal yang bermanfaat atau bahkan menyerukan kemerdekaan Palestina menggunakan media-media tersebut.
Nah, kalau sudah ada produk yang sebanding, maka para pro-boikot menganjurkan untuk menggantinya. Lebih baik lagi kalau menggantinya dengan produk-produk lokal, hitung-hitung mendukung produk buatan negeri sendiri.
Lantas, Bagaimana dengan Nasib Pekerja?

Salah satu dilema yang dihadapi oleh pro-boikot adalah dampak yang diterima oleh para pekerjanya, yang notabene menggantungkan hidup melalui produk-produk yang diboikot. Padahal, mereka semua belum tentu menjadi pendukung Israel.
Jika boikot berlangsung masif, bukan tidak mungkin omset perusahaan akan menurun yang akan memicu layoff besar-besaran. McDonald’s di Mesir mengatakan penjualan turun hingga 70%, sedangkan di Malaysia turun di kisaran 20%.
Harus diakui kalau boikot akan memengaruhi kehidupan banyak orang. Penulis pernah menemukan sebuah curhatan dari abang Grab yang mengatakan pendapatannya menurut drastis karena aksi boikot ini, apalagi Grab juga jadi salah satu sasaran boikot.
Namun, ini opini pribadinya, Penulis meyakini kalau rezeki itu diatur Tuhan, bukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Penulis meyakini kalau Tuhan tidak akan diam saja jika boikot ini sampai membuat banyak saudara kita kehilangan pekerjaan.
Ketika kita melakukan boikot terhadap sebuah produk, otomatis kita akan beralih ke produk lain. Jadi, secara hitung-hitungan matematis sebenarnya kebutuhan masyarakat tidak berkurang, hanya berpindah saja.
Idealnya, ketika kita beralih ke produk lain (termasuk produk lokal), maka omset mereka naik. Karena demand naik, maka mereka akan membuka lowongan-lowongan pekerjaan baru. Ini memang too good to be true dan utopis, tapi Penulis meyakini kalau hal ini bisa terjadi.
Mungkin ada yang beranggapakan kalau Penulis bisa ngomong seenteng itu karena tidak bekerja di sana, dan itu ada benarnya. Jika Penulis bekerja di sana dan terancam terkena layoff karena boikot, mungkin Penulis tidak akan berpikir setenang itu.
Namun, sejauh yang Penulis temukan lewat media sosial, justru mereka yang bekerja di sana terlihat lebih legawa. Abang Grab yang Penulis sebutkan tadi justru berkata dirinya ikhlas karena itu bagian dari perjuangannya mendukung Palestina.
Dalam kasus lain, beberapa toko kelontong dan swalayan memutuskan untuk tidak menjual (bahkan membuang) produk-produk yang masuk ke dalam daftar boikot sebagai bentuk dukungan nyata mereka ke Palestina (walau ada yang tidak setuju karena jadi mubazir).
Pasti akan ada yang mengeluh mengapa di saat pekerjaan susah didapatkan seperti sekarang, kita justru membuat mereka kehilangan pekerjaan. Tak sedikit yang menuntut kepada pendukung boikot untuk “bertanggung jawab” atas hilangnya pekerjaan mereka.
Penutup
Jika sudah membaca sampai sini, mungkin para Pembaca akan menyimpulkan Penulis pro-boikot, dan itu memang benar. Jadi Penulis minta maaf jika Pembaca merasa opininya digiring, meskipun di atas sudah ada disclaimer kalau tidak ada niatan ke sana.
Yang perlu Pembaca ketahui, awalnya Penulis pun tidak pro-boikot. Sudah dampaknya tidak seberapa, yang kena getahnya justru masyarakat kita sendiri karena mereka berpotensi kehilangan pekerjaannya.
Hanya saja, semakin Penulis mendalami masalah perboikotan ini, hati nurani Penulis semakin terdorong untuk mendukung boikot yang sebenarnya bisa dianggap sebagai aksi paling damai dibandingkan mengangkat senjata yang belum tentu kita mampu.
Memang masih banyak aksi lain yang bisa kita lakukan untuk mendukung Palestina, seperti bersuara di media sosial dan memberikan sumbangan semampunya. Namun, tidak ada salahnya juga untuk menunjukkan keberpihakan kita dengan mendukung boikot.
Penulis juga berusaha mendengar bagaimana pendapat para ahli agama yang jelas iman dan ilmunya lebih tinggi dari Penulis. Karena mayoritas mendukung boikot, maka Penulis pun semakin mantap untuk pro-boikot.
Lantas, apakah yang kontra dengan boikot itu salah? Jelas tidak sama sekali. Mereka juga punya pertimbangan masing-masing yang Penulis yakini juga didasari atas kebaikan dan kemanusiaan.
Oleh karena itu, silakan mau pro ataupun kontra terhadap gerakan boikot produk-produk Israel dan pendukungnya. Mari kita saling menghargai pilihan masing-masing tanpa menghakimi dan merasa dirinya yang paling benar.
Foto Banner: Middle East Monitor
Sumber Artikel:
Sosial Budaya
Polemik Larangan Berjualan di TikTok Shop

Minggu kemarin, publik dibuat heboh dengan keputusan pemerintah yang melarang adanya kegiatan jual-beli di aplikasi TikTok. Aturan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023, yang melarang media sosial menjadi social commerce.
Menurut Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, seharusnya media sosial sebaiknya hanya berfungsi sebagai media sosial saja, jangan dicampur dengan fungsi lain seperti berjualan. Fungsi media sosial dalam berjualan hanya sebagai sarana promosi semata.
Dengan munculnya peraturan tersebut, tentu timbul pro kontra di masyrakat dan pelaku usaha. Walau kebanyakan bernada sumbang dan tidak setuju dengan keputusan tersebut, tidak sedikit yang mendukung upaya pemerintah tersebut.
BACA JUGA: Ketika Berinvestasi dengan Uang Panas
Ditutup karena Tanah Abang Sepi?

Salah satu dasar mengapa keputusan melarang TikTok Shop melakukan transaksi jual-beli adalah sepinya pasar offline, terutama Tanah Abang. Dilansir dari berbagai sumber, banyak pedagang yang mengeluh kalau dagangannya tidak laku semenjak adanya TikTok Shop.
Hal ini kemungkinan dipicu karena adanya pandemi COVID-19 yang membuat segala aktivitas offline menjadi terbatas, termasuk aktivitas jual-beli. Lantas, muncul platform yang ternyata digandrungi oleh masyarakat berupa TikTok Shop.
Alhasil, meskipun pandemi telah berakhir, masyarakat sudah terlanjur nyaman dengan TikTok Shop karena berbagai alasan, termasuk alasan kepraktisan karena tidak perlu keluar rumah dan harganya yang jauh lebih murah.
Masalahnya, harga yang ditawarkan oleh TikTok Shop memang sering terlampau murah hingga rasanya tidak masuk akal. Sebuah hijab di Tanah Abang dengan harga Rp75 ribu harus bersaing dengan hijab impor di TikTok Shop dengan harga Rp5 ribu saja.
Ada Kaitannya dengan Project S?
TikTok juga mendapatkan tudingan kalau mereka berusaha memonopoli perdagangan di Indonesia dan merusak harga pasar dengan predatory pricing, praktik ilegal untuk merendahkan harga barang untuk menghilangkan persaingan.
Yang paling santer terdengar adalah Project S, di mana TikTok dituduh mengumpulkan data produk yang laris di Indonesia, lantas memproduksinya di China lantas menjualnya di Indonesia dengan harga yang jauh lebih murah.
Pihak TikTok sudah membantah hal tersebut dengan menyebutkan bahwa Project S tidak pernah ditargetkan di Indonesia. Selain itu, mereka juga tidak merasa melakukan monopoli karena tidak memiliki sistem pembayaran dan logistik sendiri.
TikTok juga mengungkapkan kalau mereka tidak bisa menentukan harga pasar yang bisa menyulut predatory pricing. Semua harga yang ada di aplikasi TikTok Shop yang menentukan adalah pihak penjual.
Apakah TikTok Shop Sudah Memiliki Izin?

Alasan lain mengapa akhirnya TikTok Shop dilarang adalah karena masalah izin. Menurut Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, TikTok hanya terdaftar sebagai media sosial di Indonesia dan tidak memiliki izin untuk menjalankan toko online.
Wakil Kementerian Perdagangan Jerry Sambuaga juga menegaskan kalau TikTok belum memiliki izin e-commerce. Izin yang sudah dimiliki oleh TikTok adalah izin mendirikan usaha agar bisa beroperasi di Indonesia.
TikTok sendiri telah memberikan pernyataannya dan menyebutkan bahwa mereka telah mengantongi Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing Bidang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (SIUP3A Bidang PMSE) dari Kementerian Perdagangan.
Pihak pemerintah sendiri melalui Bahlil secara tegas mengatakan jika TikTok tidak mau ikut aturan, maka mereka harus hengkang dari Indonesia dan izinnya terancam dicabut.
Siapa Saja yang Terdampak?
Pihak TikTok melalui juru bicaranya mengatakan kalau setidaknya akan ada 13 juta pihak yang akan terkena dampak dari pelarangan TikTok Shop ini, yang dibagi menjadi 6 juta penjual lokal dan 7 juta affiliate creator.
Dengan dalih melindungi pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), keputusan melarang TikTok Shop untuk berjualan justru dikeluhkan oleh sebagian pelaku. Contohnya adalah pelaku UMKM di Jawa Tengah, yang menuding kalau keputusan ini hanya akal-akalan pemerintah untuk mendapatkan pajak dari TikTok Shop.
Padahal, TikTok Shop bisa digunakan sebagai platform untuk menyalurkan produk mereka secara online. Apalagi, pemerintah belum memberikan alternatif atau solusi setelah mengeluarkan larangan berjualan di TikTok Shop yang sedang ramai.
Mirip dengan Kasus Ojek dan Taksi Online?

Fenomena ini tentu mengingatkan kita atas “duel” antara ojek/taksi online melawan ojek/taksi offline. Transportasi online yang sedang booming dan menjadi pilihan masyarakat membuat transportasi perlahan ditinggalkan, sehingga para driver pun tidak mendapatkan penghasilan.
Setelah ada demo besar-besaran, akhirnya pemerintah mengeluarkan beberapa regulasi untuk mengatur transportasi online, seperti menentukan tarif dasar agar harga transportasi offline bisa bersaing.
Kasus TikTok Shop ini pun memiliki pola yang sama, di mana ada suatu sistem yang mampu mendisrupsi sistem yang lama. Offline digantikan online, yang mampu memberikan kenyamanan ekstra dan harga yang jauh lebih terjangkau.
Bagaimana dengan Negara Lain?
Sebenarnya bukan hal baru jika ada yang melarang TikTok Shop beroperasi di negaranya. Dilansir dari akun Instagram @ngomonginuang, India dan Pakistan bahkan melarang TikTok secara keseluruhan. Selain itu, Uni Eropa juga memberlakukan pelarangan penggabungan data media sosial dan e-commerce.
Ada beberapa negara yang mengizinkan TikTok Shop beroperasi di dalam aplikasi TikTok, seperti Amerika Serikat yang baru diresmikan pada tanggal 12 September 2023 kemarin. Inggris pun juga memberikan izin yang sama.
Sebagai perbandingan, aplkasi Instagram pun memiliki fitur Shop di dalam aplikasinya. Bedanya, fitur tersebut hanya mengarahkan pengguna ke laman penjualannya seperti website atau marketplace, sehingga di dalam aplikasi tidak ada transaksi apapun.
Apakah Ini Keputusan yang Tepat?

Meski Peraturan Kementerian Perdagangan telah resmi berjalan, pada praktekknya masih banyak masyarakat Indonesia yang masih berjualan di TikTok Shop. Platform tersebut masih bisa berfungsi seperti biasa.
Kalau menurut pendapat Penulis sendiri, ada banyak sudut pandang untuk menilai fenomena ini. Jika berasumsi bahwa pemerintah benar dan TikTok memang belum punya izin sebagai e-commerce, maka keputusan untuk melarang pun jadi tepat.
Namun, tentu pemerintah juga harus mampu menghadirkan solusi untuk pihak-pihak yang terdampak. Total 13 juta orang jelas bukan jumlah yang sedikit, dan mereka tentu harus menanggung kerugian karena tidak bisa menjual produk mereka di TikTok Shop lagi.
Pemerintah juga harus lebih tegas dalam membatasi produk impor yang masuk ke dalam Indonesia. Rendahnya harga barang di TikTok Shop tentu perlu dicurigai, jangan-jangan masuknya secara ilegal sehingga tidak membayar bea cukai.
Masyarakat pada umumnya jelas memilih produk yang lebih murah, tak peduli itu barang impor maupun buatan dalam negeri. Ini juga menjadi tantangan untuk UMKM agar bisa menghadirkan barang berkualitas dengan harga yang bersaing.
Jika melihat tujuannya untuk melindungi UMKM, rasanya penutupan TikTok Shop kurang tepat (dengan asumsi mereka telah memiliki izin) karena platform tersebut justru bisa dimanfaatkan untuk memasarkan produk mereka.
Logikanya, dengan berjualan online di TikTok Shop, maka para pelaku usaha tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menyewa lapak untuk menampilkan produk-produk mereka. Mereka bisa berjualan dari rumah dan memasarkan produknya langsung ke calon-calon pembeli.
Para pelaku UMKM pun harus menyadari kalau disrupsi itu bisa terjadi di segala bidang, termasuk berdagang. Sama seperti taksi konvensional yang perlahan digantikan taksi online, toko konvensional pun sangat mungkin tergusur oleh toko online.
Dengan adanya perubahan yang begitu masif di era digital ini, kita yang harus mampu beradaptasi dengan keadaan. Jika tren belanja masyarakat telah bergeser, maka para pelaku usaha pun harus menyesuaikan diri dengan tren tersebut agar bisa bertahan.
Lawang, 2 Oktober 2023, terinspirasi setelah mendengar kabar mengenai ditutupnya TikTok Shop oleh pemerintah karena beberapa alasan
Foto Featured Image: Search Engine Land
Sumber Artikel:
- Tiktok Shop Masih Bisa Dipakai Jualan atau Tidak? Ini Batas Waktunya – Bisnis Tempo.co
- Ngomongin Uang (@ngomonginuang) • Instagram photos and videos
- Pelaku UMKM Keluhkan Larangan Berjualan di Tiktok Shop, Tuding Akal-akalan Pemerintah Pungut Pajak – Tribunbanyumas.com (tribunnews.com)
- Pasar Tanah Abang Makin Sepi, Konsumen Curhat Soal Parkir Liar di Sana: Ada Oknum yang Narikin… – Suara Merdeka
- Kritik Bahlil dan Luhut ke TikTok Shop usai Larangan Jualan-Transaksi (cnnindonesia.com)
- Akui Punya Izin E-Commerce, Ini Bantahan TikTok Sebelum Dilarang Jokowi Berjualan – Bisnis Tempo.co
- Kemendag Bantah TikTok Punya Izin E-commerce (kompas.com)
-
Anime & Komik4 bulan ago
Rame-Rame Ganti Foto Profil Luffy Gear 5
-
Film & Serial4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Menonton Oppenheimer
-
Tokoh & Sejarah4 bulan ago
Bagaimana Oppenheimer (Secara Tidak Langsung) Membantu Indonesia Merdeka
-
Buku5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca The 5 AM Club
-
Pengembangan Diri3 bulan ago
Belajar Melepas Perasaan Bersalah dari Kosan 95
-
Film & Serial4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Menonton Secret Invasion
-
Anime & Komik3 bulan ago
Pemimpin Boneka ala Mizukage Keempat
-
Renungan4 bulan ago
Bagaimana Jika Perang Nuklir Benar-Benar Terjadi?
You must be logged in to post a comment Login